&t /// JELAJAH BELANTARA ///: The Uncertainties of Knowledge

Tuesday, January 18, 2005

The Uncertainties of Knowledge



Pusat Galaksi Kita Dipenuhi Lubang Hitam?

Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini menyimpulkan bahwa pusat galaksi Bima Sakti kita dipenuhi oleh lubang-lubang hitam (blackhole), seperti yang telah diduga para astronom.

Sejauh ini dipercaya pusat galaksi kita didominasi oleh sebuah blackhole maha besar. Ia memiliki massa setara dengan 3 juta Matahari. Di sekitarnya, para ilmuwan memperkirakan, ada juga blackhole-blackhole stellar (terjadi akibat runtuhnya bintang raksasa) dalam konsentrasi tinggi. Masing-masing berukuran beberapa kali massa Matahari.

Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan adanya banyak blackhole stellar dekat pusat galaksi. Namun melihat ke sana bukanlah hal yang mudah karena wilayah itu ditutupi debu kosmis. Cahaya tampak tidak dapat menembusnya.

Nah, sebuah studi yang dilakukan astronom Michael Muno terhadap bagian dalam galaksi kita (sebagai catatan Bumi dan tata surya kita berada di pinggiran galaksi) pada jarak sekitar 75 tahun cahaya, memberikan sedikit pencerahan mengenai keberadaan blackhole di sana. Adapun yang digunakan Muno adalah teleskop ruang angkasa sinar X Chandra Observatory. Sinar X diketahui bisa menembus debu-debu antar bintang itu.

Muno dan rekan-rekannya telah menemukan bukti-bukti kuat adanya tujuh blackhole - atau bisa jadi bintang neutron yang juga amat padat - di sana. Uniknya, empat dari objek itu terkonsentrasi di ruang yang hanya berjarak 3 tahun cahaya dari blackhole raksasa di tengahnya.

"Konsentrasi objek-objek ini menimbulkan dugaan bahwa sejumlah besar blackhole dan bintang neutron telah berkumpul di pusat galaksi," kata Muno.

Bila kondisi ini diekstrapolasikan di seluruh arah di langit, maka akan didapatkan sekitar 10.000 blackhole dan bintang neutron mengorbit di dekat pusat galaksi.

Sebuah teori yang diungkapkan peneliti dari UCLA, Mark Morris, mendukung temuan di atas. Menurutnya objek-objek padat seperti black hole berinteraksi secara gravitasi dengan bintang-bintang yang kurang padat. Bintang yang lebih ringan cenderung terlempar ke luar, kata Morris, sedangkan blackhole berada pada jalurnya menuju pusat galaksi. Itu sebabnya, ditemukan banyak blackhole di sana.

Blackhole sendiri tidak bisa dilihat secara langsung. Mereka terdeteksi dari lingkungan sekitarnya, yang seolah terhisap ke suatu titik. Mereka juga diketahui dari pancaran sinar X akibat pemanasan gas-gas sebelum mereka terhisap.

Dugaan mengenai konsentrasi blackhole di pusat galaksi ini dilaporkan dalam pertemuan American Astronomical Society minggu ini. Meski begitu, beberapa riset masih harus dilakukan untuk membenarkannya. (space.com/wsn)

(dikopi mentah-mentah dari www.space.com)

---

Menggelitik memang, itulah yang saya rasakan setiap kali
saya berhubungan dengan sains. Pengaruh besar keluarga
dan daya tarik sains yang memikat saya untuk masuk kelas
Fisika pada masa SMA dan jurusan Astronomi di zaman
kuliah dulu, membuat beberapa konsep yang eksak menjadi
makanan pokok saya sehari-hari, bahkan hingga sekarang.

Seperti asas ketidakpastian Werner Karl Heisenberg,
keberadaan suatu kenyataan (dalam hal ini bukan realitas
metafora seperti yang diperbincangkan di bagian lain dari
filsafat) melukiskan segala kontinuitas yang 'sebenarnya'
seimbang, memposisikan segala unsur pembentuk alam
semesta beserta isinya dalam keteraturan. Kendati Heisenberg
sendiri tidak menemukan pengukuran yang sama persis sama
kuat terhadap dualitas masing-masing paradoks di dalamnya,
mengakibatkan solusi yang lebih rumit seperti yang ditunjukkan
oleh alam.

Kasus observasi yang didasarkan pada postulat-postulat
sains memang pada dasarnya telah benar. Seperti halnya
penemuan konstanta-konstanta fisika maupun kimiawi
menandakan adanya kepastian hukum alam yang bisa kita
pelajari yang berfungsi sebagai jendela, jalan setapak, dan
kompas-peta yang menghadapkan wajah dan titik fokus kita
ke sebuah konsep diri.

Membentangkan cakrawala dan berusaha open-minded
tidak sama dengan berpikir bebas (free-thinking).
Ketika manusia dihadapkan pada sebentuk problema sosial
yang merintangi jalannya, secara tidak sadar adalah
gambaran kebuntuan paradigma sains yang dianggap
pemecah semua masalah. Seperti pemikiran seorang
sejarawan Immanuel Wallerstein dalam bukunya
"The Uncertainties of Knowledge", ini terkait sekali dengan
sikap institusi akademis masa lalu (atau bahkan sampai sekarang?)
yang menasbihkan kepastian dalam segala hal. Sains tidak lagi
menikmati kemashurannya yang selama 200 tahun merupakan
bentuk utama kebenaran. Dan label "ilmiah" dan "modern"
menjadi sinonim secara vitual, bahkan lebih parah lagi
bagi hampir setiap individu menjadi bermanfaat alias benar.
Ini bisa kita maklumi. Dengan demikian harus ada solusi bagi
cabang ilmu lain untuk memainkan perannya, harus ada
metodologi apriori yang memperbolehkan ketidakpastian
bermain di dalamnya.

Sains sosial seperti sosiologi ataupun antropologi sedapatnya
merangkul wilayah tersebut agar tidak timpang ketika

manusia membabibuta mengapresiasi sebuah fenomena.
Begitupun spiritualitas tidak mungkin diabaikan. Bisa kita lihat
sebenarnya antara sains dan agama bisa berjalan seiring
tanpa hambatan. (sesi ini akan saya bahas lain waktu).

Objek-objek kosmis yang hipotetik seperti lubang hitam dan
eksistensi materi gelap (dark matter) adalah observasi pemikiran
manusia dalam tataran tinggi, dan saya pikir akan sama dengan
ide penalaran manusia di garis batas antara filsafat dan sains,
yang sama-sama mencari hakikat. Dengan demikian adanya
keterkaitan mereka dengan sosial adalah sangat tinggi,
bahkan melampaui apa yang dinamakan kedigdayaan materi, saat ini.
Entah akan disebut kesimpulan atau bukan,
simbiosis antara sains-filsafat-agama merupakan trinitas
kemanunggalan yang menjadi warna diri rentang hidup manusia
sebagai makhluk (objek) yang berpikir. Kemandirian tiga elemen
itulah yang berperan sebagai rambu-rambu peringatan dari
Kausalitas Maha Agung, hanya semata-mata supaya nyanyian
penguburan tidak mengiringi jiwa manusia, baik mata hatinya
sekaligus akal sehatnya.

Mungkin parodi pemikiran tentang akal sehat dan kenormalan
bisa mencari sisi lain sudut pandang. Ya! Bukan berarti hal
yang saya ajukan di atas tidak bisa diperdebatkan.
Bukan begitu, hai para filsuf barat ?

Ya! sedemikianlah pola yang melandasi keberpihakan kita
dalam mencicipi rasa setiap unsur kehidupan. Walaupun begitu,
saya tetap berterimakasih pada sains yang membesarkan
jalan pikiran saya, sehingga saya bisa menikmati perjalanan
ke belahan nusantara lainnya dengan aerodinamika pesawat,
atau merasakan lompatan energi ketika saya bermain dan
terbakar mercon saat bulan puasa dulu, bahkan hanya sekedar
mengetahui perilaku quark dengan karakter spin-nya
yang membentuk bintang-bintang.

Kendati demikian, saya masih merasakan adanya elemen yang
lain yang juga bermain dalam wilayah ini, yang mendukung
secara signifikan limas tiga elemen di atas. Hmmm... tahukah Anda?

Yeahhh!!!!

0 Thoughts You Share:

Post a Comment

<< Home