Manifes Seni Rupa Indonesia.
1.
Seni rupa adalah bidang kerja dan keahlian yang setara dengan
bidang keilmuan lainnya yang memiliki aturan dan wilayah otonomi
masing-masing. Karenanya, soal-soal yang menyangkut
perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap
karya seni rupa selayaknya mengutamakan pandangan, gagasan,
pemikiran dari lingkungan disiplin seni rupa itu sendiri.
2.
Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir dan
penilaian atas suatu karya seni rupa, seperti juga kami membela
dan mendukung sepenuhnya kebebasan penciptaan karya seni rupa.
Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas
karya seni rupa dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap
martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat
yang beradab dan demokratis.
3.
Kami menolak penilaian atas karya seni rupa yang menggunakan
sembarang pandangan dan norma yang tidak bersangkut-paut
dengan disiplin dan keahlian seni rupa. Terlebih lagi jika penafsiran
dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran—dengan
embel-embel "mewakili suara dan kepentingan mayoritas" sekalipun.
4.
Kami membela sepenuhnya kebebasan berpendapat,
tapi bukan sebagai alasan dan cara untuk mengancam, menghukum,
mengurangi, atau bahkan menghapus kebebasan berpendapat
pihak lain.
Maka, kami menolak segala cara dan upaya yang secara sembrono
memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni rupa sebagai
tindakan kriminal.
5.
Kami membela sepenuhnya hak dan kebebasan setiap pihak untuk
menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan yang mempertemukan
karya seni rupa dengan masyarakat—pameran, pertunjukan, diskusi,
penerbitan, dan lain-lain—karena kami percaya bahwa masyarakat
Indonesia memiliki hak untuk menikmati dan mengapresiasi
karya seni rupa dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka.
Maka, kami menyayangkan dan mengecam pihak-pihak yang
terus berdiam-diri membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap
penciptaan karya seni rupa dan penyelenggaraan kegiatan seni rupa.
Kami menagih peran negara (cq. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
dan badan lain yang terkait), dan juga lembaga-lembaga pendidikan
seni rupa untuk membela keabsahan seni rupa Indonesia sebagai
bidang keahlian yang punya otoritas keilmuan dan dapat
diselenggarakan di ruang sosial yang bebas dan terbuka.
6.
Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja
sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni rupa
Indonesia dan pranata pendukungnya—seniman, penulis, kritikus,
kurator, model, komunitas seniman, kolektor, pengelola galeri,
balai lelang, media massa, majalah seni rupa, jurnal dan lain-lain
—mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab dan demokratis.
Karenanya, kami akan mengatur diri dan hidup kami sendiri.
Kami akan berhimpun untuk menyatukan pikiran dan pendapat,
menyusun prinsip-prinsip etik bagi penyelenggaraan kegiatan
seni rupa yang menjamin pekembangan dan kemajuan
Seni Rupa Indonesia di tengah perkembangan seni rupa dunia.
Cemara Galeri-Kafe, Jakarta
15 Februari 2006
Tim perumus pernyataan ini:
Aminudin TH Siregar,
Arif Ash Shiddiq,
Enin Supriyanto,
Hendro Wiyanto,
Rifky Effendy
---
Patung Ganefo setengah telanjang: PORNO?
Inul ngebor: PORNO?
Wanita-wanita molek dalam Rhoma Irama jaman dulu: GAK PORNO?
Komedi Nakal di Tr***TV: GAK PORNO?
Foto topless-nya Ayu Utami: PORNO?
Ada baiknya kita menilik batasan yang jelas, apa itu pornografi.
Jika wadah berkesenian yaitu pameran sudah diberangus,
lebih baik tidak usahlah menjadi bangsa yang beradab.
Jika lebih jauh, berkesenian dipandang terlarang
oleh karena ruang publik yang (merasa) teracuni pemikirannya,
sungguh memalukan menjadi bangsa yang ramah tamah.
Banyak seniman yang sedih dan bingung.
Memang tentu saja kita harus bertanggungjawab sosial dalam
berkesenian, karena itulah diciptakan berbagai wadah.
Diciptakan galeri, sekolah seni dll, sehingga kreatifitas
dan eksplorasi terbina. Apakah kita tidak bertanggungjawab sosial
juga saat seni dilihat out-of-proportion, diintimidasi, didemo?
Tanggungjawab seni hanya pada masyarakat?
Sesama seniman bukan bagian dari masyarakat juga?
Berkesenianlah, maka engkau akan ditangkap!
Berkesenianlah, maka orang-orang bodoh akan mengobrak-abrikmu!
Seni rupa adalah bidang kerja dan keahlian yang setara dengan
bidang keilmuan lainnya yang memiliki aturan dan wilayah otonomi
masing-masing. Karenanya, soal-soal yang menyangkut
perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap
karya seni rupa selayaknya mengutamakan pandangan, gagasan,
pemikiran dari lingkungan disiplin seni rupa itu sendiri.
2.
Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir dan
penilaian atas suatu karya seni rupa, seperti juga kami membela
dan mendukung sepenuhnya kebebasan penciptaan karya seni rupa.
Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas
karya seni rupa dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap
martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat
yang beradab dan demokratis.
3.
Kami menolak penilaian atas karya seni rupa yang menggunakan
sembarang pandangan dan norma yang tidak bersangkut-paut
dengan disiplin dan keahlian seni rupa. Terlebih lagi jika penafsiran
dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran—dengan
embel-embel "mewakili suara dan kepentingan mayoritas" sekalipun.
4.
Kami membela sepenuhnya kebebasan berpendapat,
tapi bukan sebagai alasan dan cara untuk mengancam, menghukum,
mengurangi, atau bahkan menghapus kebebasan berpendapat
pihak lain.
Maka, kami menolak segala cara dan upaya yang secara sembrono
memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni rupa sebagai
tindakan kriminal.
5.
Kami membela sepenuhnya hak dan kebebasan setiap pihak untuk
menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan yang mempertemukan
karya seni rupa dengan masyarakat—pameran, pertunjukan, diskusi,
penerbitan, dan lain-lain—karena kami percaya bahwa masyarakat
Indonesia memiliki hak untuk menikmati dan mengapresiasi
karya seni rupa dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka.
Maka, kami menyayangkan dan mengecam pihak-pihak yang
terus berdiam-diri membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap
penciptaan karya seni rupa dan penyelenggaraan kegiatan seni rupa.
Kami menagih peran negara (cq. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
dan badan lain yang terkait), dan juga lembaga-lembaga pendidikan
seni rupa untuk membela keabsahan seni rupa Indonesia sebagai
bidang keahlian yang punya otoritas keilmuan dan dapat
diselenggarakan di ruang sosial yang bebas dan terbuka.
6.
Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja
sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni rupa
Indonesia dan pranata pendukungnya—seniman, penulis, kritikus,
kurator, model, komunitas seniman, kolektor, pengelola galeri,
balai lelang, media massa, majalah seni rupa, jurnal dan lain-lain
—mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab dan demokratis.
Karenanya, kami akan mengatur diri dan hidup kami sendiri.
Kami akan berhimpun untuk menyatukan pikiran dan pendapat,
menyusun prinsip-prinsip etik bagi penyelenggaraan kegiatan
seni rupa yang menjamin pekembangan dan kemajuan
Seni Rupa Indonesia di tengah perkembangan seni rupa dunia.
Cemara Galeri-Kafe, Jakarta
15 Februari 2006
Tim perumus pernyataan ini:
Aminudin TH Siregar,
Arif Ash Shiddiq,
Enin Supriyanto,
Hendro Wiyanto,
Rifky Effendy
---
Patung Ganefo setengah telanjang: PORNO?
Inul ngebor: PORNO?
Wanita-wanita molek dalam Rhoma Irama jaman dulu: GAK PORNO?
Komedi Nakal di Tr***TV: GAK PORNO?
Foto topless-nya Ayu Utami: PORNO?
Ada baiknya kita menilik batasan yang jelas, apa itu pornografi.
Jika wadah berkesenian yaitu pameran sudah diberangus,
lebih baik tidak usahlah menjadi bangsa yang beradab.
Jika lebih jauh, berkesenian dipandang terlarang
oleh karena ruang publik yang (merasa) teracuni pemikirannya,
sungguh memalukan menjadi bangsa yang ramah tamah.
Banyak seniman yang sedih dan bingung.
Memang tentu saja kita harus bertanggungjawab sosial dalam
berkesenian, karena itulah diciptakan berbagai wadah.
Diciptakan galeri, sekolah seni dll, sehingga kreatifitas
dan eksplorasi terbina. Apakah kita tidak bertanggungjawab sosial
juga saat seni dilihat out-of-proportion, diintimidasi, didemo?
Tanggungjawab seni hanya pada masyarakat?
Sesama seniman bukan bagian dari masyarakat juga?
Berkesenianlah, maka engkau akan ditangkap!
Berkesenianlah, maka orang-orang bodoh akan mengobrak-abrikmu!
8 Thoughts You Share:
membawa nama mayoritas untuk mengobrak-abrik hak ber-seni orang lain, sudah jadi tontonan sehari-hari di negri ini.
Seniman akan mati.
Wah Seniman akan mati kata Mas Dental ...
hebat ....sudah gak ada gunanya lagi berkesenian di negara ini ..... tak akan pernah di tanggapi.
BRAVO!
Nikk, since you're living there, why don't write about, where will our country go in the near future? maybe a social politic tendency...
some women prefer to wear jilbab, some (a lot of them) prefer wear what they want, means: a kind of out fit that we wear since we were kids, an indonesian out fit, not showing everything. I wore short when I was a kid, I wear short sometimes when I am on vacation in tropical country, was it pornography?
It's really sad. I hope there who struggles againts this absurd law would win!
oom DoelJoni,
sorry nimbrung, walau kita gak kenal Oom, tapi saya percaya kalo berkesenian sejujurnya adalah menciptakan representasi dari realita, yang menggunakan cita rasa pribadi sebagai seniman dan bingkai artistik tentunya (saya bilang seperti ini karena saya juga kadangkala berprofesi sebagai seniman he he).
Seniman mencoba jujur dengan segala dalil akademis maupun non-akademis, karena mereka melihat sesuatu dibalik wujud karya. Bagaimanapun juga memang tidak ada istilah yang tepat untuk mengatakan seni rupa itu apa, selayaknya bidang keilmuan lain, senirupa itu memang otonom dengan standar akademis yang dibentuk untuk mewadahinya. Sama dengan bidang ilmu yang lain.
Pihak yang menjadikan kesenian sebagai kendaraan menuju implikasi negatif dalam masyarakat adalah mereka yang tidak memahami inti dasar dari seni itu sendiri, sama halnya seperti penggunaan pasal karet oleh segelintir orang untuk memahami aspek politis, sosial dari sisi kacamata kuda belaka. Seni merupakan sebuah eksekusi akhir dari kristalisasi konsep dan pemikiran yang bukan tidak mungkin meniadakan mood (karena saat ini ilham/mood dalam berkesenian ternyata sudah tidak payu hehe), seni rupa sudah merupakan produksi konsep dan pemikiran yang cukup luas.
Saya yakin seniman pada dasarnya adalah makhluk jujur yang mencoba memaparkan realita dimata mereka lewat sudut pandang estetika yang berakhir dalam wujud sebuah produk yang dieksekusi secara artistik (patung, lukis, isntalasi, visual art, performance art dan masih banyak lagi) . Dan akhirnya ada masalah carut marut tentang pemahaman seni sebagai pornografi disini, adalah karena bangsa ini dipenuhi produk ideologi instan yang kurang bisa memahami suatu segmen budaya (seni rupa) yang telah lama didirikan oleh bangsa ini pula semenjak puluhan tahun silam.
Pahit memang, saya memahami betapa sakit hatinya rekan-rekan seniman sekian lama berjuang, berprofesi tanpa dukungan institusi negara ini hanya karena ketidak pahaman dan ketidak pedulian negara soal ini.
Saya pikir manifes ini cukup telak menggambarkan sebagian dari kegundahan hati kaum akademis dan praktisi Seni Rupa di Indonesia terhadap perlakuan kasar sebagian masyarakat yang memang belum memahami sepenuhnya Seni itu sendiri.
gitu aja oom, mbak kalo kepanjangan yaaa mohon saya dikomplain saja hehehehe
serahkan aja pada kapasitas berpikir rakyat indonesia. Kalo dia merasa seni itu porno, ya jangan dilihat. Kalo suka, ya ngga dilarang, itu kan penghargaan thd. seni dan selera masing2 org...
monggo...
Ho ho ho...
Banyak yang bawa lentera di belantara saya ini rupanya.
Satu satunya alasan mengapa sering ujug-ujug ada kambing hitam baru di Indonesia adalah kemampuan orang-orang turunan Majapahit-Sriwijaya ini meremehkan dan menggampangkan segala urusan. Curi dengar pula ternyata secara psikis kita mengalami keabsurdan ihwal diinjak-menginjak. Walau ada beragam adat, eforia premanisme sejak zaman feodal dahulu begitu membumi dan berurat akar, hingga tanpa perlu diajar, anak kita pun memiliki lingkungan yang subur dengan humus premanisme.
Belagak dan belagu. Kita dapat apa sih dari hal ini? Ok. Saya tidak menyalahkan para pendahulu. Yuk, berpikir lebih matang.
---
Indonesia seharusnya adalah laboratorium besar buat sintesa demokrasi, bukan mensimplifikasikannya menjadi sebatas analisa saja (lihat: begitu banyak komentator dan pengamat di negara ini, termasuk saya). Sukur-sukur paradigma yang menyeruak bisa mewujud jadi demokrasi dengan kandungan kesalahannya sangat kecil. Kita memang orang-orang kampung. Masih sederhana dalam pemikiran. Tapi seharusnya paling arif dan bijak.
---
SENI bukan sekedar lukisan pemandangan yang terbingkai besar memenuhi dinding ruang tamu Anda atau tentang angklung dan tarian tradisional yang membosankan.
SENI sama sekali tidak untuk diatasnamakan menipu seperti ulah pedagang licik menjual dagangan busuk.
---
Dan sekarang ranah seni diperdebatkan jauh di luar diskusi. Kalopun seni melebar berlaku asertif negatif, saya tidak percaya itu karena rupa seni. Bung Wahyudi sangat berkompeten dalam hal ini, karena media seni memang salah satu corong yang terjujur dalam masyarakat ilmiah saat ini. Dunia seni pada akhir-akhir ini malah semakin logis, makin masuk ke kapiler-kapiler industri, memberi makna dan warna.
Jika tak kenal maka tak sayang, kita seharusnya sering-sering berkunjung ke galeri atau museum atau pertunjukan seni lain, silakan berupa format keping dvd hingga monumen raksasa kaliber seniman Christo. Monggo keluar dari tempurung. Dan seni rupa Indonesia adalah seni rupa dunia, bahkan warisan dunia.
Okelah, jika para penghalal-darah-lawan itu paham bahwa perupa dan seniman adalah "cultural producers". Tapi ternyata tidak. Kalian juga main hantam tanpa mempertajam bilah pedang perspektif sendiri terhadap kasus-kasus yang lain. Maaf saja, saya serius bilang, mahzab kalian rupanya bercampur hulu dari setan. Astaghfirullah!
Tidak suka bukan lantas tidak menghargai. Kita ini kaum terpelajar, bukan preman.
Saya pribadi seperti mendapat tamparan keras.
---
Ibu Naga:
Insya Allah akan saya tulis ihwal meramal masa depan Bumi Pertiwi kita,
tapi nyoba aja dulu kali ya, dan butuh temen ngobrol pulak kayaknya :Þ
Tentunya bukan dari cara menerawang ya?
hehehe...
Pasti deh kamu bisa, tendensi kan bisa keliatan dari sekeliling kita. Eh kok butuh temen ngobrol jadinya? :P
hadu...serius dan panjang2 gini komentar2nya.
Apa ini berarti mata kuliah anatomi harus dihapuskan?
Gile..apa jadinya anak2 SR yang nggak tau anatomi?
Post a Comment
<< Home