Foodless People: The Transitional Hell.
"I believe most mistakes made from human errors, while nature
plays the rest."
-Myself.
Ada pengetahuan tentang survival (mempertahankan diri di alam
terbuka) yang sangat vital, yaitu Aturan Tiga. Salah satunya adalah
batas manusia tahan lapar yaitu 3 minggu. Pastinya sih tergantung
iklim, cuaca, dan daya tahan individu tersebut.
Selebih itu, relakanlah indahnya duniawi.
Begitupun dalam kasus kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua
sana, ketika penduduk kekurangan bahan pangan yang
sesungguhnya amatlah melimpah di bumi sana. Hasil hutan dan
sistem berburu yang sedemikian hebat, ternyata tidak diimbangi
dengan persiapan menghadapi transisi budaya.
KETERGANTUNGAN
Penduduk Papua tergolong subsisten, masih hanya berpikir hari ini
makan apa ya? Hanya untuk hari ini. Esok hari itu urusan nanti.
Memang demikian. Itu yang saya alami ketika bertugas di sana dulu,
sekitar tahun 2002. Sudah abad 21.
Dan ketika dikirim bantuan berupa beras dan mie instan,
katakanlah begitu, penduduk Papua malah bingung bagaimana cara
masaknya. Padahal tiap hari segala makanan lewat proses dibakar,
tanpa alat masak seperti panci apalagi wajan teflon.
Berburu banyak babi hanya dalam kondisi partikuler, seperti
upacara adat, dimana semua orang dari berbagai suku bergabung
dan berpesta menyantap babi panggang atau bakar.
Tapi tidak dengan kebutuhan hari biasa.
Nah, masa transisi membawa perubahan perilaku. Dari sekedar
makan ubi, kini mengenal beras, membelinya dengan uang, dan
pada akhirnya ketergantungan. Sama seperti konsep teknologi yang
mencibir dengan berbagai kemudahan. Yang di pulau Jawa saja
masih sering terbata-bata dengan globalisasi, bagaimana pula
yang less-educated people seperti mereka? Tidak makan nasi,
berarti belum makan. Sebuah persepsi yang menggelikan.
Dan begitu harga beras mahal, penduduk Papua memilih kelaparan.
Ketergantungan membuat mereka malas. Tradisi berburu terkesan
menumpul. Padahal saya tahu benar, kemampuan survival mereka
sangatlah tinggi. Dan mereka itu kuat sekali. Kecuali wajah dan
abdomen, genetik mereka adalah salah satu yang terbaik di ras
manusia.
ADA YANG MENGAMUK
Sebab kedua adalah faktor alam. Curah hujan di sana memang
seringkali tinggi. Hutan hujan tropisnya begitu lebat dan berbahaya.
Tak jarang tanah longsor terjadi di sekitar pemukiman yang padat.
Tidak ada akses darat ke kabupaten Yahukimo. Terisolir yang
menyebabkan bantuan ngadat. Masyarakat itu semakin kelaparan.
Dan tahun ini yang terparah, walaupun setiap 5 tahun selalu ada
wabah ini di sana. Mengapa semakin parah?
Informasi berikut akan menambah pemahaman tentang bencana
kelaparan yang terjadi di Yahukimo. Berdasarkan tempat tinggalnya
dari permukaan laut, penduduk Yahukimo dapat digolongkan
menjadi dua. Pertama, penduduk di daerah pegunungan,
misalnya Holuon, Korupun, Lolat, Seridala, Sela, Endomen, Lambia,
Kona, Nalca, Ninia, Soba, Devila, dan Vam.
Kedua, penduduk dataran rendah. Penduduk di pegunungan adalah
petani yang menanam ubi jalar di tanah yang bercampur lumpur.
Biasanya hujan hanya terjadi 3 bulan sekali. Pada saat musim
hujan ini, penduduk telah pergi ke hutan untuk memanen
kelapa hutan - sejenis pandanus sehingga tanaman mereka
tergenang air dan membusuk. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya kelaparan. Sementara di dataran rendah, misalnya
Dekay dan Momuna - penduduknya masih nomaden.
Makanan utama mereka adalah sagu, sayur paku dan hasil buruan.
Ketika daerah hidupnya diitebang oleh perusahaan kayu kemudian
pemukiman, siklus hidup mereka terganggu. Mereka kekurangan
sumber pangan yang diramu dari alam. Akhirnya mereka pun
menderita kelaparan. Sebenarnya tanda-tanda kelaparan muncul
pada Sepetember 2005. Namun tanda-tanda tidak mendapat
tanggapan dari pemerintah daerah. Khusus bagi penduduk dataran
rendah, perubahan hutan untuk kepentingan pembangun merupakan
salah satu sebabnya, kepada masyarakat ini perlu dibekali sistem
pertanian menetap dengan semua konsekuensinya.
(Saya comot dari >>)
---
Solusinya memang musti ada penyuluhan yang baik. Pendekatannya
jelas berbeda. Jadi musti sesuai konteks. Misalkan cara memanfaatkan
lahan agar tidak longsor. Atau memberikan ubi jenis tahan lama ketika
disimpan. Jangan sampai ada aktivitas kapitalistik berlebihan, seperti
memaksa mereka makan beras, alih-alih mengubah sistem pertanian
tumpang sari menjadi sistem monokultur yang merentankan para
petani gurem. Ini agenda penting untuk pemerintah.
(Kompas, 12dec05)
Bukan hanya Papua. Ingatlah pada daerah tandus NTT dan Wonogiri.
Semua sekarat baik ketika kemarau ataupun penghujan. Dan mereka
butuh perhatian dari yang tidak lapar. Sebuah prioritas!
Manusia cenderung latah. Pada awalnya serta-merta mengirimkan
berlimpah bantuan. Namun bagaimana kelanjutannya? Sebulan pasca
musibah? Tiga bulan? Setahun? Bagaimana kondisi Aceh sekarang?
Saya yakin banyak yang sudah tidak peduli. Bisa jadi orang Yahukimo
akan bernasib serupa. Ditinggal saudara-saudaranya yang katanya
(mengaku) sudah beradab. Hanya kata 'kasihan' yang bisa diucapkan.
Selebihnya, "eh maaf Pak, saya musti meeting pagi ini. Perusahaan
sedang mengandalkan saya dalam transaksi saham kali ini...". Atau,
"Aduh, enak sekali hidangan pesta malam ini." Sementara tetangga
sebelah merintih kesakitan menahan rasa lapar. Sebersit sesekali
keinginan merampok dan membunuh tetangga kayanya tadi.
---
Menserasikan urusan perut dengan makanan otak alias pendidikan,
ternyata sulit sekali, ya? Lagipula, hidup mereka sudah sederhana,
mengapa kita persulit?
Musim pancaroba memang banyak penyakit.
---
The one obvious explanation for starvation is POVERTY . The underprivileged are
usually hungry, and the hungry are usually poor. In 1st World countries,
we have the luxury of only worrying about our quality of life and the standard of living.
However, in 3rd World countries, where there is no relative standard of living,
the motivation of life quality shifts to the simple act of supporting life; i.e. survival.
A key problem here is Capital Investment, which most 3rd World Countries
do not readily have. They have no or little money to spend on agricultural or
its development when they have hungry mouths to feed, and medical problems
to consider.
There are somethings go wrong, including these 4 Major Problems:
Poverty, Population, Priorities & Politics.
They are separate issues, but are also interlocked each effecting the other.
(Taken from www.thesahara.net)
plays the rest."
-Myself.
Ada pengetahuan tentang survival (mempertahankan diri di alam
terbuka) yang sangat vital, yaitu Aturan Tiga. Salah satunya adalah
batas manusia tahan lapar yaitu 3 minggu. Pastinya sih tergantung
iklim, cuaca, dan daya tahan individu tersebut.
Selebih itu, relakanlah indahnya duniawi.
Begitupun dalam kasus kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua
sana, ketika penduduk kekurangan bahan pangan yang
sesungguhnya amatlah melimpah di bumi sana. Hasil hutan dan
sistem berburu yang sedemikian hebat, ternyata tidak diimbangi
dengan persiapan menghadapi transisi budaya.
KETERGANTUNGAN
Penduduk Papua tergolong subsisten, masih hanya berpikir hari ini
makan apa ya? Hanya untuk hari ini. Esok hari itu urusan nanti.
Memang demikian. Itu yang saya alami ketika bertugas di sana dulu,
sekitar tahun 2002. Sudah abad 21.
Dan ketika dikirim bantuan berupa beras dan mie instan,
katakanlah begitu, penduduk Papua malah bingung bagaimana cara
masaknya. Padahal tiap hari segala makanan lewat proses dibakar,
tanpa alat masak seperti panci apalagi wajan teflon.
Berburu banyak babi hanya dalam kondisi partikuler, seperti
upacara adat, dimana semua orang dari berbagai suku bergabung
dan berpesta menyantap babi panggang atau bakar.
Tapi tidak dengan kebutuhan hari biasa.
Nah, masa transisi membawa perubahan perilaku. Dari sekedar
makan ubi, kini mengenal beras, membelinya dengan uang, dan
pada akhirnya ketergantungan. Sama seperti konsep teknologi yang
mencibir dengan berbagai kemudahan. Yang di pulau Jawa saja
masih sering terbata-bata dengan globalisasi, bagaimana pula
yang less-educated people seperti mereka? Tidak makan nasi,
berarti belum makan. Sebuah persepsi yang menggelikan.
Dan begitu harga beras mahal, penduduk Papua memilih kelaparan.
Ketergantungan membuat mereka malas. Tradisi berburu terkesan
menumpul. Padahal saya tahu benar, kemampuan survival mereka
sangatlah tinggi. Dan mereka itu kuat sekali. Kecuali wajah dan
abdomen, genetik mereka adalah salah satu yang terbaik di ras
manusia.
ADA YANG MENGAMUK
Sebab kedua adalah faktor alam. Curah hujan di sana memang
seringkali tinggi. Hutan hujan tropisnya begitu lebat dan berbahaya.
Tak jarang tanah longsor terjadi di sekitar pemukiman yang padat.
Tidak ada akses darat ke kabupaten Yahukimo. Terisolir yang
menyebabkan bantuan ngadat. Masyarakat itu semakin kelaparan.
Dan tahun ini yang terparah, walaupun setiap 5 tahun selalu ada
wabah ini di sana. Mengapa semakin parah?
Informasi berikut akan menambah pemahaman tentang bencana
kelaparan yang terjadi di Yahukimo. Berdasarkan tempat tinggalnya
dari permukaan laut, penduduk Yahukimo dapat digolongkan
menjadi dua. Pertama, penduduk di daerah pegunungan,
misalnya Holuon, Korupun, Lolat, Seridala, Sela, Endomen, Lambia,
Kona, Nalca, Ninia, Soba, Devila, dan Vam.
Kedua, penduduk dataran rendah. Penduduk di pegunungan adalah
petani yang menanam ubi jalar di tanah yang bercampur lumpur.
Biasanya hujan hanya terjadi 3 bulan sekali. Pada saat musim
hujan ini, penduduk telah pergi ke hutan untuk memanen
kelapa hutan - sejenis pandanus sehingga tanaman mereka
tergenang air dan membusuk. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya kelaparan. Sementara di dataran rendah, misalnya
Dekay dan Momuna - penduduknya masih nomaden.
Makanan utama mereka adalah sagu, sayur paku dan hasil buruan.
Ketika daerah hidupnya diitebang oleh perusahaan kayu kemudian
pemukiman, siklus hidup mereka terganggu. Mereka kekurangan
sumber pangan yang diramu dari alam. Akhirnya mereka pun
menderita kelaparan. Sebenarnya tanda-tanda kelaparan muncul
pada Sepetember 2005. Namun tanda-tanda tidak mendapat
tanggapan dari pemerintah daerah. Khusus bagi penduduk dataran
rendah, perubahan hutan untuk kepentingan pembangun merupakan
salah satu sebabnya, kepada masyarakat ini perlu dibekali sistem
pertanian menetap dengan semua konsekuensinya.
(Saya comot dari >>)
---
Solusinya memang musti ada penyuluhan yang baik. Pendekatannya
jelas berbeda. Jadi musti sesuai konteks. Misalkan cara memanfaatkan
lahan agar tidak longsor. Atau memberikan ubi jenis tahan lama ketika
disimpan. Jangan sampai ada aktivitas kapitalistik berlebihan, seperti
memaksa mereka makan beras, alih-alih mengubah sistem pertanian
tumpang sari menjadi sistem monokultur yang merentankan para
petani gurem. Ini agenda penting untuk pemerintah.
(Kompas, 12dec05)
Bukan hanya Papua. Ingatlah pada daerah tandus NTT dan Wonogiri.
Semua sekarat baik ketika kemarau ataupun penghujan. Dan mereka
butuh perhatian dari yang tidak lapar. Sebuah prioritas!
Manusia cenderung latah. Pada awalnya serta-merta mengirimkan
berlimpah bantuan. Namun bagaimana kelanjutannya? Sebulan pasca
musibah? Tiga bulan? Setahun? Bagaimana kondisi Aceh sekarang?
Saya yakin banyak yang sudah tidak peduli. Bisa jadi orang Yahukimo
akan bernasib serupa. Ditinggal saudara-saudaranya yang katanya
(mengaku) sudah beradab. Hanya kata 'kasihan' yang bisa diucapkan.
Selebihnya, "eh maaf Pak, saya musti meeting pagi ini. Perusahaan
sedang mengandalkan saya dalam transaksi saham kali ini...". Atau,
"Aduh, enak sekali hidangan pesta malam ini." Sementara tetangga
sebelah merintih kesakitan menahan rasa lapar. Sebersit sesekali
keinginan merampok dan membunuh tetangga kayanya tadi.
---
Menserasikan urusan perut dengan makanan otak alias pendidikan,
ternyata sulit sekali, ya? Lagipula, hidup mereka sudah sederhana,
mengapa kita persulit?
Musim pancaroba memang banyak penyakit.
---
The one obvious explanation for starvation is POVERTY . The underprivileged are
usually hungry, and the hungry are usually poor. In 1st World countries,
we have the luxury of only worrying about our quality of life and the standard of living.
However, in 3rd World countries, where there is no relative standard of living,
the motivation of life quality shifts to the simple act of supporting life; i.e. survival.
A key problem here is Capital Investment, which most 3rd World Countries
do not readily have. They have no or little money to spend on agricultural or
its development when they have hungry mouths to feed, and medical problems
to consider.
There are somethings go wrong, including these 4 Major Problems:
Poverty, Population, Priorities & Politics.
They are separate issues, but are also interlocked each effecting the other.
(Taken from www.thesahara.net)
8 Thoughts You Share:
ooo jadi itu ya yang terjadi. duh. sedih yah. kemarin-kemarin ini saya cuman sebatas berpikir bagaimana bisa negara indonesia yang katanya kaya raya ini rakyatnya ada yang mati gagara kelaparan. hmmmm... memperumit hal-hal sederhana? ijah itu jamak terjadi. buat apa coba, biar dianggap maju? modern? berkembang sesuai jaman?
Nana:
Duduk sama rendah,
berdiri langsung lari :Þ
Oom Joni:
apalagi saya Oom... :(
bisanya cuman gelisah.
Halo.... makasih udah mampir ke blog gue.
Tulisan elo inspirasional banget!
Daleemmmmm.
Gue link yah? :)
wow.. tulisannya inspiring banget.. mudah-mudahan ke depannya bisa lebih baik ya negara kita ini..
berat nikk..berat...
Peribahasa "Tikus mati di lumbung" itu kiranya benar adanya.
love your realm. it's an honor to link here. not to mention be your sister.
Thanks for adding this site to one of the many useful sites covering this topic on the net, its successful in its own right and I'll definitely be coming back.
Term papers
Post a Comment
<< Home