&t /// JELAJAH BELANTARA ///: Susu instan modernitas.

Friday, January 14, 2005

Susu instan modernitas.



Sepenggal kata yang muncul di pikiran saya adalah MODERN.

Mungkin sudah beribu-ribu judul yang mengkritisi kehadiran
makhluk baru ini dalam budaya populer kita. Ya, budaya populer
seperti yang rekan saya bilang, telah menghasilkan
bertumpuk-tumpuk eksistensi yang terkadang eksponensial.
Kita bisa lihat munculnya barang baru dan perilaku baru dalam
tatanan ini. Semacam perubahan wajah kita yang dihiasi oleh
carut-marut perilaku. Entah perilaku denotatif maupun perilaku
menyimpang yang membawa kekosongan makna. Wajah kita
sudah lama berubah karena 'make up' yang dianggap modern.
Carut-marut itu layaknya fly over yang simpang siur seperti
di Jakarta ini (ya, saya masih saja mengais nafas di kota yang
katanya modern ini). Hanya saja fly over-fly over di wajah kita
saling bertumpuk hingga menjulang tinggi, saling menunjukkan
superioritas masing-masing sifatnya melampaui batas-batas
kenormalan. Ah, apa sih yang dikatakan normal itu?

Saya teringat ungkapan kawan lama saya ketika kuliah dulu,
bahwa tidak merespon adalah suatu respon, diam adalah sebuah
jawaban. Dan dia sewot karena dia pikir kok kesannya mbulet
gitu, kok apa gak bisa dipikir lagi ketika kita seharusnya
menjawab, bukan hanya diam. Ya, bukannya saya tidak setuju
karena kekonyolan sebagian kita yang terlahir setelah era
revolusi industri ini, namun bagi saya menyediakan sebuah
jawaban jauh artinya dengan hanya membisu.
Hahaha... saya jadi geli sendiri. Wacana pembenaran yang dia
kritisi tadi menunjukkan evolusi pemikiran manusia yang degeneratif.
Atau intuisi? Penumpulan intuisi yang menjadikannya layaknya
insting binatang yang serba instan dan defensif.

Nah, kenormalan dari sudut mana lagi, ketika kita sendiri
mensejajarkan kapasitas kita dengan binatang? Terkadang
saya takut berkata apakah ketidaknormalan adalah normal.
Begini, tendensi yang dimiliki manusia yang selalu saja tidak
puas memang selalu mengarah ke attitude menyimpang,
dalam arti dia selalu mencari ekstasi dari hal-hal di luar
kemampuan dia untuk berpikir. Dan itu wajar. Dan akan
menjadi absurd andaikata kita berusaha menarik garis batas.
Seorang Paris Hilton akan melakukan sensasi mereguk
kenikmatan seksualnya dan mensosialisasikannya lewat media
apapun. Atau lebih kuno lagi ketika Madonna memproduksi
massal buku autobiografi SEX-nya. Atau dari negeri tercinta
kita yang beranggotakan seorang wanita bernama Nafa Urbach
yang mengklaim dirinya adalah Britney Spears-nya Indonesia.
Ow shit! Terhanyut dalam simulakrum abad 20! Benar-benar
nihilis stadium lanjut!

"infinite progress... infinite tedium. what could be more dreary
than the perfection of mankind? The idea of progress is only
the longing for immortality given a techno-futurist twist.
Sanity is not found here..."
- "Straw Dogs" by John Gray.

Ehm! sebuah progres yang terlihat dari puncak mahkota modernisme.
Sebuah expressive use of language yang menemukan jatidirinya
di bagian teruwet wajah peradaban. Silakan saja menjadi hamba
dari nonkognitivisme yang selalu menjunjung ekspresi perilaku,
hasrat, ataupun keinginan. Saya akui Jakarta yang saya
tinggali saat ini adalah bukan salah satu dunia eleastik yang saya
kenal. Inilah dunia yang menciptakan ruang terhadap perubahan
yang saling menghantam, agnostis, dan licik dalam skala yang
sungguh di luar dugaan. Hmm... kalo dijadiin skenario film pasti
seseru MATRIX. :)

Di sini, memaknai kekinian dalam terminologi modernitas
mengambil sedikit energi alias jalan pintas daripada harus
mengisinya dengan makna keharusan memberi warna asli.

Modern bisa berarti pelintiran teknologi.
Dan pada saat dipelintir, tidak semua elemen mampu menahannya.
Ketika saya terjebak dalam pemikiran konvensional, kadang sangat
pahit melihat sektor ini, dan akhirnya saya selalu mengalah.
Kerangka pijakan yang saya tumpukan dalam etika filosofis kali ini
sedikit memaksa saya melakukan penilaian benar atau salah.
Sebab yang mengetuk benak saya adalah benturan konfrontatif,
sehingga sekali lagi membangkitkan adrenalin saya secara sontak,
yang menahan langkah saya untuk mendepak! Salah satu cara
menegaskan moral value dari kewajiban atau hak. Sepertinya
menjadi seorang konsekuensialis merupakan jalan tengah kali yak,
sebelum saya melangkah menuju etika kebaikan, meninggalkan
kegamangan ini.

Bagi saya susu instan masih lebih baik dari pragmatisme instan.
Apalagi susu asli, jelas paling bagus!

Har har har....!

0 Thoughts You Share:

Post a Comment

<< Home