&t /// JELAJAH BELANTARA ///: January 2005

Thursday, January 27, 2005

Membentangkan Cakrawala.

Yeah! Malam ini terasa lama bagi saya, bukan karena bulan yang
menerangi dengan pancaran sinar teduhnya yang membulat,
merengkuh segala bentuk kehidupan malam di bawahnya,
namun karena kepenatan rutinitas lalu-lintas di berbagai
persimpangan saraf di dalam otak saya, mencoba mencari
jalur tempuh terdekat kepada kebenaran. Ehm, kedengarannya
melelahkan memang. Yah, setidaknya menjanjikan saya sebuah
'jalur aman' tanpa kena serangan xenophobia.

Alunan album STRYPER dalam winamp versi jebot saya agaknya
mencoba menghadirkan ritme bagi darah saya malam ini
tanpa pamrih, atau dia memang tahu kondite macam apa yang
saya butuhkan ketika sedang mencoba fokus. Ha! yang pasti
saya merasa tidak sendiri malam ini.

Terus terang ada setumpuk permasalahan dengan segala seluk-
beluknya yang menjadi pe-er saya. Dan yang pasti membutuhkan
effort yang sangat berlimpah energi untuk lebih dari sekedar
mendekonstruksinya. Ya! Benar saya pikir itu perlu, seperlu usaha
manusia dalam mencari bentuk eksistensinya. Atau seperti kata
para filosof nan bijak, yang arogan atau tidak, menjadikan filsafat
sebagai media mengaca diri, agar kita tau diri, ketika kita berdiri
sebagai homo homuni socius. Dan inilah makna belantara bagi saya.
Usia saya memang sudah tidak muda lagi (lho, kok merasa tua nih?),
namun perbekalan yang saya ambil dan saya habiskan di sepanjang
perjalanan ini masihlah belum mencukupi, masih terdapat kantong-
kantong air yang kosong untuk segera di isi, karena jika tidak,
saya bakal melemah.

Begini:

Semenjak kehadiran kritisisme (>) dalam rumitnya saraf otak manusia,
kita akhirnya mampu menghadirkan konklusi-konklusi atas persoalan
hidup. Termasuk terlahirnya keingintahuan terhadap hakikat realitas
dengan semua ras budaya di dalamnya yang membuatnya begitu
kompleks. Saya melihatnya sebagai sifat dasar manusia, bahkan
ketika Adam di surga pun.

Hanya saja manusia kadang egois, tak mau melihat keluar,
yang pada akhirnya secara fanatik mengubah haluan mereka
tentang hakikat berbudaya dan bersosial. Ironis? Begitu, kan?
Segudang ideologi yang lahir dari uterus peradaban menghasilkan
individu-individu yang demikian. Ketidakkompromian realitas
(baca=kehidupan) menciptakan fobia-fobia yang kadang
berlanjut ke tahap yang tidak disangka, lebih akut dari yang
terpikir oleh dirinya. Seorang anak mengalami trauma dan menjadi
schizophrenia
hanya karena kesaksian dirinya terhadap lingkungan
yang menurut dia kejam! Yang selanjutnya memaksa dirinya untuk
teralienasi, bisa sedikit bisa total. Sebuah kesendirian di dalam
keramaian (ungkapan salah seorang kawan lama saya yang
mengaku "kalah"). Faktor psikologis inilah yang menyulut api
kebencian, walau kadang tampak di luarnya seperti bidadari.
Teringat sebuah kisah fiktif dalam komik MONSTER
karya jenius Urasawa Naoki yang saya baca akhir-akhir ini,
yang menceritakan kehadiran 'monster' dalam diri seorang
anak kecil bernama Johan Liebheart yang pernah mengalami
penyiksaan otak ketika masa-masa pergolakan di Jerman.
(A
ll in all MONSTER is a showcase for Urasawa's ability.
It is an engaging, powerful story that keeps the readers
guessing as to where it will go next, what certain characters
motives are and just how it will all end. You see lives ruined
in this story and you are kept hoping that there is some sort
of redemption for all their loss. If you are after more power
in your stories, then you should probably read this
.) >>



Egois dan Egotis. Bagai dua mata pisau yang sama-sama mematikan.
Lalu muncullah xenophobia, sebuah ketakutan akan ancaman
pengaruh dari luar diri manusia, yang bisa memicu pertahanan diri
berlebihan membela pendapat sendiri tanpa peluang menyadari
bahwa pendapat itu salah (Haidar Bagir ibid.).
Kalau yang terjadi demikian, manusia akan saling memusnahkan
satu sama lain, beradu pandang pada sebuah masalah yang
tidak pokok, bukannya menciptakan dialektika ataupun sinergi.
Saling meruntuhkan sehingga menciptakan kemunduran
pemikiran terhadap sebuah solusi (Regressive progressions).
Putus asa? Bisa jadi. Toh buktinya sudah banyak. Kesannya menjadi
asal comot gitu. Maunya menggali lebih dalam malah terjungir
ke lobang bikinan sendiri. Ya modar saja! Pengennya yang instan
melulu, termasuk pendangkalan dalam pemikiran, sehingga
keputusan yang solutif menjadi bersifat superfisial, campur baur
secara acak. Kejawen bisa jadi salah satu bukti.
Maaf, mungkin nadanya terkesan ofensif, padahal iya!
Sekali lagi maaf.

Intinya kegagalan melihat inti permasalahan. Saya pikir demikian.

Falsafah yang dicari, didekonstruksi, lalu ditata ulang adalah
salah satu metode terampuh dalam kotak obat P3K untuk
luka-luka perspektif. Seperti nukilan seorang filosof, bahwa
mempelajari filsafat kita akan selalu menemukan pandangan-
pandangan yang bertentangan, baik dalam Filsafat Barat,
Filsafat Timur, Filsafat Islam, dan setiap jengkal cabangnya.
Biarkan saja hal itu membingungkan Anda, tapi pada akhirnya
akan memberi pelajaran buat manusia agar tidak merasa
benar sendiri, tidak mengaca, dan merasa cepat puas.
Ya! budaya riset yang tidak pernah eksis di pelataran bermain
manusia Indonesia adalah salah satu yang saya rindukan dan
coba wujudkan.

"Mungkinkah... pendidikan kita mengabaikan pendidikan rahsa?...
Dalam bahasa filosof John Henry Newman, yang menaruh minat
besar pada pendidikan, rahsa itu mungkin semacam illative sense,
yaitu bagian intelektualitas manusia yang dapat mengandaikan
adanya kompleksitas suatu objek, dan adanya pelbagai kemungkinan
manusia mengambil sikap terhadap objek tersebut. Illative sense itu
mirip dengan phronesis dari Aristoteles, yakni semacam
kebijaksanaan
mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita,
tanpa kehilangan
kepastian bahwa kita dapat bicara mengenai
kebenaran. Pendeknya,
pendidikan rahsa/illative sense/phronesis itu
akan membuat kita
jadi tahu diri." -(Sindhunata)

(sebelumnya, terima kasih kepada karya Prof. Oliver Leaman)

(to be concluded)

Wednesday, January 26, 2005

No Farewells in Friendship.

Barusan saya nonton serial F.R.I.E.N.D.S (ada yang gak terima? :D)
di dvd-player, dan memastikannya
sebagai salah satu tontonan
televisi favorit saya
yang tengah disambit gundah gulali ini.

Dan saat melepas lelah setelah menjalani keharusan hidup sehari ini
benar-benar membuat saya enjoy. Suguhan episode FRIENDS yang
terakhir (check >>&>>) (setelah 10 tahun mengudara) sangat
menghibur saya ketika
alur ceritanya menyiratkan betapa arti "teman"
yang sesungguhnya.
Itu mungkin mengapa judul FRIENDS dipisah
dengan titik diantara huruf-huruf penyusunnya.

Untungnya semuanya
happy ending. Dan mengharukan.

Yah, teman memang saudara kedua saya.

(ditonton oleh segenap penghuni kost beserta sebaskom pempek
Palembang dan sekawanan kucing rumahan brengsek)

Mungkin Alam Sudah Mulai Bosan.

PADA satu acara TV Jepang “Sekai Fusigi Hakken” ditayangkan kekacauan iklim abad 6 Masehi, yang dikenal dengan istilah ‘Catastrophe’ atau ‘The Dark Ages’.

Dikisahkan pada abad 6 (536-540 A.D), pertengahan dunia dilanda kekacauan iklim yang mirip dengan efek rumah kaca selama bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh benturan komet dengan Bumi dan pecahannya menyebar menutupi atmosfer serta menghalangi sinar matahari. Hal ini diperkuat oleh temuan tim ilmuwan dari School of Physics And Astronomy, Cardiff University UK. Efek ini dinamakan PLUME dan sama seperti yang terjadi ketika komet Shoemaker-Levy menghantam Jupiter tahun 1995.
Menurut kalkulasi, diameter komet yang menumbuk Bumi tersebut ternyata lebih kecil dari yang dikira sebelumnya, sekitar setengah kilometer.

Cuaca menjadi panas di beberapa daerah, tetapi dingin teramat dingin di daerah lainnya. Sinar matahari berkurang drastis sehingga tanaman pangan gagal memproduksi hasil untuk menopang hidup masyarakat agraris. Di Cina terjadi pageblug sehingga tak kurang 1/3 penduduknya mati. Daerah Mongol kacau balau, karena kekeringan yang hebat, membuat kuda-kuda mereka gagal mencerna makanan rumput kering. Mereka melakukan migrasi ke barat dan selatan menjarah ternak sapi yang lebih tahan pada kondisi kering. Tidak hanya itu, mereka melakukan migrasi pertama sehingga mencapai daratan Asia Barat dan Eropa Timur (dikenal dengan Suku Avar).

Di Meksiko, kekacauan cuaca membuat gagal total usaha tani pusat kebudayaan tertinggi bangsa Indian itu. Akibatnya lembaga keagamaan yang memuja matahari dan hujan, dianggap bohong belaka oleh rakyat yang semakin lapar, bahkan punah di beberapa distrik.

Imperium Roma dan Mesir serta Ethiopia dilanda penyakit sampar yang ditularkan oleh bangsa-tikus di Afrika. Semula penyakit ini hanya endemik di Afrika. Namun kondisi agak gelap dan cuaca hangat memperhebat virulensi patogen sampar, dan memperhebat perkembangan lalat penularnya yang tidak hanya makan bangkai hewan, tetapi juga manusia. Tikus-tikus menyebar menumpang kapal-kapal dagang dari Afrika ke Mediterania. Hal ini bertepatan dengan wabah terbesar di Eropa yaitu Justinian Plague, awal dari wabah Black Death.

Sepasukan besar bergajah dari Ethiopia yang bergerak menuju jazirah Arab, juga dilanda penyakit ini. Menggagalkan mereka menguasai jazirah Arab yang dipandang masih memiliki cadangan sumber pangan dan kekayaan.

Keserakahan akan kekayaan dan kelaparan melanda dunia. Tak heran abad itu terjadi peperangan-peperangan antar bangsa. Termasuk Asia Tenggara. Dan dari hasil pencocokan waktu, ternyata Asia Tenggaralah sumber masalah bencana chaos iklim itu. Tepatnya pada 535 Masehi. Gunung Krakatau meletus dengan hebat. Debu vulkanik yang menyebabkan kegelapan di seluruh dunia bertahan di angkasa bertahun-tahun. Dan konon, sejak tahun itulah Pulau Jawa dan Sumatra berpisah. Daerah Jawa Barat dan Sumatera Selatan, menderita bencana paling hebat, berupa kepunahan budaya setempat (dapat kita lacak, mengapa suku bangsa di situ adalah pendatang yang tidak jelas benar termasuk suku yang mana di antara suku-suku di P. Sumatra dan P. Jawa). Jawa Tengah tidak ketinggalan. Bahkan konon candi-candi di Jawa Tengah sebenarnya telah berdiri pada awal-2 atau bahkan sebelum Masehi, terkubur dengan abu Krakatau itu.


(saya comot dari Ensiklopedi Dunia tentang sejarah dunia)

---

As we approach the end of the Second Millennium, a review of ancient history is not what you would normally expect to read in the pages of Universe. Indeed, except for reflecting on the AD 837 apparition of Halley's Comet (when it should have been as bright as Venus and would have moved through 60 degrees of sky in one day as it passed just 0.03 AU from Earth - three times closer than Hyakutake in 1996), you may well wonder what we could learn from any astronomical events that occurred more than a thousand years ago.

Any history text will say that the Dark Ages refers to the period after the fall of the Roman Empire in the middle of the 1st Millennium (it was not sponsored by the International Dark Sky Association). It was a time when European civilisation stagnated - even that term is a generous description of the living standards and social setting of the next few centuries. In a broader sense, however, "Dark Ages" can be applied to a few eras of social upheaval over the last several thousand years, which fits in nicely with what you're about to read - stay with me, as the possible astronomical implications will soon become apparent.

Physical Aspects Of The Dark Ages

Let's first look at the onset of "the" Dark Ages in the sixth century AD. The Roman Empire was finished, nothing was happening in the sciences, and worse was happening in nature. The Italian historian Flavius Cassiodorus wrote about conditions that he experienced during the year AD 536 :

"The Sun...seems to have lost its wonted light, and appears of a bluish colour. We marvel to see no shadows of our bodies at noon, to feel the mighty vigour of the Sun's heat wasted into feebleness, and the phenomena which accompany an eclipse prolonged through almost a whole year. We have had a summer without heat. The crops have been chilled by north winds, [and] the rain is denied."
Other writers of the time described similar conditions :
Procopius : "...during this year a most dread portent took place. For the Sun gave forth its light without brightness...and it seemed exceedingly like the Sun in eclipse, for the beams it shed were not clear."

Lydus : "The Sun became dim...for nearly the whole year...so that the fruits were killed at an unseasonable time."

Michael the Syrian : "The Sun became dark and its darkness lasted for eighteen months. Each day it shone for about four hours, and still this light was only a feeble shadow...the fruits did not ripen and the wine tasted like sour grapes."

Was this a local phenomenon? According to the book "Volcanoes of the World", Dr. Timothy Bratton has noted that there was a small eruption of the volcano Mt. Vesuvius in AD 536. Could this be the cause? It may well have contributed to the scene (although the eruption was much smaller than the big one of AD 79), but it can not really account for the similar conditions that were experienced around the world.

In China, "the stars were lost from view for three months". Records indicate that the light from the Sun dimmed, the expected rains did not eventuate, and snow was seen in the middle of summer. Famine was widespread, and in the midst of the turmoil, the Emperor abandoned the capital.

Bad luck tends to get bunched together, and thus came the plague. The Justinian Plague, named after the Byzantine Emperor of the time, is reported to have begun in central Asia, spread into Egypt, and then made its way through Europe. By some accounts, it was as bad as the Black Death which "plagued" Europe in the Middle Ages.

A Different Branch Of The Picture

Mike Baillie is Professor of Palaeoecology at Queens University, Belfast, Northern Ireland. He is an authority on tree rings and their use in dating ancient events (every year, a tree adds a "ring" to its trunk as it grows - good years are represented by thick rings while bad years are represented by thin rings). He conducted a complete (and continuous) review of annual global tree growth patterns over the last 5,000 years and found that there were five major environmental shocks that were witnessed worldwide. These shocks were reflected in the ring widths being very thin. Wanting to know more, he turned to human historical records, and found that the years in question (between 2354 and 2345 BC, 1628 and 1623 BC, 1159 and 1141 BC, 208 and 204 BC, and AD 536 and 545) all corresponded with "dark ages" in civilisation.

The minimal growth of trees around 2350 BC has been associated in the past with the eruption of a volcano in Iceland. Yet, the period in question is also associated with floods, the creation of new lakes, and even the start of Chinese history. Furthermore, Marie-Agnes Courty, an archaeologist from France, has claimed new data regarding a catastrophe said to have occurred in the Middle East. Samples from three separate regions all appear to contain a calcite material found only in meteorites, and analysis of debris show what seems to be a combination of "a burnt surface horizon and air blast."

Indeed, some 40 cities throughout North Africa, the Middle East, Europe, and Asia are thought to have been devastated, or even disappeared, about the same time in a series of catastrophes.

The twelfth century BC is associated with the "Greek Dark Ages", the end of the Hittite civilisation in the Near East, the end of Bronze Age Israel, and the end of the Bronze Age Shang dynasty in China. Ancient Chinese history has the notion of "mandate from heaven", where the rulers were essentially subject to the whims of the sky above. Strange sights in the sky would not be seen as good news for Chinese Emperors. Indeed, around this time, Chinese records speak of :

"...many gods and spirits were annihilated in this battle, and several stellar dignitaries were replaced by newcomers to the celestial domains."
What could cause such global shocks? A likely answer, which has a good fit to the evidence, was what the European and Chinese observers described at the time as "dragons in the sky" - comets! We're not talking about an intact large comet (if that had hit in the last several millennia, we would not be here today), but rather fragments from a disintegrating comet or asteroid (small pieces like that which hit Tunguska in 1908). These would throw up dust that would envelope the world and dim our view of the Sun and skies.

All this sounds like an interesting theory, but is there any evidence "above us" that fits in with the scenario. How do we account for so many impacts over the last several millennia when the consensus today in astronomy is that impacts causing global consequences (mild as well as major) are very rare?

Enter The Astronomers

Independently of Baillie's studies, British astronomers were putting together an explanation of the Taurid meteors that we see. The Taurids are related to comet Encke, as first shown by Fred Whipple, best known for proposing the "dirty snowball" model of comets. Mark Bailey, Victor Clube (brother of my rugby coach at school!), and Bill Napier put forward the theory that Encke and the Taurid meteors originated from a giant comet that fragmented some 40,000 years ago after entering the inner Solar System. The idea of a comet splitting up into smaller pieces is nothing new (witness Shoemaker-Levy 9 in 1994 and the return this year of the fragmented periodic comet Machholz 2), and indeed Dr. Brian Marsden of the Smithsonian Astrophysical Observatory is the originator of the idea that the bulk of sungrazing comets we see come from a large comet that perhaps originally split a few centuries before Christ, and has split again - this family of comets is known as the Kreutz sungrazers.

The astronomers noted that Chinese records of meteor observations over the last two thousand years revealed significant surges in the number of meteors observed every few centuries. These tended to be observed at the same time every year - we now know of them as the Taurids, which has a nighttime display in October/November (the Taurids South and Taurids North - see the end of the article), and a daytime appearance in June (Beta Taurids). Both meteor showers are linked. The Taurids South and Taurids North are what Earth encounters as the Taurid meteor stream heads towards perihelion, whilst the Beta Taurids are encountered as the meteor stream heads away from perihelion.

Unlike the most prominent annual meteor showers, the Taurids are not known for being spectacular because the stream is too broad. Whatever caused the Taurids must have been huge, as it was suggested many years ago as the primary source for dust in the inner Solar System. It is argued that comet Encke itself is a fragment of this larger, inactive comet.

Such a scenario implies that there are other objects in the Taurid stream, much larger than dust, that are unobserved because they are inactive. Is there any evidence for large objects in the Taurids hitting Earth in recent history? Consider the following :

  • In late June, 1178, an English monk reported the observation by five men of what is believed to have been an impact on the Moon. The American astronomer-geologist Jack Hartung has argued that this reported impact created the Giordano Bruno crater, known to be one of the youngest craters on the Moon. The timing of this event, late June, is consistent with the Beta Taurids.
  • In his book "Rogue Asteroids and Doomsday Comets", former AAO astronomer Duncan Steel describes the fall of a meteorite on 25th June, 1890 near Farmington, Kansas. Besides its obvious timing with the Beta Taurids, the meteorite is most notable for being the youngest meteorite known (in terms of exposure to space). Dating of the meteorite has revealed it was separated from its parent less than 25,000 years ago (a factor of ten younger than the next youngest meteorite).
  • Tunguska : On 30th June, 1908, a fragment believed to be less than 100m in diameter exploded over the Tunguska river in Siberia. It is the most well-known impact we know of in modern times. It is generally believed that the timing of the impact is consistent with it originating from the Beta Taurids.
  • When the astronauts went to the Moon, they placed seismometers on the Moon's surface. At the end of June, 1975, they registered their major series of lunar impacts. The impacts were detected only when the nearside of the Moon (where the astronauts landed) was facing the Beta Taurid radiant. At the same time, there was a lot of activity detected in Earth's ionosphere, which has been linked with meteor activity.
Obviously, given the presence of comet Encke, and the additional fact of various known Apollo-class asteroids which are observed to have orbits that resemble those of the Taurids, there is more in the Taurid meteor stream than just dust. According to Duncan Steel, some of the discovered Apollo-class asteroids that are in the Taurid meteor stream have diameters in excess of one kilometre. How many other Tunguska-type bodies are in it? Are they isolated, or do they exist in swarms?

Meteor streams orbit the Sun, like the planets, but their orbits tend to be perturbed by the planets. The astronomers calculated how the orbit of the Taurids has changed over the centuries.

In "Lessons from Jupiter" (Southern Sky magazine, January/February 1995), Clube and David Asher wrote :

"Calculations based on an orbit related to that of P/Encke reveal intersections with the Earth's orbit around AD 600 and before that AD 400, so that a swarm would have been near the Earth's orbit for a duration of a few centuries around that epoch, the time of the European Dark Age. This then is a critical extended period when we might well expect several multi megaton [explosive] events, indeed a great many if we consider the globe as a whole. The perspective is evidently one in which we expect the Roman Empire to have gone into decline owing to multiple-Tunguska bombardment causing great tracts of land to be deserted and whole communities or nations to be suddenly dislocated. Of necessity, the period becomes one of barbaric movements."
Chinese historical records of AD 540 say :
"Dragons fought in the pond of the K'uh o. They went westward....In the places they passed, all the trees were broken. "
The calculations for the Taurids suggest that we pass through the core of the meteor stream approximately every 2,500 years - today, we are passing through the outer edges. The last two occasions when we passed through the core were in 2200 - 2000 BC and in AD 400 - 600. The epoch around AD 3000 looks like being a fun time too - the Y2K doomsayers can always say they just got the millennium wrong.

In 1983, the orbiting IRAS infra-red satellite discovered cometary "trails" (not tails), representing debris along the path of various short-period comets. These trails consist of debris, most of which would be microscopic in size, but how many large objects are there in the trails? If there are many large objects in these trails, then Duncan Steel notes in his above-mentioned book :

    "A large fraction of the objects on Earth-crossing orbits, of all dimensions, are the daughter products from the break-up of a giant comet some time during the past 100,000 years, dynamical studies suggesting around 20,000 years as likely. All that is suggested here is a break-up similar to that undergone by P/Shoemaker-Levy 9 in 1992, except by a comet at least 100 kilometres across and in an orbit crossing from Jupiter to the Earth.

    The core of the complex...evolves to have a node near 1 AU every millennium or so, at which time the Earth is bombarded by many [large] objects in episodes at certain times of year. It is these events that dominate the hazard to humankind. Such an episode would last for a century or two."

Concluding Thoughts

Ben Rudder, an anthropologist who reviewed in New Scientist magazine a recently published book by Baillie on the subject, wrote :

"If Baillie is right, history has overlooked probably the single most important explanation for the intermittent progress of civilisation. Worse, our modern confidence in benign skies is foolhardy, and our failure to appreciate the constant danger of comet "swarms" is the result of a myopic trust in a mere 200 years of "scientific" records."
Baillie himself notes that :
"There is, I feel, a strong case for the contention that we do not inhabit a benign planet. This planet is bombarded relatively often. If this story is correct, we have been bombarded at least three times - and probably five times - since the birth of civilisation some 5,000 years ago. And each time, the world was changed."
In their book "The Origin Of Comets", Bailey, Clube, and Napier write :
"the destruction and chaos accompanying the fate of the Roman empire [midway through the First Millennium] was all but total, the almost complete breakdown of the old order leading to a loss of the accumulated knowledge and wisdom of antiquity which was far from temporary."
Some of these ideas you may have heard of before. In the 1950s, Immanuel Velikovsky published a number of books, in particular "Worlds In Collision", which suggested that a huge comet had come near to Earth, and had indeed settled into an orbit around the Sun between Mercury and Earth. Velikovsky was claiming that Venus was a large comet!

Naturally, his ideas were rubbished. They had no scientific foundation. The problem today, as Duncan Steel notes, is that astronomers have become so entrenched in their rightful criticism of Velikovsky's nonsense, they are rejecting today's scientifically-founded discoveries that the myths and records of ancient civilisations may contain important information about what was happening in the sky.

Only now are we seriously contemplating the view that "near-Earth space" is anything but safe. Is it possible that the ancients were not entirely ignorant in their beliefs of the appearance of comets being a bad omen? Fragments hitting the ground would cause earthquakes and blast damage, as well as start forest fires (fire storms?) and perhaps volcanoes - which in turn would amplify the environmental effects through the release of soot into the air. Fragments hitting the water would generate tsunamis which would flood coastal and inland regions. Would it surprise you to learn that, according to Baillie, the ancient Celtics had an oath which translates as :

"We will not move from this place until the stars fall from the sky, the earth quakes and the sea comes over the land."
In "Lessons from Jupiter", Clube and Asher wrote :
"We do not of course deny a general background of [Earth-crossing asteroids] from the asteroid belt but it is these meteoroidal streams, harbouring swarms of super-Tunguska debris, which are now perceived as the source of high-level dust veils and low-level airbursts in the atmosphere, essentially controlling climate and extinction on Earth and punctuating the course of evolution."
If our eyes weren't opened to the danger of fragmenting bodies after we saw Shoemaker-Levy 9, they should be now. Observatories are conducting surveys of the sky to discover and track near-Earth asteroids. The consensus of the astronomical community, however, still remains that the threat to Earth comes from random asteroids and comets. The idea of the inner Solar System being different now to from what it was 50,000 years ago has not been widely accepted. Nevertheless, more astronomers are open to the dangers associated with an object (currently known or to be discovered) that fragments in the future. Dealing with any incoming fragments, however, still remains a problem. You might think that "planetary defence" is a recent idea. Yet, readers of the poetry of Lord Byron might be interested to know that in 1822, when he was living in Pisa, he wrote :
"Who knows whether, when a comet shall approach this globe to destroy it, as it often has been and will be destroyed, men will not tear rocks from their foundations by means of steam, and hurl mountains, as the giants are said to have done, against the flaming mass? And then we shall have traditions of Titans again, and of wars with Heaven."
An Observing Postscript

Although Comet Encke is only visible every 3.3 years (it returns next year), we can observe the Taurid meteor stream every year. As mentioned above, they have a broad display rather than a well-defined peak. Although their activity spans the period 1st October to 25th November, there are two separate maxima. The Taurids South maximmum lasts for about a week around 5th November, while the Taurids North maximum similarly lasts for about a week around 12th November - the two virtually overlap each other to produce a plateau.

The rates aren't high (at best, about 5 per hour) but they are easily seen, slow moving, and they have a reputation for producing very bright fireballs - a fact that has apparently been observed for thousands of years! The Taurids are visible during this period from late evening onwards, and with New Moon occurring on Monday 8th November, there will be no moonlight interference - the shower is well timed for the Society's monthly star party at Wiruna. Regardless of whether you're at Wiruna or elsewhere, if the weather is good, why not step outside and keep an eye on the sky - it will only be a week or two before the Leonids.

One thing is for certain : debris from the Solar System does hit Earth. If it didn't, we wouldn't see meteors every night! The astronomical community (in particular, those who specialise in comets and/or asteroids) is not yet convinced as a whole about the notion of the inner Solar System currently suffering from periodic bombardment from the remains of a fragmented giant comet. Nevertheless, David Morrison, principal author of NASA's Spaceguard Survey Reports in 1992 and 1995, and a critic of the British viewpoint, does admit that :

"While I believe that the British neo-catastrophists are wrong about the threat to Earth, their work is science, not pseudoscience. They are making their case to other scientists, and time will sort out who is right and who is wrong."
Regardless of whether the specific theories referred to in this article turn out to be correct, observing comet debris hitting Earth's atmosphere now seems to take on a whole new perspective in our "enlightened ages".

---

What a mess!
Petikan gitar Ebiet G. Ade dan liriknya mengilhami saya menulis ini.
Jadi, gak ada alasan lagi untuk membenci, karena lebih baik kita mencintai.
(cieh, sok bijaks!)

Tuesday, January 25, 2005

"Trust Me! I Know What I'm Doing!"

"Television is ephemeral, so the greatest compliment any TV show can receive is to be remembered."

Begitulah televisi. Ya! Sekali lagi televisi!
Cuman saya kali ini tidak akan berkoar tentang 'kehebatannya'.
Di sini bisa kita lihat, siapapun di Indonesia pernah menjadi
saksi sepak terjangnya di televisi sekitar 1986 - 1988 dahulu.
Potret parodi seorang polisi urakan, pemuja senjatanya dan
pecinta kekerasan, yang akan menembak dulu
baru tanya
enam bulan kemudian.
Cool!

The adventures of a dumb police detective who always looks for the most violent solution to any problem. (www.imdb.com)




SLEDGE HAMMER! With his infamous MAGNUM-44!
Plus kacamata hitam dan dasi bunga-bunga yang tak
pernah cocok dengan perilakunya, di bawah seorang atasan
yang pemarah dan partner cewek yang konyol.

Serial komedi satir ini ditulis oleh Alan Spencer pada usianya
yang ke-16 tahun! Seorang penulis berbakat, dimana karyanya
ini disebut sebagai "the work of someone with serious mental
problems." Namun membutuhkan tenggang 8 tahun agar script
ajaib ini akhirnya diproduksi sebagai serial televisi.

Saya pikir dia hebat! Coba kalo polisi Indonesia kayak doi.
Banyak pemirsa di tanah kelahirannya Amerika sana yang
menganggap dia adalah misteri. Sebuah tayangan yang aneh.
Bisa dikategorikan sebagai cult show.

Hei! Apapun itu, yang jelas saya selalu merasa segar jika
menontonnya di televisi hitam putih keluarga saya dulu,
hingga saya segar lagi saat menemukan situsnya di internet!
Cerita2 konyol selalu membuat saya terhibur.

(teman saya malam ini dalam mengerjakan tugas kantor)

---

Credit Title:

David Rasche (Ins. Sledge Hammer)
Anne-Marie Martin (Dori Doreau)
Harrison Page (Captain Trunk)

Monday, January 24, 2005

What's Wrong With Neoclassical Economics



Pemanasan lagi! Hantam kromo lagi bleh!

---

Dating back to the days of Adam Smith, economists used to incorporate ethics, literature and philosophy into their analysis. But these days, Smith’s intellectual offspring have the idea that economics is a physical rather than a social science that has nothing to learn from other disciplines. They cling to the notion that their models are not tainted by the subjectivity that confuses other social sciences. Chicago School affiliate George Stigler once scornfully remarked that “without mathematics, we’d be reduced to the caviling of sociologists and the like.” The 1969 introduction of the Nobel prize in economics – which Stigler won in 1982 – seems to have fueled these delusions of grandeur.


Critics of neoclassical economics chuckle at the the idea that its precepts can withstand the rigor of the scientific process. They argue that Homo economicus – the theoretical self-interested ‘everyman’ that economists base their analyses on – is a misrepresentation of human nature. The model does not account for structural factors and altruism, and assumes rather ambitiously that peoples’ choices are guided by perfect rationality.

The reliability of this and other neoclassical economic models would be irrelevant to the wider world if the prescriptions of Stigler and his ilk were confined to the halls of academia. But the Chicago School had an enormous influence on governments and helped set the tone for the era of fervent free-enterprise boosterism, market liberalization and privatization that swept the globe during the 1980s and 1990s. Their thinking has also helped shape the International Monetary Fund and World Bank directives that have only managed to widen the gap between the rich and poor.

The physical environment has also suffered under neoclassical economic orthodoxy. Since economists treat land like any other form of capital, they often see it as expendable and easily substitutable. When land and resources were plentiful, the environmental implications of this view were not immediately evident. But with the economy so much bigger than it was in Smith’s day, the failure to measure the impact of economic activity on the environment is devastating. Meanwhile, economists show their disregard for nature with comments like those of Nobel laureate Robert Solow who stated, “if it is very easy to substitute other factors for natural resources, then there is in principle no ‘problem.’ The world can, in effect, get along without natural resources, so exhaustion is just an event, not a catastrophe.”

Solow’s outlook epitomizes old-school neoclassical thinking, but the ivory tower he and his cohort sit in is ripe for demolition. A new paradigm is waiting in the wings, one that values nature flows and money flows equally. One that addresses the social and environmental costs of the current model. One that calls for limits to growth and more comprehensive ways of measuring progress. A global economic collapse might be needed to facilitate this paradigm shift, but economics students shouldn’t underestimate their ability to force the change themselves. University campuses have an enormous capacity for agitation. The time for revolution is now.

(uncompromisingly taken from adbusters.org)

---

Mungkin benar kata Fredreich Nietschze jika Tuhan telah mati.
Betapapun kondisi masyarakat dunia entah dari belahan maju
maupun yang terbelakang menjadi bagian dari New World Order
yang dicetuskan Yahudi dan Imperialis Barat. Kemampuan
menyetir ekonomi dunia tak diragukan lagi adalah bagian dari
konspirasi global terhadap penguasaan sumber-sumber hajat
orang banyak seperti "War For Oil" yang baru saja terjadi di Irak.
Atau konsep bekerja demi uang dan kekosongan.

Uang atau doku atau duit memang segalanya saat ini.
Dengan melihat atau memenangkan uang dalam mimpi kita
adalah bentuk kesuksesan dan kemakmuran yang bisa kita raih.
Uang memang berkata atas itu semua, dan kita yakini secara
membabibuta. Buas. Tanpa kendali. Mimpi atas uang, membuat kita
berperilaku bengis terhadap cinta dan kisah seputar itu yang
seringkali melukiskan seksualitas dan kekuasaan.
Pada kasus tertentu, pencarian uang merupakan bentuk pencarian
terhadap cinta dan kekuasaan yang terbeli. Kekurangan uang bisa
berarti kesedihan yang mendalam, menjadi lemah, ndak pede,
bahkan memaksa kita harus menghentikan langkah. Bermimpi
mampu memberikan uang akan sama artinya dengan mampu
memberi cinta. Sebaliknya, jika kita tidak menerima uang akan
sama buruknya dengan dilecehkan dan disia-siakan. Begitu juga
jika kita tidak mempunyai uang, kita akan merasakan kehidupan pun
berhenti, ketakutan akan kehilangan tempat di dunia pun muncul,
alias mati. Efek samping yang akut lagi adalah, jika kita mencuri
uang kita akan dihantui hal-hal yang berbahaya. Lucu bukan?

Dan uang sebagaimana kekerasan adalah bagian dari horror mundi.
Seekor rekan saya, Yudi, mendeskripsikannya secara tepat.

Ah! Saya capek untuk mengatakan nihilisme sekali lagi.

Mending cari alternatif ekonomi yang bersifat bottom-up.
Saya kira lebih bagus pada akhirnya. Paling tidak yang bawah
akan sejajar dengan yang di atas, sama-sama punya peluang.

Thursday, January 20, 2005

Labbaik Allahuma Labbaik



Besok Lebaran Haji.
Idul Adha 1425H.

Berhaji.

Ya! 4 hari lalu saya bermimpi menunaikan ibadah Haji.
Kebetulan memang saya sangat mengharapkan itu terjadi
kelak nanti di garis waktu saya. Kebetulan juga saya
merindukan sebenar-benar kesejukan hati, baik untuk
saya sendiri terlebih buat orang lain. Bukan sebatas
peci atau sorban putih dengan tasbih yg selalu menemani
menguntai do'a hingga akhir hayat nanti, namun kesucian
niat dari gelar seorang al-Hajj.


Semoga bukan cuman mimpi.

---

eramuslim - Kota yang bersinar cemerlang semenjak Al-Musthafa datang, Madinah, saat itu tak lagi lengang. Sebuah undangan mulia untuk berhaji bersama dengan manusia pilihan bergaung merdu. Beribu-ribu orang menyemut di sebuah kota, yang telah menjadi muasal kekhalifahan Islam. Kumandang ajakan dari bibir semanis madu Rasulullah untuk melakukan perjalanan haji, disambut bahagia semua manusia. Semua datang dengan senyum terkembang. Mereka datang dari kota dan pedalaman yang amat jauh ditempuh. Mereka berperjalanan dari berbagai pelosok tanah Arab, dari gunung-gunung, dari lembah sahara, dari setiap jengkal tempat yang dilimpahi dakwah Nabi mulia.

Banyak kemah-kemah didirikan di sekitar kota Madinah. Mereka membangunnya dengan cinta, dengan kasih sayang yang berdenyar lapang. Mereka saling tersenyum kepada wajah-wajah yang baru pertama dijumpa. Mereka saling bertemu, berjabat tangan dan berdekapan meski sama-sama asing. Semua datang untuk saling mengenal, merekatkan kasih sayang dan menebarkan keselamatan. Sungguh tak lagi nampak permusuhan antar kabilah. Madinah cerah. Langit bersuka cita menatap ukhuwah yang dipersembahkan muslim di sana.

Saat matahari tergelincir, pada 25 Zulqaidah tahun ke sepuluh Hijriah, sang Purnama Madinah berangkat menuju Baitullah diikuti beribu jemaah. Semua berbekal, dengan sebaik-baik bekal, taqwa. Berederap mereka beriringan, berbaris rapi seperti gigi sisir yang indah. Rasulullah berada paling depan dengan tunggangan unta betina. Awan berarak, udara bergerak, dan pepasir berderak menyaksikan sebuah duyunan iman dan keikhlasan yang berkelindan di setiap dada.

Adalah ia, seorang pangeran berair muka rupawan nampak tersenyum melihat ummat yang kini berada bersamanya. Ia mengenang saat-saat pertama menelusupkan dakwah di bumi Makkah. Telah belasan tahun, ia berjuang dengan sepenuh cinta di dada, bergumul, tersungkur, terusir dan berperang demi menegakkan kalimah tauhid, mengarahkan manusia kepada jalan indah Allah. Dan tidak terbilang harinya ditumpahkan untuk sebuah peruntuhan berhala Latta dan Uzza, mengikis setiap peluh kebobrokan dari setiap dada-dada manusia dan mengisinya dengan banyak hikmah, iman dan Islam. Dan kini, tak lagi ia seorang diri.

Setelah sampai dan bermalam di Dhul-Hulaifa, keesokan harinya, Nabi keluar dari kemahnya dan mengenakan pakaian ihram putih tanpa jahitan. Para sahabat yang melihatnya langsung bersegera memberitahu setiap gendang telinga untuk berganti pakaian menjadi serupa dengan yang saat itu digunakan Nabi. Dan alangkah menakjubkan memandangi lautan putih dengan banyak kemilau suka cita. Degup jantung mereka satu warna, kegembiraan.

Saat itu, dengan sepenuh kalbu, Kekasih Allah, Muhammad SAW, mengahadapkan wajah ke arah langit seraya bertalbiya. Sepoi angin membumbungkan suara beningnya ke angkasa:

Ku penuhi panggilan Mu , Ya Allah.
Ku penuhi panggilan Mu.
Ku penuhi panggilan Mu, Ya Allah.
Tiada bersekutu Duhai Allah,
Segala puji, nikmat dan syukur adalah kepunyaan-Mu

Bukan hanya lidah semua sahabat yang lantang ikut berseru. Lembah, sahara bahkan seluruh tingkatan langit juga bersahutan, mengulang kalimat talbiyah yang di senandungkan sang penerang.

Pada hari ke delapan Zulhijjah, Nabi pergi ke Mina. Di sana ia melaksanakan kewajiban shalat dan tinggal dalam kemahnya hingga fajar menyingsing pada hari haji. Setelah shalat subuh, ketika surya baru saja tersembul, dengan untanya, ia menuju ke ara gunung Arafah. Arus manusia mengikutinya dari belakang. Mereka bertalbiya, dan berseru kepada Allah yang maha Akbar. Gemanya membahana, menyapa semesta di alam raya.

Di Namira, sebuah desa sebelah timur Arafah, telah dibangun sebuah kemah untuk Rasulullah. Dan ketika matahari telah tergelincir, ia berkendara Al-Qashwa, unta betina, untuk berangkat ke sebuah perut wadi di daerah 'Urana. Di sinilah, Nabi yang Ummi, memanggil semua jemaah untuk berkumpul dan mendengarkan tuturnya. Di atas unta, Al-Musthafa dengan anggun bersabda. Seorang sahabat bernama Rabi'a bin Ummaya bin Khalaf kembali mengulang setiap kata yang diucapkan Nabi dengan lantang, agar semua jemaah tak luput dari seru indah manusia terpilih. Angin siang berdesir lamban. Arakan awan memutih di langit Arafah. Hening memulun di semua lembah. Semua bersiap atas sabda yang hendak terucap. Pada hari itu bumi Arafah bersaksi tentang sebuah khutbah megah. Beginilah sang penyayang anak yatim itu berkhutbah:

"Wahai sekalian manusia, dengarkanlah nasehatku ini baik-baik, aku tidak tahu sesudah ini apakah aku mampu menjumpaimu lagi di tempat berkah ini.

Tahukah kalian, hari apakah ini? Inilah hari Nahar, hari kurban yang suci. Tahukah kamu bulan apakah ini? Inilah bulan yang suci. Tahukah kamu tempat apakah ini? Inilah kota yang suci.

Maka hari ini ku permaklumkan bahwa darahmu dan harta benda sekalian adalah suci buatmu, seperti hari ini, bulan ini dan tempat ini, sampai masa datangnya kalian mengahadap Tuhan.

Barang siapa yang telah diberikan sebuah amanah hendaklah tunaikan amanah itu kepada yang berhak menerimanya.

Hari ini hendaklah dihapuskan semua bentuk riba dan sesungguhnya riba jahiliyah itu batil. Dan riba pertama yang aku hapuskan pertama kali adalah riba yang dilakukan pamanku sendiri, Abbas bin Abd Muthalib.

Bahwa semua tuntutan darah selama masa jahiliyah tidak berlaku lagi, dan tuntutan darah pertama yang kuhapuskan adalah darah 'Amir bin Haris.

Wahai manusia yang ku cinta, hari ini setan telah berputus asa untuk disembah di semesta. Ingatlah ia akan berbangga ketika kamu mentaatinya meski dalam perkara yang kecil, oleh karena itu peliharalah agamamu baik-baik.

Hai manusia, zaman itu berputar semenjak Allah yang maha perkasa menciptakan langit dan bumi. Jumlah bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas, empat bulan adalah bulan suci, tiga bulan berturt-turut dan bulan Rajab itu antara bulan Jumadil akhir dan Sya'ban.

Duhai manusia, sesungguhnya bagi kaum wanita (isteri) mu ada hak-hak yang harus kamu penuhi, dan bagimu juga ada hak-hak yang harus dipenuhi isteri. Ialah, bahwa mereka tidak boleh sekalipun membawa orang lain ke tempat tidur selain kamu sendiri, dan mereka tidak boleh membawa orang lain yang tidak kamu sukai ke rumahmu, kecuali setelah mendapat izinmu. Maka sekiranya kaum wanita melanggar yang demikian, sesuangguhnya Allah telah mengizinkan kamu untuk meninggalkan mereka, dan kamu berkenan melecut ringan terhadap diri mereka yang berdosa itu. Tetapi bila mereka berhenti dan patuh kepadamu, maka menjadi kewajibanmulah untuk menafkahinya dengan sebaik-baiknya. Ingatlah bahwa wanita adalah kaum yang lemah disampingmu, mereka adalah sahabat karibmu. Kamu telah membawa mereka dengan suatu amanah dari Allah dan kamu telah halalkan kehormatannya dengan kalimat Allah. Bertaqwalah kepada Allah tentang urusan wanita dan terimalah wasiat ini untuk bergaul secara baik dengan mereka.

Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu sesuatu yang jika kamu pegang teguh, maka hidupmu pasti bahagia di dunia dan akhirat : Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Dengarkan aku, duhai manusia, bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya tanpa keikhlasan.

Ya Allah, sesungguhnya aku sudah sampaikan."

Suara Nabi berhenti. Ia pandangi ribuan manusia yang mengelilinginya. Hamparan kepala menengadah, menatap lekat dirinya. Mereka kuyup dengan cinta yang berlimpah. Beribu lidah membasah. Mengagungkan nama Allah yang Maha Pemurah. Tak terbilang kelopak mata yang tergenang bening saripati sukacita, betapa gembira berhaji bersama manusia yang paling mempesona. Betapa indah hari itu. Sungguh berdenyar detik-detik yang menari di saat itu. Putra Abdullah itu tersenyum dan turun dari untanya.

Tak seberapa lama, bibir manis Rasulullah kembali menggaungkan sebuah firman Allah yang turun dengan perantara malaikat Jibril.

"Hari ini telah Ku sempurnakan agamamu ini untuk kalian, dan Ku cukupkan nikmatKu kepadamu dan Ku sukai Islam sebagai agama mu" (QS:Almaidah 3).

Dan pada hari itu, bumi Arafah bersaksi, tentang sebuah pertemuan akbar yang dicatat dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa Haji Wada'. Tak ada lagi haji yang dilakukan oleh Nabi. Karena kita semua tahu tak lama berselang, manusia berparas rembulan itu kembali menuju Allah yang Maha Tinggi.

***

Pada hari itu bumi Arafah bersaksi tentang untaian pesan yang digaungkan Al-Musthafa. Pesan yang sangat agung dan dalam maknanya. Ia berpesan bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Jika bersaudara, maka sudah dapat dipastikan saat saudaranya khilaf ia mengingatkan dengan baik. Ketika saudaranya kekurangan, dengan penuh sayang ia sigap membantu. Bersaudara seperti satu tubuh, tatkala saudaranya ditimpa kepedihan, kesakitan dan kesempitan, tak akan menunda waktu, tak akan berlama-lama, ia pasti berlari merengkuh saudaranya dengan segenap cinta, dengan huluran tangan keikhlasan, dengan bantuan tanpa tanding. Ia merasakan nyerinya. Ia merasakan sesak dada saudaranya. Ia tengadah meminta pencipta, memohonkan Allah agar saudaranya dikuatkan.

Saat ini saudara-saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam, bersimbah perih dan lara yang tak terkira. Mereka kehilangan teramat banyak. Yang tersisa di sana hanya air mata, anak-anak yatim piatu yang butuh perlindungan. Saat ini, ketika wukuf di Arafah tengah di langsungkan, mari mengenang pesan Nabi, bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Mari buktikan bahwa kita adalah saudara mereka. Saudara yang mencintai mereka. Hantarkan selaksa cinta kita, uang, pakaian, makanan, atau bahkan lantunan doa. Saya yakin ada yang akan tumbuh subur dengan segera. Ukhuwah itu. Ukhuwah Islamiyah.

Jika pada hari itu, bumi Arafah bersaksi tentang sebuah pesan yang digaungkan kekasih Allah, pada hari ini mudah-mudahan langit menyaksikan bahwa ada yang sedang berlomba-lomba mengamalkan pesannya. Pesan bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Dan Rasulllah pasti berbangga.

Wallahu 'alam.

***

Husnul Rizka Mubarikah
(dari berbagai sumber)

Ada Racun Di Bola Matamu.



Ada sebuah wilayah yang menurut sebagian orang merupakan
wilayah netral yang mencoba menyediakan lahan bagi pemikiran
yang fondatif dalam menghargai manusia yang seharusnya.

Kejadian dalam dunia modern saat ini tak lepas dari peran media
beserta muatan yang menghuni rahimnya seperti penjejalan
iklan yang bisa ribuan jumlahnya setiap hari yang mencuri
mata hati kita. Saya katakan mencuri karena fenomena ini telah
bermetamorfosis secara eksplosif menyerang kesadaran kita
(ironisnya kita gak sadar) sehingga menimbulkan adiksi, kegelisahan,
dan kegalauan yang tumbuh sedemikian buruknya hingga bagi
sebagian orang berubah menjadi keputusasaan epidemis.

Di Indonesia mungkin tidak sehebat apa yang dialami warga
kelas dunia atas seperti di Amerika, namun layaknya 4 roda
mobil yang bergulir di jalan yang sama dan searah, kita lambat
laun (oops, sekarang akseleratif kelihatannya) akan menyusul
kendaraan yang ditumpangi teroris kebudayaan nan kejam.
Entah itu bentuk iklan atau jenis acara akan sama saja efeknya
tatkala kualitas yang dipacu oleh mesin produksi sekarang sudah
bersifat subtil memboroskan kesadaran kita.

Saya baca bahwa di Amerika, beberapa korporasi media bergabung,
berkonsolidasi, dan secara vertikal untuk mencengkeram lebih keras
penguasaan media entertainment dan berita di dunia.

Lewat realitas sejahat ini, kita bahkan terheran-heran akan keajaiban
manusia dalam menghadapinya, bisa kita lihat betapa racun yang
dicangkokpaksa ke dalam lingkungan psikis manusia menjadi ganas
sebelum ambang toleransi dilampaui, dan (sebagian) masyarakat
akan berupaya memperjuangkan sebuah media massa yang bersih,
tidak kusut, dan lebih demokratis?

Mungkin bagi sebagian idealis yang stick-to-the-core akan berbuat
lebih 'gila' seperti membuang pesawat TV-nya ke luar jendela dan
berharap jatuh di atas seorang Raam Punjabi (fuck that crap!, i hate
his state-of-mind since choking our inhabitant with some huge
fuckin' moronic pathetic stuffs!). Atau belum ada gerakan anti
kebengisan pemerintah dalam mempolitisir media (saya belum tahu
pasti apakah institusi seperti Lembaga Informasi Nasional bekerja
demi negeri atau demi sebagian orang gila). Hanya saja apa yang
terbaik yang telah diperjuangkan aktivis media adalah jaminan
kebebasan mengkritisi media untuk lebih demokatis (baca: lebih
membumi), melebarkan akses publik ke sistem informasi yang
berhubungan langsung dengan sistem media massa yang berkarat.

Namun beberapa studi psikososial yang provokatif sekarang agaknya
mengampangkan debat wacana ini. Studi fundamental ini mengarah
pada apa yang sedang terjadi di Amerika, kendati di negeri ini juga
demikian. Para pemikir tersebut memberi label toksin media yang ada
sekarang telah mencapai titik didih tinggi, menjelaskan kejadian
legalisasi pemakaian obat bius psikoaktif, kekerasan di jalan,
pembunuhan keluarga sendiri, pemerkosaan anak kandung, problema
penyakit psikosomatis, dan sinisme sosial serta kondisi tanpa harapan
yang melipat kultur majemuk kita.

Beberapa jurnal dalam studi ini sangatlah revolusioner, mengingatkan
kita tentang adanya racun yang mengosongkan pandangan kita,
sebuah virus yang sangat mutatif.

Mari berjuang, Kawan!

(meminjam sumbangsih dari culturejammers Karl Lasn & DeGrandpe)

Tuesday, January 18, 2005

The Uncertainties of Knowledge



Pusat Galaksi Kita Dipenuhi Lubang Hitam?

Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini menyimpulkan bahwa pusat galaksi Bima Sakti kita dipenuhi oleh lubang-lubang hitam (blackhole), seperti yang telah diduga para astronom.

Sejauh ini dipercaya pusat galaksi kita didominasi oleh sebuah blackhole maha besar. Ia memiliki massa setara dengan 3 juta Matahari. Di sekitarnya, para ilmuwan memperkirakan, ada juga blackhole-blackhole stellar (terjadi akibat runtuhnya bintang raksasa) dalam konsentrasi tinggi. Masing-masing berukuran beberapa kali massa Matahari.

Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan adanya banyak blackhole stellar dekat pusat galaksi. Namun melihat ke sana bukanlah hal yang mudah karena wilayah itu ditutupi debu kosmis. Cahaya tampak tidak dapat menembusnya.

Nah, sebuah studi yang dilakukan astronom Michael Muno terhadap bagian dalam galaksi kita (sebagai catatan Bumi dan tata surya kita berada di pinggiran galaksi) pada jarak sekitar 75 tahun cahaya, memberikan sedikit pencerahan mengenai keberadaan blackhole di sana. Adapun yang digunakan Muno adalah teleskop ruang angkasa sinar X Chandra Observatory. Sinar X diketahui bisa menembus debu-debu antar bintang itu.

Muno dan rekan-rekannya telah menemukan bukti-bukti kuat adanya tujuh blackhole - atau bisa jadi bintang neutron yang juga amat padat - di sana. Uniknya, empat dari objek itu terkonsentrasi di ruang yang hanya berjarak 3 tahun cahaya dari blackhole raksasa di tengahnya.

"Konsentrasi objek-objek ini menimbulkan dugaan bahwa sejumlah besar blackhole dan bintang neutron telah berkumpul di pusat galaksi," kata Muno.

Bila kondisi ini diekstrapolasikan di seluruh arah di langit, maka akan didapatkan sekitar 10.000 blackhole dan bintang neutron mengorbit di dekat pusat galaksi.

Sebuah teori yang diungkapkan peneliti dari UCLA, Mark Morris, mendukung temuan di atas. Menurutnya objek-objek padat seperti black hole berinteraksi secara gravitasi dengan bintang-bintang yang kurang padat. Bintang yang lebih ringan cenderung terlempar ke luar, kata Morris, sedangkan blackhole berada pada jalurnya menuju pusat galaksi. Itu sebabnya, ditemukan banyak blackhole di sana.

Blackhole sendiri tidak bisa dilihat secara langsung. Mereka terdeteksi dari lingkungan sekitarnya, yang seolah terhisap ke suatu titik. Mereka juga diketahui dari pancaran sinar X akibat pemanasan gas-gas sebelum mereka terhisap.

Dugaan mengenai konsentrasi blackhole di pusat galaksi ini dilaporkan dalam pertemuan American Astronomical Society minggu ini. Meski begitu, beberapa riset masih harus dilakukan untuk membenarkannya. (space.com/wsn)

(dikopi mentah-mentah dari www.space.com)

---

Menggelitik memang, itulah yang saya rasakan setiap kali
saya berhubungan dengan sains. Pengaruh besar keluarga
dan daya tarik sains yang memikat saya untuk masuk kelas
Fisika pada masa SMA dan jurusan Astronomi di zaman
kuliah dulu, membuat beberapa konsep yang eksak menjadi
makanan pokok saya sehari-hari, bahkan hingga sekarang.

Seperti asas ketidakpastian Werner Karl Heisenberg,
keberadaan suatu kenyataan (dalam hal ini bukan realitas
metafora seperti yang diperbincangkan di bagian lain dari
filsafat) melukiskan segala kontinuitas yang 'sebenarnya'
seimbang, memposisikan segala unsur pembentuk alam
semesta beserta isinya dalam keteraturan. Kendati Heisenberg
sendiri tidak menemukan pengukuran yang sama persis sama
kuat terhadap dualitas masing-masing paradoks di dalamnya,
mengakibatkan solusi yang lebih rumit seperti yang ditunjukkan
oleh alam.

Kasus observasi yang didasarkan pada postulat-postulat
sains memang pada dasarnya telah benar. Seperti halnya
penemuan konstanta-konstanta fisika maupun kimiawi
menandakan adanya kepastian hukum alam yang bisa kita
pelajari yang berfungsi sebagai jendela, jalan setapak, dan
kompas-peta yang menghadapkan wajah dan titik fokus kita
ke sebuah konsep diri.

Membentangkan cakrawala dan berusaha open-minded
tidak sama dengan berpikir bebas (free-thinking).
Ketika manusia dihadapkan pada sebentuk problema sosial
yang merintangi jalannya, secara tidak sadar adalah
gambaran kebuntuan paradigma sains yang dianggap
pemecah semua masalah. Seperti pemikiran seorang
sejarawan Immanuel Wallerstein dalam bukunya
"The Uncertainties of Knowledge", ini terkait sekali dengan
sikap institusi akademis masa lalu (atau bahkan sampai sekarang?)
yang menasbihkan kepastian dalam segala hal. Sains tidak lagi
menikmati kemashurannya yang selama 200 tahun merupakan
bentuk utama kebenaran. Dan label "ilmiah" dan "modern"
menjadi sinonim secara vitual, bahkan lebih parah lagi
bagi hampir setiap individu menjadi bermanfaat alias benar.
Ini bisa kita maklumi. Dengan demikian harus ada solusi bagi
cabang ilmu lain untuk memainkan perannya, harus ada
metodologi apriori yang memperbolehkan ketidakpastian
bermain di dalamnya.

Sains sosial seperti sosiologi ataupun antropologi sedapatnya
merangkul wilayah tersebut agar tidak timpang ketika

manusia membabibuta mengapresiasi sebuah fenomena.
Begitupun spiritualitas tidak mungkin diabaikan. Bisa kita lihat
sebenarnya antara sains dan agama bisa berjalan seiring
tanpa hambatan. (sesi ini akan saya bahas lain waktu).

Objek-objek kosmis yang hipotetik seperti lubang hitam dan
eksistensi materi gelap (dark matter) adalah observasi pemikiran
manusia dalam tataran tinggi, dan saya pikir akan sama dengan
ide penalaran manusia di garis batas antara filsafat dan sains,
yang sama-sama mencari hakikat. Dengan demikian adanya
keterkaitan mereka dengan sosial adalah sangat tinggi,
bahkan melampaui apa yang dinamakan kedigdayaan materi, saat ini.
Entah akan disebut kesimpulan atau bukan,
simbiosis antara sains-filsafat-agama merupakan trinitas
kemanunggalan yang menjadi warna diri rentang hidup manusia
sebagai makhluk (objek) yang berpikir. Kemandirian tiga elemen
itulah yang berperan sebagai rambu-rambu peringatan dari
Kausalitas Maha Agung, hanya semata-mata supaya nyanyian
penguburan tidak mengiringi jiwa manusia, baik mata hatinya
sekaligus akal sehatnya.

Mungkin parodi pemikiran tentang akal sehat dan kenormalan
bisa mencari sisi lain sudut pandang. Ya! Bukan berarti hal
yang saya ajukan di atas tidak bisa diperdebatkan.
Bukan begitu, hai para filsuf barat ?

Ya! sedemikianlah pola yang melandasi keberpihakan kita
dalam mencicipi rasa setiap unsur kehidupan. Walaupun begitu,
saya tetap berterimakasih pada sains yang membesarkan
jalan pikiran saya, sehingga saya bisa menikmati perjalanan
ke belahan nusantara lainnya dengan aerodinamika pesawat,
atau merasakan lompatan energi ketika saya bermain dan
terbakar mercon saat bulan puasa dulu, bahkan hanya sekedar
mengetahui perilaku quark dengan karakter spin-nya
yang membentuk bintang-bintang.

Kendati demikian, saya masih merasakan adanya elemen yang
lain yang juga bermain dalam wilayah ini, yang mendukung
secara signifikan limas tiga elemen di atas. Hmmm... tahukah Anda?

Yeahhh!!!!

Friday, January 14, 2005

Susu instan modernitas.



Sepenggal kata yang muncul di pikiran saya adalah MODERN.

Mungkin sudah beribu-ribu judul yang mengkritisi kehadiran
makhluk baru ini dalam budaya populer kita. Ya, budaya populer
seperti yang rekan saya bilang, telah menghasilkan
bertumpuk-tumpuk eksistensi yang terkadang eksponensial.
Kita bisa lihat munculnya barang baru dan perilaku baru dalam
tatanan ini. Semacam perubahan wajah kita yang dihiasi oleh
carut-marut perilaku. Entah perilaku denotatif maupun perilaku
menyimpang yang membawa kekosongan makna. Wajah kita
sudah lama berubah karena 'make up' yang dianggap modern.
Carut-marut itu layaknya fly over yang simpang siur seperti
di Jakarta ini (ya, saya masih saja mengais nafas di kota yang
katanya modern ini). Hanya saja fly over-fly over di wajah kita
saling bertumpuk hingga menjulang tinggi, saling menunjukkan
superioritas masing-masing sifatnya melampaui batas-batas
kenormalan. Ah, apa sih yang dikatakan normal itu?

Saya teringat ungkapan kawan lama saya ketika kuliah dulu,
bahwa tidak merespon adalah suatu respon, diam adalah sebuah
jawaban. Dan dia sewot karena dia pikir kok kesannya mbulet
gitu, kok apa gak bisa dipikir lagi ketika kita seharusnya
menjawab, bukan hanya diam. Ya, bukannya saya tidak setuju
karena kekonyolan sebagian kita yang terlahir setelah era
revolusi industri ini, namun bagi saya menyediakan sebuah
jawaban jauh artinya dengan hanya membisu.
Hahaha... saya jadi geli sendiri. Wacana pembenaran yang dia
kritisi tadi menunjukkan evolusi pemikiran manusia yang degeneratif.
Atau intuisi? Penumpulan intuisi yang menjadikannya layaknya
insting binatang yang serba instan dan defensif.

Nah, kenormalan dari sudut mana lagi, ketika kita sendiri
mensejajarkan kapasitas kita dengan binatang? Terkadang
saya takut berkata apakah ketidaknormalan adalah normal.
Begini, tendensi yang dimiliki manusia yang selalu saja tidak
puas memang selalu mengarah ke attitude menyimpang,
dalam arti dia selalu mencari ekstasi dari hal-hal di luar
kemampuan dia untuk berpikir. Dan itu wajar. Dan akan
menjadi absurd andaikata kita berusaha menarik garis batas.
Seorang Paris Hilton akan melakukan sensasi mereguk
kenikmatan seksualnya dan mensosialisasikannya lewat media
apapun. Atau lebih kuno lagi ketika Madonna memproduksi
massal buku autobiografi SEX-nya. Atau dari negeri tercinta
kita yang beranggotakan seorang wanita bernama Nafa Urbach
yang mengklaim dirinya adalah Britney Spears-nya Indonesia.
Ow shit! Terhanyut dalam simulakrum abad 20! Benar-benar
nihilis stadium lanjut!

"infinite progress... infinite tedium. what could be more dreary
than the perfection of mankind? The idea of progress is only
the longing for immortality given a techno-futurist twist.
Sanity is not found here..."
- "Straw Dogs" by John Gray.

Ehm! sebuah progres yang terlihat dari puncak mahkota modernisme.
Sebuah expressive use of language yang menemukan jatidirinya
di bagian teruwet wajah peradaban. Silakan saja menjadi hamba
dari nonkognitivisme yang selalu menjunjung ekspresi perilaku,
hasrat, ataupun keinginan. Saya akui Jakarta yang saya
tinggali saat ini adalah bukan salah satu dunia eleastik yang saya
kenal. Inilah dunia yang menciptakan ruang terhadap perubahan
yang saling menghantam, agnostis, dan licik dalam skala yang
sungguh di luar dugaan. Hmm... kalo dijadiin skenario film pasti
seseru MATRIX. :)

Di sini, memaknai kekinian dalam terminologi modernitas
mengambil sedikit energi alias jalan pintas daripada harus
mengisinya dengan makna keharusan memberi warna asli.

Modern bisa berarti pelintiran teknologi.
Dan pada saat dipelintir, tidak semua elemen mampu menahannya.
Ketika saya terjebak dalam pemikiran konvensional, kadang sangat
pahit melihat sektor ini, dan akhirnya saya selalu mengalah.
Kerangka pijakan yang saya tumpukan dalam etika filosofis kali ini
sedikit memaksa saya melakukan penilaian benar atau salah.
Sebab yang mengetuk benak saya adalah benturan konfrontatif,
sehingga sekali lagi membangkitkan adrenalin saya secara sontak,
yang menahan langkah saya untuk mendepak! Salah satu cara
menegaskan moral value dari kewajiban atau hak. Sepertinya
menjadi seorang konsekuensialis merupakan jalan tengah kali yak,
sebelum saya melangkah menuju etika kebaikan, meninggalkan
kegamangan ini.

Bagi saya susu instan masih lebih baik dari pragmatisme instan.
Apalagi susu asli, jelas paling bagus!

Har har har....!

Thursday, January 06, 2005

(rehat) (Blue-print) (mimpi indah)

Lho kok saya jadi serius gini? He he he he...

Pernah suatu kali Soren Kierkegaard berujar dalam jurnalnya,
bahwa Hidup harus dijalani maju, namun hanya bisa dipahami
secara mundur.

Dan inilah efek budaya mencatat saya.
Sama seperti alasan membuat blog ini bagi rekan saya yang
calon filsuf itu, saya hanya sekedar membuat cetak biru
pemikiran saya dari waktu ke waktu.
Jadi, terimakasih dunia maya, telah memberiku media dan
kehidupan walaupun semu. Nanti saya akan menyerang
lebih banyak lagi tentang kalian wahai media dan sebangsamu. :P

Rileks dulu aja, karena otot-ototku terasa sangat lelah
setelah 2 jam terakhir tadi terpompa dengan intens dalam
rangkaian chest superset.

Phew!


Segelas susu hangat sambil dengerin sayup-sayup Guns N' Roses,
lalu bobo manis.

Wednesday, January 05, 2005

Ketika neraka menampakkan jalannya.

Terus terang masih kurasakan sedih yang teramat dalam.
Hingga detik ini pun selalu dan selalu memberi peringatan
pada kelemahanku, jika ini pertanda dan pertanda.
Masih terasa tidak enak dalam benak saat waktu pun
membisikkan firasat yang kurang menyenangkan.
Firasat yang selalu aku percaya sebagai mata pedang visiku.

Kami memang lemah.
Ya Robbi, ampuni kami.

Dan Bumi menampakkan konsep neraka begitu gamblang
di hadapan mata hatiku saat ini, yaitu (1) sesuatu yang lebih dari
sekedar state-of-mind, (2) lebih dari gambaran pengukuran oleh
Bapak Mekanika Modern Galileo Galilei (terimakasih atas
usahamu, kawan!) seperti yang dia paparkan secara ilmiah
di novel Inferno karya Dante, bahkan jauh melampaui (3) konsep
yang diajarkan orang-orang tua terdahulu dalam bahasa
simbolisme dangkal yang menjadikannya obyek mengerikan
sebagai konsekuensi atas kehidupan manusia,
sebelum datang era kemutlakan.

Hakikilah yang saya inginkan, apapun entitas keabadian
bernama neraka merupakan gambaran kondisi negatif (antonim
pemaknaan surga) yang sama sekali tidak terbayangkan oleh
pemikiran manusia!
Sebuah kondisi jika saya pun mampu menggambarkannya
akan menjadi tidak bermakna alias percuma!
Sebuah kondisi ketika hukum materi dan sifat alam menjadi usang!
(Ya, karena entitas kembar yang kontradiktif itu merupakan
'rumah-rumah' yang PALING ABSOLUT bagi tempat tinggal jiwa
dan hati manusia nanti, bukan nisbi seperti periode yang diawali
Dentuman Besar dan diakhiri tiupan Sangkakala ini).

Dan ini penting bagi saya.
Memang ini bukan filsafat materialis (meminjam istilah dari rekan
di Bandung yang calon filsuf), namun pendekatan spiritual akan
menjadi sangat penting bagi karir saya sebagai makhluk berakal.

Semoga ini kengerian terakhir tanpa amarah lautan susulan
ataupun wabah yang membinasakan.

Kami memang sangat rapuh.
Ya Robbi, ampuni kami.

---

Awan hitam, di hati yang sedang gelisah
Daun-daun berguguran satu-satu jatuh ke pangkuan
Kutenggelam sudah ke dalam dekapan semusim yang lalu
sebelum ku mencapai langkahku yang jauh

Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti

Gelisah kumenanti tetes embun pagi
Tak kuasa kumemandang datangmu matahari

Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti

Badai Pasti Berlalu

- Chrisye & Berlian Hutauruk.