Menusuk Janin dalam Rahim Sendiri.
Thank's but no thank's to television!
Tidak ada yang lebih besar dalam sejarah modern dalam melahirkan
teks-teks budaya populer tentang televisi. Kali ini, dia benar-benar
sebuah agent of distractions! Pengikis meta-narasi yang serius.
Agent of Iconoclasm!
---
Barangkali mudah diterka. Bagi sebagian penduduk Indonesia
kebanyakan yang punya kesempatan nonton tv adalah wanita dan
anak-anak. Potensial sekali, bukan?
Paradoks yang diusung media televisi tak lain adalah konsep
bermuka dua. Satu sisi menampakkan potret keunggulan prestasi
wanita, ujung sana malah sebaliknya, melemparkan perempuan pada
keterbelakangan (berpikir dan bertindak). Keterjebakan kaum wanita
dalam 'kodrat' mereka selama ini yang telah mereka pelajari dalam
sosialisasi awal mereka dalam keluarga dan lingkungan, dipergila oleh
media massa, termasuk iklan. Aspirasi-aspirasi mereka dikontrol dan
dibatasi oleh ide-ide yang diperoleh dari media massa.
Bagi saya, ini adalah stereotip usang, jadi harus selayaknya
didekonstruksi lalu disusun ulang lagi. Bahwa wanita tidaklah lemah
sehingga termakan rayuan gombal iklan. Walau ironisnya malah
makin banyak yang rela menjadi etalase kedangkalan ini.
Standarisasi murahan, demikian kata Bertie kawan saya.
Meresahkan memang, Ndry.
Biro iklan seringkali tidak tahu diri. Jika wanita bukan sekedar objek
pemuas pria, kenapa masih dilakukan? Kalian bahkan membunuh bayi
di rahim sendiri. Dan ini bukan semacam generalisasi. Dibesar-
besarkan atau tidak, dampaknya sudah sebegitu luas rupanya.
Saya tidak sedang berusaha mengajak Anda membenci media (atau
Anda curiga saya mencoba mencuri hati wanita? Entahlah.
Yang jelas bukan itu maksud saya). Jika pesawat televisi sudah
bergeser menjadi omnipresent layaknya koruptor yang ada di mana-
mana, then so be it. Tugas kita hanya meningkatkan kesadaran diri
dan rasionalitas terhadap gelombang menakutkan ini (horror vacui).
Memikirkan kembali prioritas-prioritas kita memang tugas berat.
Jika para feminist bergerak dalam koridor ini, seharusnya saya bisa
melihat protes terhadap tayangan-tayangan yang merendahkan.
Atau bahkan pemboikotan besar-besaran. Menjadi kontrol sosial
lewat kritik atau menghimpun kekuatan dalam mengukur kualitas
berbagai tayangan. Jadi mari lawan saja lah!
Dan ini baru televisi, sementara media-media baru yang semakin
konvergensif telah menyeringai menunjukkan taring tajamnya dan
mulai menggurita. Termasuk kedigdayaan entitas internet.
Tak ada yang lebih menarik dari lawan jenis kita selain dari
kecantikan dari dalam, yaitu pada kata-kata, gagasan-gagasan,
dan kebajikan-kebajikan mereka.
Mungkin kebaikan itu bisa didapat dari televisi, hanya saja saya
kayaknya tidak lagi mentolerir kecenderungan negatifnya.
Jadi, different-river-liver-liver lah (baca: lain kali hati-hati :Þ)
---
FYI, sejak kehadiran pertama kali di Indonesia, yaitu ketika TVRI mengudara
pada 1962, UU Penyiaran serba belepotan. Dulunya sih ada Kepmen No. 04A/92
tentang penyiaran televisi, namun kemajuan dan perubahan menuntut
penanganan hukum yang khusus. Setelah memonopoli siaran selama 27 tahun,
secara manajemen rupanya TVRI kalah solid dengan munculnya tv swasta
di kemudian hari. Kode etik telah dilanggar. Begitulah yang terjadi di
wilayah-yang-selalu-tidak-pasti ini.
Saya pengen cerita lebih tumpah ruah lagi tentang televisi.
Tapi nantilah, dikit-dikit saja... :Þ
Lagipula, saya belum melunasi kredit tv 29" yang saya pesan. Ha ha ha!
("Bercinta Dengan Televisi" bisa jadi buku bagus, tuh)
Tidak ada yang lebih besar dalam sejarah modern dalam melahirkan
teks-teks budaya populer tentang televisi. Kali ini, dia benar-benar
sebuah agent of distractions! Pengikis meta-narasi yang serius.
Agent of Iconoclasm!
---
Barangkali mudah diterka. Bagi sebagian penduduk Indonesia
kebanyakan yang punya kesempatan nonton tv adalah wanita dan
anak-anak. Potensial sekali, bukan?
Paradoks yang diusung media televisi tak lain adalah konsep
bermuka dua. Satu sisi menampakkan potret keunggulan prestasi
wanita, ujung sana malah sebaliknya, melemparkan perempuan pada
keterbelakangan (berpikir dan bertindak). Keterjebakan kaum wanita
dalam 'kodrat' mereka selama ini yang telah mereka pelajari dalam
sosialisasi awal mereka dalam keluarga dan lingkungan, dipergila oleh
media massa, termasuk iklan. Aspirasi-aspirasi mereka dikontrol dan
dibatasi oleh ide-ide yang diperoleh dari media massa.
Bagi saya, ini adalah stereotip usang, jadi harus selayaknya
didekonstruksi lalu disusun ulang lagi. Bahwa wanita tidaklah lemah
sehingga termakan rayuan gombal iklan. Walau ironisnya malah
makin banyak yang rela menjadi etalase kedangkalan ini.
Standarisasi murahan, demikian kata Bertie kawan saya.
Meresahkan memang, Ndry.
Biro iklan seringkali tidak tahu diri. Jika wanita bukan sekedar objek
pemuas pria, kenapa masih dilakukan? Kalian bahkan membunuh bayi
di rahim sendiri. Dan ini bukan semacam generalisasi. Dibesar-
besarkan atau tidak, dampaknya sudah sebegitu luas rupanya.
Saya tidak sedang berusaha mengajak Anda membenci media (atau
Anda curiga saya mencoba mencuri hati wanita? Entahlah.
Yang jelas bukan itu maksud saya). Jika pesawat televisi sudah
bergeser menjadi omnipresent layaknya koruptor yang ada di mana-
mana, then so be it. Tugas kita hanya meningkatkan kesadaran diri
dan rasionalitas terhadap gelombang menakutkan ini (horror vacui).
Memikirkan kembali prioritas-prioritas kita memang tugas berat.
Jika para feminist bergerak dalam koridor ini, seharusnya saya bisa
melihat protes terhadap tayangan-tayangan yang merendahkan.
Atau bahkan pemboikotan besar-besaran. Menjadi kontrol sosial
lewat kritik atau menghimpun kekuatan dalam mengukur kualitas
berbagai tayangan. Jadi mari lawan saja lah!
Dan ini baru televisi, sementara media-media baru yang semakin
konvergensif telah menyeringai menunjukkan taring tajamnya dan
mulai menggurita. Termasuk kedigdayaan entitas internet.
Tak ada yang lebih menarik dari lawan jenis kita selain dari
kecantikan dari dalam, yaitu pada kata-kata, gagasan-gagasan,
dan kebajikan-kebajikan mereka.
Mungkin kebaikan itu bisa didapat dari televisi, hanya saja saya
kayaknya tidak lagi mentolerir kecenderungan negatifnya.
Jadi, different-river-liver-liver lah (baca: lain kali hati-hati :Þ)
---
FYI, sejak kehadiran pertama kali di Indonesia, yaitu ketika TVRI mengudara
pada 1962, UU Penyiaran serba belepotan. Dulunya sih ada Kepmen No. 04A/92
tentang penyiaran televisi, namun kemajuan dan perubahan menuntut
penanganan hukum yang khusus. Setelah memonopoli siaran selama 27 tahun,
secara manajemen rupanya TVRI kalah solid dengan munculnya tv swasta
di kemudian hari. Kode etik telah dilanggar. Begitulah yang terjadi di
wilayah-yang-selalu-tidak-pasti ini.
Saya pengen cerita lebih tumpah ruah lagi tentang televisi.
Tapi nantilah, dikit-dikit saja... :Þ
Lagipula, saya belum melunasi kredit tv 29" yang saya pesan. Ha ha ha!
("Bercinta Dengan Televisi" bisa jadi buku bagus, tuh)
5 Thoughts You Share:
tapi nikk, mungkin ngga sih karena televisi itu untuk sementara ini masih merupakan salah satu hiburan murah? so no wonder jadi pilihan banyak orang? pilihan bagi yang ngga punya privilege ke media lain yang sejenis buku-buku bagus atau film-film yang makanan buat jiwa?
http://herstory.nananias.com/2005/11/15/memusuhi-tipi/
Media televisi memang telah menjadi raja diraja dalam panggung sosial globalisasi ini. Harga yang semakin terjangkau adalah perihal bujuk rayu pemodal, menjawab hasrat akan kebutuhan hiburan untuk manusia. Jadi tidak bisa dibenarkan jika alasannya bisa beli tivi.
Sialnya, ketergantungan ini lah yang enak, mudah, murah, dan melimpah, layaknya makan di warteg dengan porsi segunung. Saya melihat sendiri di desa-desa dan masyarakat lapisan bawah yang telah menjadi 'massa mengambang' yang tak punya akar (lagi).
Mustinya emang MUSTI didukung dari mental penyelenggara acara dan daya kritis rakyat, jika mereka masih butuh hiburan.
lewat televisi orang ditawari mimpi. lari dari kenyataan dan bertemu (terhibur?) dengan realitas lain. jujur saja, setiap orang suka bermimpi, meskipun tidak sedang tidur :)
hhuuuuhh....why not make love instead of watching stupid box?
khe khe khe..much more healthier.
Ya udah, kalo ga punya pasangan, masih bisa, baca, bikin2 rakitan apa kek, ato masih mending nongkrong ngomongin politik. Biasanya pagi2 pas baca koran saya juga nyempetin liat program tv yg akan disiarkan malam harinya, jadi lebih selektif gitu...
Kalo di sini saya sendiri cuma nonton berita malam hari dan serial/film yg saya suka, kalo ga ada program yg bagus, biasanya saya baca buku atau...
masak buat makan malam..he he.
Gue juga heran ama org2 yg bisa dicekokin ama program ga mutu.
Mpok, saya suka ungkapan itu... :Þ
Mbak Naga, who doesn't love making love? Ha ha... alternatif yang bagus!
Sedikit berhasil usaha saya, menarik komentar dari pihak hawa seperti ini... :Þ
KEEP IT CLEAR yah...
Post a Comment
<< Home