&t /// JELAJAH BELANTARA ///: Menjaga Oase Terakhir.

Thursday, March 08, 2007

Menjaga Oase Terakhir.

Pada awal tahun 1992, Akademi Sains Nasional Amerika Serikat
dan The Royal Society of London mengeluarkan sebuah laporan
yang dimulai dengan: "Jika ramalan-ramalan pertumbuhan penduduk
sekarang ini terbukti tepat dan pola-pola kegiatan manusia
di planet ini tetap tidak berubah, sains dan teknologi boleh jadi
tidak dapat mencegah kemerosotan lingkungan hidup yang tidak dapat
dipulihkan lagi atau mencegah berlangsungnya kemiskinan
terus-menerus bagi sebagian besar dunia"

Rupanya kita bisa rasakan sekarang, manusia telah mempercepat
datangnya masa depan mereka sendiri. Saya tidak tahu, apakah ini
salah satunya disebabkan oleh pernyataan Ivan Boesky >>
bahwa "Greed is healthy"? Atau kah seorang Al Gore yang berdiri
di satu sisi mempresentasikan pemanasan global adalah realitas
tak terhindarkan?

Iklim dunia memang sedang berubah. Bumi menggeliat lagi.
Awan mammatus yang terbentuk pra-badai di Amerika, bisa kita
alami di beberapa tempat di Indonesia. Malaria yang sudah hampir
tertanggulangi di Nairobi, malah mewabah di sisi lain Bumi.
Menghantam Indonesia juga. Tapi yang dihantam tidak cepat tersadar.



Pernah suatu ketika saya bertanya,
kebiasaan apa yang manusia sering lakukan untuk mengimbangi
dari sifat mengenyangkan ego sendiri?
Sempat juga suatu ketika saya putus asa karena tidak terjawab.
Beberapa jawaban mungkin memuaskan. Tapi bagi siapa?
Layaknya kita bertanya mengapa harus menghargai orang lain,
di mana mereka telah berbuat jahat kepada kita.
Jawaban sederhananya (mungkin) adalah: kausalitas.

Teritori dan terestrial. Dua kata yang tak pernah bisa saya sendiri
bayangkan betapa telah menjadi taruhan sejati sejarah manusia.
Sebuah taruhan yang mengerikan dari era suku semak Afrika
zaman lahirnya Homo Erectus pertama hingga merentang pada
pertempuran demi minyak di wilayah subur lembah sungai Tigris
dan Eufrat.

Kausalitas menggelindingkan lingkaran setan di dalam keserakahan.
Rentang waktu geologis telah dan akan merekamnya
hingga zaman nanti, tatkala Bumi ternyata bernasib buruk
memperlihatkan kerusakan yang menggeruskan keramahannya.

Kausalitas seharusnya memberi pelajaran mendalam, bahwa rupanya
alam tidak memberi ruang sedikit pun untuk ego manusia.
Bahkan tidak kompromi terhadap pahlawan kesiangan yang berpura-
pura berepertoar tentang kebaikan bersama atas nama
keberlangsungan hidup manusia.

Ada yang menarik dengan penghargaan Oscar ke-79 kemarin.
Al Gore menang di kategori Best Music dengan filmnya
An Inconvenient Truth (2006). Saya sendiri sih bangga bahwa
ada tokoh politik dunia yang begitu berpihak pada nasib dan
masa depan Bumi, yaitu pada lingkungan. Kenapa?
Seperti kita tahu, kita kekurangan figur kuat untuk kepentingan ini
demi untuk bisa masuk ke kalangan politisi.

Berikut artikel yang saya kutip dari harian Kompas tentang film itu.
Tapi maaf juga, saya jadi panjang lebar nyerocos teu puguh
padahal cuman pengen meresensi artikel itu. Namanya juga ngelantur.
Tidak ada tendensi politik di sini. Tentu saja.
Tidak semua politisi itu jahat. Tidak semua hanya demi uang.

---

AL GORE, OSCAR, DAN PEMANASAN GLOBAL

"Yang semestinya lega atas penghargaan Oscar untuk film
An Inconvenient Truth bukan hanya pencinta lingkungan,
tetapi seluruh umat manusia."



Film dokumenter yang mengisahkan perjuangan mantan
Wakil Presiden AS Al Gore untuk mengingatkan para politisi dan
masyarakat dunia akan bahaya pemanasan global ini
sungguh amat menggugah.

Seandainya saja Al Gore yang memenangi peilihan presiden AS
tahun 2000, nasib dunia boleh jadi berbeda, baik yang terkait
dengan tatanan politik internasional maupun yang terkait
lingkungan hidup.

Khusus yang berkait dengan lingkungan hidup,
apa yang diperjuangkan
Al Gore amat substansial.
Setelah banyak diragukan dan diperdebatkan,

kini tanda-tanda alam semakin banyak memperlihatkan,
gejala pemanasan global telah menjadi kenyataan.

Dalam film itu diperlihatkan bagaimana selimut-selimut es
di berbagai wilayah di dunia menyusut, demikian pula gunung es
di wilayah dekat kutub. Pemanasan itu sendiri semakin diyakini
disebabkan berbagai aktifitas manusia, seperti pengoperasian pabrik
dan kendaraan yang berbahan bakar konvensional.

Hasil pembakaran bahan jenis ini antara lain gas karbon dioksida,
yang dalam skala global berjumlah miliaran ton setiap tahun,
disemburkan ke atmosfer Bumi. Sebagai akibatnya, sinar matahari
yang tiba ke permukaan Bumi tak leluasa dipancarkan kembali
ke luar angkasa. Panas tersebut terperangkap dekat permukaan Bumi,
menghasilkan gejala seperti di rumah kaca yang digunakan untuk
menyemai tanaman.

Dengan film yang dibintanginya secara amat serius, disertai
keprihatinan mendalam, Al Gore berhasil mengangkat isu
paling fundamental tidak saja bagi umat manusia,
tetapi juga bagi Sang Bumi. Sungguh membesarkan hati,
kalangan perfilman pun ikut menghargai perjuangan Al Gore.
Mengingat film sebagai medium efektif untuk menyampaikan pesan,
An Inconvenient Truth yang sekitar tiga bulan silam diputar
di gedung-gedung bioskop Indonesia masih layak untuk diputar kembali.

AS sebagai penyemprot gas rumah kaca terbesar di dunia
(Indonesia urutan ke-3 terbesar, terbanyak dari pembakaran hutan)
semestinya meninggalkan ego sempitnya untuk bergabung dalam
semangat Protokol Kyoto untuk secara bertahap mengurangi emisi
karbon dioksidanya. Ketika negara lain semakin bersatu memerangi
ancaman pemanasan global, terasa absurd apabila AS
yang melahirkan
seorang hebat seperti Al Gore justru
mengambil sikap berseberangan
dengan arus utama dunia.

Dalam hal ini, Indonesia pun tidak boleh ketinggalan kereta
untuk ambil bagian dalam upaya mengekang pemanasan global.


(ditulis ulang dari Kompas,28 Februari 2007)

---

Sekilas Al Gore:

Albert Arnold Gore, Jr. (born March 31, 1948)
is an American politician, teacher, businessman, and
environmentalist who was the 45th Vice President of the
United States in the Clinton administration from 1993 to 2001.
He also starred in the Academy Award-winning documentary,
by director Davis Guggenheim, An Inconvenient Truth.

Previously, he had served in the United States House
of Representatives (1977-85) and the United States Senate (1985-93)
for Tennessee. Gore was the Democratic nominee for President
in the 2000 election. He won a plurality of the popular vote,
with over half a million more votes than the Republican candidate
George W. Bush, but was defeated in the Electoral College
by a vote of 271 to 266.

Gore currently is president of the American television channel
Current TV, chairman of Generation Investment Management,
a director on the board of Apple Inc., and an unofficial adviser
to Google's senior management. He lectures widely on the topic of
global warming, which he calls "the climate crisis".
Gore has contracted to write a new book, The Assault on Reason,
to be published May 22, 2007. While Gore has stated that he does not
intend to be a Presidential candidate again,
he has left open the possibility of being a candidate in the future,
and Gore is frequently mentioned as a potential candidate for the
2008 Democratic presidential nomination. In February 2007,
Gore was nominated for a 2007 Nobel Peace Prize for his efforts
to end global warming. >>

Labels:

1 Thoughts You Share:

Anonymous Anonymous said...

Turut gembira dengan kembalinya juru kunci gunung pangrango

Thu Mar 08, 09:27:00 AM  

Post a Comment

<< Home