Ketika neraka menampakkan jalannya.
Terus terang masih kurasakan sedih yang teramat dalam.
Hingga detik ini pun selalu dan selalu memberi peringatan
pada kelemahanku, jika ini pertanda dan pertanda.
Masih terasa tidak enak dalam benak saat waktu pun
membisikkan firasat yang kurang menyenangkan.
Firasat yang selalu aku percaya sebagai mata pedang visiku.
Kami memang lemah.
Ya Robbi, ampuni kami.
Dan Bumi menampakkan konsep neraka begitu gamblang
di hadapan mata hatiku saat ini, yaitu (1) sesuatu yang lebih dari
sekedar state-of-mind, (2) lebih dari gambaran pengukuran oleh
Bapak Mekanika Modern Galileo Galilei (terimakasih atas
usahamu, kawan!) seperti yang dia paparkan secara ilmiah
di novel Inferno karya Dante, bahkan jauh melampaui (3) konsep
yang diajarkan orang-orang tua terdahulu dalam bahasa
simbolisme dangkal yang menjadikannya obyek mengerikan
sebagai konsekuensi atas kehidupan manusia,
sebelum datang era kemutlakan.
Hakikilah yang saya inginkan, apapun entitas keabadian
bernama neraka merupakan gambaran kondisi negatif (antonim
pemaknaan surga) yang sama sekali tidak terbayangkan oleh
pemikiran manusia!
Sebuah kondisi jika saya pun mampu menggambarkannya
akan menjadi tidak bermakna alias percuma!
Sebuah kondisi ketika hukum materi dan sifat alam menjadi usang!
(Ya, karena entitas kembar yang kontradiktif itu merupakan
'rumah-rumah' yang PALING ABSOLUT bagi tempat tinggal jiwa
dan hati manusia nanti, bukan nisbi seperti periode yang diawali
Dentuman Besar dan diakhiri tiupan Sangkakala ini).
Dan ini penting bagi saya.
Memang ini bukan filsafat materialis (meminjam istilah dari rekan
di Bandung yang calon filsuf), namun pendekatan spiritual akan
menjadi sangat penting bagi karir saya sebagai makhluk berakal.
Semoga ini kengerian terakhir tanpa amarah lautan susulan
ataupun wabah yang membinasakan.
Kami memang sangat rapuh.
Ya Robbi, ampuni kami.
---
Awan hitam, di hati yang sedang gelisah
Daun-daun berguguran satu-satu jatuh ke pangkuan
Kutenggelam sudah ke dalam dekapan semusim yang lalu
sebelum ku mencapai langkahku yang jauh
Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti
Gelisah kumenanti tetes embun pagi
Tak kuasa kumemandang datangmu matahari
Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti
Badai Pasti Berlalu
- Chrisye & Berlian Hutauruk.
Hingga detik ini pun selalu dan selalu memberi peringatan
pada kelemahanku, jika ini pertanda dan pertanda.
Masih terasa tidak enak dalam benak saat waktu pun
membisikkan firasat yang kurang menyenangkan.
Firasat yang selalu aku percaya sebagai mata pedang visiku.
Kami memang lemah.
Ya Robbi, ampuni kami.
Dan Bumi menampakkan konsep neraka begitu gamblang
di hadapan mata hatiku saat ini, yaitu (1) sesuatu yang lebih dari
sekedar state-of-mind, (2) lebih dari gambaran pengukuran oleh
Bapak Mekanika Modern Galileo Galilei (terimakasih atas
usahamu, kawan!) seperti yang dia paparkan secara ilmiah
di novel Inferno karya Dante, bahkan jauh melampaui (3) konsep
yang diajarkan orang-orang tua terdahulu dalam bahasa
simbolisme dangkal yang menjadikannya obyek mengerikan
sebagai konsekuensi atas kehidupan manusia,
sebelum datang era kemutlakan.
Hakikilah yang saya inginkan, apapun entitas keabadian
bernama neraka merupakan gambaran kondisi negatif (antonim
pemaknaan surga) yang sama sekali tidak terbayangkan oleh
pemikiran manusia!
Sebuah kondisi jika saya pun mampu menggambarkannya
akan menjadi tidak bermakna alias percuma!
Sebuah kondisi ketika hukum materi dan sifat alam menjadi usang!
(Ya, karena entitas kembar yang kontradiktif itu merupakan
'rumah-rumah' yang PALING ABSOLUT bagi tempat tinggal jiwa
dan hati manusia nanti, bukan nisbi seperti periode yang diawali
Dentuman Besar dan diakhiri tiupan Sangkakala ini).
Dan ini penting bagi saya.
Memang ini bukan filsafat materialis (meminjam istilah dari rekan
di Bandung yang calon filsuf), namun pendekatan spiritual akan
menjadi sangat penting bagi karir saya sebagai makhluk berakal.
Semoga ini kengerian terakhir tanpa amarah lautan susulan
ataupun wabah yang membinasakan.
Kami memang sangat rapuh.
Ya Robbi, ampuni kami.
---
Awan hitam, di hati yang sedang gelisah
Daun-daun berguguran satu-satu jatuh ke pangkuan
Kutenggelam sudah ke dalam dekapan semusim yang lalu
sebelum ku mencapai langkahku yang jauh
Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti
Gelisah kumenanti tetes embun pagi
Tak kuasa kumemandang datangmu matahari
Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti
Badai Pasti Berlalu
- Chrisye & Berlian Hutauruk.
0 Thoughts You Share:
Post a Comment
<< Home