" We have not inherited the world from our forefathers-- we have borrowed it from our children ." -Kashmiri saying.
--- Manusia memang terlahir fitri (suci), namun pada dasarnya mereka suka saling membunuh.
Keterbatasan individu dalam menyikapi setiap peristiwa tidak terpisahkan dengan sesuatu bernama lingkungan. Mungkin saja peduli, tapi banyak sekali yang tidak. Ibarat rumah, lingkungan sekitar adalah sekat-sekat di mana kita harus tinggal, ketika cakrawala memberi tepian pada bumi, tak terkecuali nanti jika eksplorasi planet Mars sudah mengizinkan manusia membangun biosphere yang bisa di sewakan buat sekedar kopi sore. Itu nanti. Mari kita bicara tentang saat ini, dan buat anak cucu kita nanti.
Hari Bumi ke 35 tanggal 22 April kemarin menjadi elemen penting bagi orang-orang yang peduli lingkungan (saya tidak menilai baik- buruk seseorang). Jika tajuk-tajuk utama dalam kisaran mata rantai lingkungan yang sering kita dengar seperti:
Stop Climate Change Save Our Seas Protect Ancient Forests Say No to Genetic Engineering Eliminate Toxic Chemicals End the Nuclear Threat Encourage SUstainable Trade Abolish Nuclear Weapon dan sebagainya dan seterusnya...
hanya sebatas wacana di isi tempurung kepala kita, lebih baik kita secepatnya membuat kapsul penyokong hidup mandiri lalu masuk ke dalamnya dan mengunci rapat-rapat dari dunia luar.
MENCABIK DI LUAR NALAR.
Di daerah pun gak jauh beda dengan dekadensi orang kota. Orang kota pada sok pinter. Orang desa makin gak pinter. Seperti saat melintas di kota Tegal kemarin, dari balik kaca bis saya melihat garis pantai telah menelan tambak- tambak para nelayan, hanya karena hutan mangrove penahan abrasi telah dipanen membabi buta oleh mereka juga. Bahkan jauh ke dalam hutan pun, deforestasi makin kalap saja, merubuhkan satu persatu dinding rumah satwa liar dan kehidupan suku anak dalam. Karena berita kita kehilangan hutan seluas 3 kali lapangan sepakbola tiap detik (2004) hanya sampai ke telinga saja. Sebab kenyataan longsor dan banjir adalah senjata-makan-tuan yang berlalu begitu saja. Data dari Conservation International bilang populasi primata Indonesia hampir hilang. Misalkan saja di Jepang dan China. Perburuan binatang dan paus dengan dalih untuk obat masih ada. Terus membunuh dan membunuh.
Ada beberapa cukong yang memang telah ditangkap semenjak Operasi Hutan Lestari (OHL). Gara-gara itu pula banyak pekerja sektor industri kehutanan terpaksa dirumahkan. Dibilang memotong nafas kehidupan orang banyak. Bahkan di Papua, mencari kayu untuk bikin peti mati aja sekarang susah, karena perusahaan tutup. Jika perusahaan yang tutup itu menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat sekitar, bakal ada kerugian besar. Pemerintah juga akhirnya bertangan besi, tidak peduli apakah HPH itu resmi atau tidak. Setau saya sih yang resmi juga hasil cincai yang salah. Entah itu atas nama pemanfaatan kayu masyarakat adat, atau atas demand pasar, semua menjadi abu-abu. Beginilah jika awalnya sudah salah. Di Banten saja, gara-gara jalan tidak diperbaiki, warga serta merta menebangi pohon di sepanjang pinggir jalan. Kok jadi lucu ya? Pada makan apa sih, kok bisa mikir sampai segitunya?
Atau barangkali jika kelangkaan minyak baru semakin terasa dengan patokan per barrel-nya yang begitu tinggi, baru kemudian manusia mulai berpaling ke bahan bakar alternatif? Ladang menggiurkan (untuk saat ini) bagi konglomerasi korporat negara-negara maju untuk menguasai minyak haruskah dibiarkan? Jika OPEC sendiri sudah tergerus politik Imperium Dunia Baru, otomatis akan lebih banyak korban secara ekologis. Tak dipungkiri roda industri bergerak sebagian besar karena minyak dan turunannya. Juga batubara. Juga tenaga nuklir. Masyarakat dunia sudah lama tidak berpikir efisien menggunakan bahan bakar. Ribut BBM naik.
Atau misalkan saja nitrogen cair yang lebih murah dari minyak. Pake Gasohol juga bisa. Bahan bakar campuran bioethanol dengan fermentasi ubi kayu. Cocok buat kondisi negara kita. Bahan bakar alternatif masih mahal hanya karena belum ada produksi masal mesin nitrogen. Sederhana saja sebenarnya, membikin banyak penggerak alternatif yang sustainable dan renewable saja, dan pasar pun akan menyambut. (tapi ingat! bukan pasar 'kotor' ya?).
Demikian segelintir realita. Realita yang mengajak manusia untuk menjadi teman. MEREPIH ALAM.
Saya setuju dengan adanya Protokol Kyoto & Protokol Cartagena tentang keanekaragaman hayati. Hanya sebagai penarik gerbong saja sih, karena inti kepedulian ada pada jaringan penyatu visi. Kalopun malas bergerak atau sekedar tidak buang sampah sak penake jidat sendiri, kita bisa mengirim e-card pada sanak saudara dan handai taulan, mengajak mencintai bumi. Gabung dalam jaringan pelestarian lingkungan secara on-line pun sekarang banyak wadahnya. Mau ikut donasi juga bagus. Jadi volunteer apalagi. Yang penting harus punya jaringan kuat. Silakan tinggal pilih. Semuanya membutuhkan progressive actions, dan semua usaha tidak akan sia-sia. Gak usah nunggu gerakan lamban dari pemerintah (sebentar lagi program Kalpataru diteruskan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni ini). Jadi bukan alasan lagi menunda menyelamatkan rumah kita.
Mampu memaknai secara lebih berkembang tentang lingkungan, adalah faktor utama, terutama bagi anak-anak pewaris bumi. The definition of “environment” is including all issues that affect our health, our communities and our environment, such as air and water pollution, deteriorating schools, public transportation and access to jobs, rising rates of asthma and cancer, and lack of funding for parks and recreation.
Di dalam alam berlaku hukum suksesi, dan saya percaya semua yang rusak bakal kembali hijau, lalu binasa lagi, kemudian hidup lagi, dan seterusnya. Semua ada sebabnya. makanya jangan salahkan alam ketika dia kembali berlaku kataklismik. Bumi itu bernyawa. Dia punya jiwa. So, apa yang berasal dari Bumi pasti akan kembali ke Bumi. Termasuk jasad ini.
(teori gaia di film Final Fantasy menarik juga, tapi ini juga bukan perihal berbau mistik yang tidak saya dukung itu ;) + Jangan sungkan ke sini, ka dieu, neng kono, there.
---
The symbolism of Earth Day - the equilibrium and balance of the equinox - encourages and inspires independence and cooperation. The simultaneous global event deepens our sense of unity. It fosters a sense of rights and responsibilities in the protection and care of Earth. From Earth Day has come a growing consensus that every individual and institution should act as Earth Trustees, seeking what can be done in ecology, economics and ethics to benefit people and planet. This will help us obtain a healthy, peaceful future and speed the day when bells will ring all over the world as we celebrate Earth Day, the Great Day of Earth. --John McConnell, Earth Day is March Equinox; founder of the Earth Day.
Beberapa hari terakhir jalanan Jakarta agak teratur. Dengan hiasan serdadu di sudut-sudutnya yang gemerlap dan temaram. Di mal dan di jembatan penyeberangan. Di tengah jalan dan di tepian sungai yang selalu kotor. Serdadu dengan peralatan tempur, membuat saya miris akan suasana horor ini. Tapi saya tau maksudnya baik kok.
Begitu pula kondisi di Bandung yang berwarna-warni. Ada gladi resik penyambutan. Ada renovasi kilat stasiun Bandung. Ada penggeledahan rumah warga di sepanjang jalur delegasi yang mau lewat. Kerja superkeras finishing jalan tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) sejauh 40 km. Dan sebagainya dan sebagainya. Hanya demi perhelatan akbar 22-24 April ini. Jadi , mari kita sukseskan!
DICTATORSHIT!
Persiapan yang mahal memang. Tuan rumah yang baik musti dengan baik hati merelakan tenaga dan pikiran menyambut tetamu 123 negara nanti. Penyelenggaraan yang kolosal. Barangkali juga dananya besar, saya tidak tau pasti. Dana hutang atau tidak saya juga kurang paham. Yang jelas utang kita udah mencapai pembengkakan yang unimaginable, dari deretan angka hingga utang teknis. Bantuan teknis diberikan oleh raksasa pemberi utang yang biayanya dipotong kadang sampai 30% dari biaya pinjaman. Bahkan status hibah pun tak luput dari negosiasi balas budi karena "yang gratis sekarang ini cuman buang kentut".
Ternyata tidak cuman negara 'tercinta' Indonesia saja. Raksasa korporat dan lembaga dunia berduit melimpah pun menindih negara-negara miskin yang tak berdaya seperti negara-negara Afrika dan Afrika sub-sahara. Pembelengguan terselubung secara ideologis. Bahkan nyata-nyata intervensi secara fisik tetap langgeng kepada mereka. Cicilan hutang dunia ketiga dikabarkan tidak rasional, dengan bunga hutang dan syarat yang berat cicilan itu bisa 3 sampai 4 kali lebih banyak dari dana yang diterima. Kalo gak bisa bayar, maka akan terjadi pemindahan modal yang telah di tanam di negara yang bersangkutan. Jika ini ditarik, negara yang ditinggal akan kehilangan sumber pendapatan untuk membayar hutang. Gila! Lho ini membantu apa mau membunuh sih?
SANG KOLONEL NEO-KOLONIALISASI
Semua itu mengarah pada satu muara, yaitu konspirasi Dunia Baru. Ideologi hipokrit, yang menghunus pedang mengkilap namun ternyata berkarat, penuh darah, berbelatung. Semacam substitusi dari kolonialisme fisik. Pemurtadan yang sangat timpang. Langkah neo-imperialisme terlihat semakin cepat. Mereka ini memimpin tata pemerintahan global (Global Governance) yang tak hanya menentukan kerangka peraturan, tetapi juga memiliki sumber daya melimpah dalam politik internasional. Mereka terus memperbesar daya dobrak, membentuk model pembangunan yang berlaku di seluruh dunia dan semakin menolak kedaulatan negara. Hanya demi kedaulatan korporatlah mereka terus maju. Dan akhirnya nilai tawar negara pengutang pun semakin melemah.
Situasi ini tak bisa dipisahkan dari tata perdagangan dunia yang penentuan persyaratannya didominasi negara maju. Sungguh suatu kondisi yang tidak aman. Intervensi yang ekstensif. Kata ilmuwan dan aktifis dari Australia, James Goodman, mengingatkan adanya dogma rasionalitas dalam administrasi birokrasi di urusan perdaganan dunia ini. Konsep ini sebenarnya memecah belah otoritas politik di negara berkembang dan miskin, menghasilkan konflik internal dan militerisasi. Semua ini diusung oleh mata pisau berjuluk "kerjasama pembangunan".
Dan saya akan selalu menunjuk Amerika sebagai biang keroknya. Negara-negara kaya lainnya yg busuk juga bersanding di sebelahnya, di atas tahta feodalisme modern. Kampanye ideologi disebarluaskan melalui media global corong iblis milik korporasi-korporasi multinasional bidang media yang berpusat di negara maju. Licik!
Lembaga sekaliber PBB pun melempem, sepertinya kebijakan yang ditelorkan justru memperparah kondisi negara-negara dunia ketiga di benua Asia, Afrika, Amerika Latin. Program-program yang mendorong kebebasan untuk hidup bermartabat, bebas dari ketakutan, dan bebas memenuhi kebutuhan, berujung pada realisasi setengah-setengah. Usulan pembaruan PBB terakhir merefleksikan intervensionisme baru yang bermuara pada krisis keamanan dan pembangunan; suatu gambaran kolonialisme yang "progresif", kata Goodman, karena mengatasnamakan semua tindakan (bahkan yang melanggar hak asasi manusia pihak yang lain) demi sebentuk "kesejahteraan, perdamaian, dan demokrasi". Ya! Another nightmare! Menyuburkan kompromi dengan setan. Kolaborasi yang membabibuta. Bahkan lupa ketika harus duduk dan berdiri di mana. Payah! Secara subyektif, terus terang saya ndak suka.
HARAP-HARAP CEMAS
Bisa jadi KAA kali ini akan menjadi ajang nostalgia saja. Atau barangkali termasuk acara penanaman pohon perdamaian di alun-alun Tegalega Bandung nanti? Semoga tidak. Duit dihamburan tanpa hasil, jika tidak membahas keputusan untuk tetap bergerak melawan imperialisme Tata Dunia Baru. Tenaga terkuras sia-sia, jika tidak menyetujui kemerdekaan negara Palestina yang terjajah. Pikiran akan jadi lamunan menghabiskan waktu, ketika Jepang dan Cina juga tak mau berdamai hanya karena urusan begituan saja. Dan agenda-agenda lain yang SEHARUSNYA bagus, seperti yang diingatkan oleh demonstrasi tadi siang di Bundaran HI, atau peringatan dari para teroris?.
Wah, kok saya jadi sok ngomongin politik gini yak? Ya karena saya berharap banyak pada momentum ini. Erek kumaha deui?
(sisa-sisa pesimisme setelah membaca tulisan Maria Hartiningsih)
NB: ah, akhirnya dapet bocoran, yaitu sejumlah 120 miliar rupiah telah dihabiskan untuk perhelatan yang bertema "Reinvigorating The Spirit of Bandung Working Towards a New Asian-African Strategic Partnership." ini, dan 80 miliar hanya untuk sekuriti.
Menonton konser apapun bagi saya begitu menyenangkan. Termasuk juga kemarin sabtu malam saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewa grindcore dunia, NAPALM DEATH, membombardir sekitar 6000 metalheads seluruh Indonesia di Pantai Karnaval Ancol. Gak nyangka banyak yang tau Napalm Death. Ini laporan amatiran. Tanpa basa-basi seperti musik grindcore itu sendiri (mungkin rekan Tremor lebih mahfum, kalo dia nonton juga)
THE VENUE.
Hampir mirip Bandung, komunitas underground Jakarta ternyata melimpah. Sore itu pukul lima pintu masuk venue belum dibuka. Pelataran parkir B Ancol penuh dengan metalheads dari berbagai kota. Dari Bandung sendiri teman-teman saya berbondong menyewa bis ke Jakarta. Bang Yur, salah seorang teman bilang sekitar 1000-an teman-teman dari Bandung sudah datang. Ha! Serasa kembali ke zaman kuliah dulu, bertemu kawan-kawan seperjuangan! Apa kabar kawan?! Mari ber-moshing ria di garda depan!
THE GRINDING OPENING.
Panggung dipersenjatai sistem suara 75.000 watt dan pencayahaan 100.000 watt. Bagus dan jernih. Jam sudah berdentang 8 kali, ngaret seperti biasa tiba-tiba lampu padam dan selanjutnya bisa ditebak. TENGKORAK yang menjadi band pembuka menampilkan sekitar 10 lagu dari album awal sampai album terakhir mereka. Band grindcore lokal yang sudah 11 tahun berjaya ini sebenarnya kelewat besar di kancah major label Indonesia, dan kebanyakan mereka dikenal di luar negeri daripada di Indonesia (menyuplai underground scene lewat distro, zine, dan jaringan luas ke luar negeri). Buat Ditto, makasih atas infonya. Ombat cs main bagus. Rapi. Riff-riff yang 'meloncat'. Blast beat-nya kenceng bener! Ketat! Hampir mirip Extreme Decay, band grindcore asal Jawa Timur. Cuman ya itu, seperti kebanyakan orang Indonesia, kok keteter staminanya. Trus tongkrongannya gak cocok buat dipotret. Kecuali sang gitaris, Samir, rambut personel laen kok ala 'stuck on you'? heuhuehue... stereotip lah. But grreatttt act anyway! Band lokal memang tak kalah brutal!
HERE COMES THE GODFATHERS!
Setelah idle selama 30 menit, massa yang tak sabar menanti, segera beranjak ke depan panggung hingga penuh setelah Barney Greenway melambaikan tangan dan menggeber lewat lagu pertama (aduh saya lupa tajuknya). Terus terang saya mengalami ekstase sesaat malam itu. Ini adalah band idola saya, beraksi di atas panggung di depan mata saya. Mungkin terdengar berlebihan. Bukan untuk status keren (bah! status itu racun!). Tapi saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan ekstase saya! Empat legenda hidup, yang membesarkan khasanah musik saya selama ini!
Empat dedengkot grindcore ini semakin 'menggila' meneriakkan lagu demi lagu. Tak terlihat sedikitpun mengalami degradasi stamina. Aggressive act! Lirik setajam pisau cukur memang benar-benar mereka suarakan. Dari penyangkalan eksistensi monarki di dunia hingga kebusukan penjahat perang. Menghujat secara eksplisit Ratu Inggris hingga Tony Blair dan George 'Wicked' Bush. Ha! Bagi saya itu keren sekali! Mungkin juga terlalu kejam ketika saya mendukung mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Never trust the government!
Memang tidak banyak lagu mereka yang saya hapal, namun beberapa judul lagu seperti "Greed Killing", "The Inflitraitor", "Constitutional Hell", "From Enslavement to Obliteration", "Dementia Access", "Suffer the Children", "Scum", beberapa judul dari band metal legendaris Cryptic Slaughter, hingga 2 track dengan warna grind/death cacophony, "Silence is Deafening" dan "The Code is Red... Long Live the Code" dari album ke-13 dengan judul yang sama,benar-benar memuaskan! Ada 2 lagu yang dikhususkan untuk korban bencana tsunami Aceh, salah satunya adalah "Nazi Punks Fuck Off", termasuk juga dalam album amal untuk tragedi itu, Tsunami Benefit (album ini juga diusung oleh band TheHaunted dan Heaven Shall Burn) Hingga diakhiri dengan lagu tersingkat sepanjang sejarah (0.6 secs!), yaitu "You Suffer". Jadi hampir 30 lagu!
Mereka berempat jauh sekali dari kesan glamor. Tidak ngartis. Apalagi nyelebritis. Gak komplen, karena mereka bukan rockstars. Yang saya baca dari biografi mereka juga ternyata demikian. Low profile dan gentleman seperti kebanyakan orang Inggris. Gebukan drum Danny Herrera tampak masih intens, walau sudah mulai tambun. Shane Embury memakai kaos band pionir grind/death Repulsion, masih gondrong meskipun dengan kerontokan di depan dan belakang; personel paling lama sekaligus bassis metal yang tangguh; seorang di balik sebagian besar lirik-lirik cerdas ND. Mitch Harris masih tetap memanjangkan rambut, seorang back-vocalist with screaming dissonance dan gitaris yang makin hebat saya lihat. Dan seorang Barney Greenway tetap merupakan front-man yang bertanggung jawab, bersama Shane menyusun kekuatan lirik ND; setidaknya setelah era Lee Dorian. Veteran grindcore yang jenius. Benar-benar formasi solid!.
WHAT AN ENDING!
Posisi saya dan rekan Monnie memang tak jauh dari bibir panggung, maklumlah jurnalis kacangan seperti saya ini butuh spot yang menguntungkan untuk mengarahkan moncong kamera digital tua saya. Sempat juga bersua teman sekampus, si Anto anak TL dan Bonnie adik kelas saya.
Sebuah pertunjukan metal yang sukses berat saya kira. Kendati banyak yang kurang sependapat dengan hadirnya sponsor rokok Gudang Garam, yang dianggap 'korporasi multinasional'. Saya sendiri sih menyebutnya sah-sah saja. Namanya juga negara ketiga, duit dari mana gitu lhoh? Melacur pada kekuatan korporasi asal tau posisi itu wajar. Asal tidak memasang logo sponsor di backdrop panggung saja, karena sangat mengganggu secara visual, dan bukan elemen utama. Semua hadirin senang, entah itu metalheads sejati atau sekedar poser saja. Riot. Chaos as it used to be! Tidak saya jumpai vandalisme. Salut! Bahkan setua ini saya akhirnya juga ikutan masuk dalam ekstase kesemrawutan penonton. Headbanging. Moshing. Dorong sana lempar sini. What a gig! Benar-benar pertunjukan yang memukau! (buat Yudi dan Ditto, sayang kalian tak nonton). Mungkin keramaian bukan hal yang saya sukai, tapi saya tetap menikmati. Memacu adrenaline. Exciting! Kuping saya juga pekak sebelah selama dua hari. Apalagi hasil jepretan saya tidak ada yang jelas, ah dasar amatiran! Bersamaan dengan raibnya ponsel kesayangan saya, lengkap sudah memori pertunjukan ini. Kalo ada sumur di ladang dan umur panjang, bolehlah kita berjumpa lagi wahay oom-oom Napalem Deth... (wah, ternyata Mas Barney juga berkeinginan sama, ingin kembali manggung di Indonesia bersama band2 metal papan atas dunia) hehehe... Long Live the Code!
Saya menunggu kedatangan Anthrax, Slayer, dan tentunya dewa deathmetalSuffocation, yang katanya juga mau diundang ke sini. Kalo bisa mampir ke kosan saya juga :)
---
"... unless you think." -NAPALM DEATH, "Nazi Punks Fuck Off", Nazi Punks Fuck Off (1994)
Ini bulan April, katanya orang-orang sih bulan emansipasi yang dicetuskan Ibu Kartini, hingga akhir hidupnya 21 September 101 tahun silam. Bukan kebetulan saya ingin menulis tentang hal ini, namun lebih mencoba mengkalkulasi jawaban atas pertanyaan yang menggelitik teman saya Ummi Nida. Semoga membantu, Ukhti ;)
Pertanyaan seputar korelasi lelaki-perempuan atau sebaliknya memang setua umur jagat raya. Bahkan saya pikir sebelum era sejarah, manusia telah (sadar atau tidak) mengkonstruksikan secara sosial persoalan "lelaki" dan "perempuan". Sebenarnya saya merasa kikuk untuk mencoba menulis tentang ini, karena bagi sebagian orang ini adalah mirip persoalan SARA, "mbak, kok gak feminin sih?", atau "eh IP kamu berapa sih? ". Semacam ketegangan abadi. Perang eksistensi. Emosi primordial. Lagipula literatur dan pemahaman saya tentang feminisme atau maskulinisme sangat terbatas. Jadi, no offense lah kalo ada salah-salah kata, namanya juga berpendapat. Namun ya begitu, manusia selalu tergelitik oleh dunia di seberangnya. Curiousity yang terpendam. Apalagi urusan lawan jenis. Dan, ehm, love-story tentunya.
Keterlibatan peran sosial di sinilah membentuk konvensi arbitrer, sebuah kesepakatan majemuk tentang bagaimana wanita seharusnya, bagaimana lelaki musti ber-attitude di depan wanita.
Patriarki
Patriarki yang terjadi di strata sosial dunia ketiga pasti dianggap lebih konservatif. Padahal pada praktek umumnya, sistem patriarki adalah dominasi gender yang hirarkis. Bisa jadi, karena dari surga awalnya pun Adam tercipta pertama lalu Hawa. Mayoritas akan menafsirkan bahwa secara sosial dan moral, Adam tentu lebih superior karena Hawa diciptakan hanya untuk teman hidup Adam. Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu terminologi psikoanalisis yaitu “the law of the father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan. Lelaki secara natural dianggap superior, mengatur yang inferior yaitu perempuan. Doktrinasi gender. Validasi perbedaan temperamental antara keduanya. Rekayasa ideologi yang terlihat alamiah. Opresivitas terselubung. Tradisional dalam kacamata barat. Coba Anda tengok sebentar di kamar sebelah. Ha! Lucu juga. Pemahaman yang menyesatkan kiranya. Saya agak setuju dengan pemikiran Fatima Mernissi, seorang akademisi terkenal dalam buku disertasinya "The Veil and the Male Elite" yang mengemukakan untaian benang merah feminisme, terutama dalam khasanah budaya Arab yang jelas-jelas memanipulasi ajaran intrinsik agama (bukan cuma Islam) oleh para penguasa Arab untuk kepentingan sendiri. Dalam hal ini, segregasi yang ketat menyangkut space (ruang) buat laki-laki atau perempuan lebih merujuk pada faktor budaya yang melingkupinya. Dan karenanya, lepas dari tanggung jawab sakralitas teks agama. Meskipun, misalnya, ada teks yang menyebut secara eksplisit batas demarkasi laki-laki dan perempuan, itu tak lebih dari bentuk akomodasi teks agama terhadap kultur budaya lokal (baca: Arab). Kalau kita mengikuti asumsi ini, maka teks-teks suci yang membatasi ruang gerak perempuan—yang kemudian berimplikasi pada penyudutan peran perempuan— bersifat relatif atau nisbi. Atau, meminjam istilah bahasa tafsir (Ulumul Qur’an) disebut dzanniy.
Yang menarik sebagaimana dapat dibaca dalam entri “seclusion” dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, meskipun lekat dengan tradisi masyarakat dan nilai keislaman, pemisahan ruang antara kedua jenis kelamin itu ternyata bukan berasal dari Islam sendiri. Masyarakat Bizantium, Kristen Suriah, serta masyarakat pra-Islam di kawasan Mediterania, Mesopotamia, serta Persia, sudah terlebih dahulu mempraktekkan hal ini. Feminisme, antara Egosentris dan Revolusi?
Lantas terbitlah gerakan feminisme dengan berbagai coraknya. Budaya patriarki yang mendunia ini memicu ketegangan, menciptakan hubungan yang dualistik, saling membutuhkan sekaligus saling memicingkan mata. Sinisme absurd bagi saya. Pada satu sisi, justru telah membuat perangkap lebar bagi kaum perempuan itu sendiri, apalagi pada modernisme semacam ini. Dan pemahaman konsep ini juga tidak banyak berubah dalam alam pemikiran modern ini. Satu hal perlu disimak, bahwa kelahiran feminisme lebih banyak terjadi di negara kapitalistik dan sosialis yang pasti cenderung otoriter-diktatorian. Berkembanglah Feminisme Liberalis, Feminisme Sosialis/Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Lesbian, dan konco-konconya. (mungkin juga mengakibatkan muncul departemen peranan wanita di negara ini kali yak?)
Begitu pula bila masyarakat dan manusia membebaskan peran salah satu pihak dengan dalih perilaku subordinasi pihak yang satu pada pihak yang lain; sehingga mereka menuntut kebebasan dan kesetaraan dalam hak, peran dan hukum. Solusi yang mereka lahirkan pun tak dapat disatukan karena cara pandang mereka yang berbeda tentang hal apa yang menjadi prioritas untuk diperjuangkan. Wajarlah jika pada akhirnya para feminis harus bersimpang jalan sesuai aliran feminisme yang diadopsinya. Ada semacam standar ganda yang tampak justru tidak adil, semacam terminologi antara diterima-tidak diterima (acceptable-unacceptable). Beberapa contoh melibatkan wanita melakukan sesuatu, dan pelarangan bagi lelaki melakukan hal serupa. Akhirnya jadi tidak masuk akal bukan? Bagi saya ini salah satu kepicikan hegemoni budaya barat. Bersinergi Saja.
Lalu mengapa? Ada yang salah? Enggak juga. Belajar berpikir kritis itu bagus kok. Kesepakatan yang kelihatan alami di atas bagi saya adalah rujukan terbaik bagaimana memahami sepenuhnya ekualitas dua spesies berkromosom beda itu. sehingga bisa merekonstruksi makna peran setiap gender, karena memang peran tersebut sesuai kompetensi masing-masing. Namun bagi saya pribadi (dengan segala kekurangan saya) memaknai substansi gender bukanlah rujukan mendasar, karena sangat tidak beralasan memandang perbedaan ini hanya satu sebab yaitu tuntutan kesetaraan. Saya lebih condong menganggap lelaki dan perempuan sudah sepadan dari awalnya, masing-masing mempunyai potensi akal dan potensi kehidupannya yang berintikan kebutuhan jasmani dan ruhani. Sebagai manusia mereka memiliki kesepadanan satu sama lain. Dan hukum yang termaktub dalam religi mempunyai dasar yang sama, yaitu diserukan kepada keduanya dalam bentuk umum, kecuali pada hukum-hukum yang berhubungan dengan potensi dan tabiatnya. Dengan demikian bisa hidup rukun. Kerjasama tim. Dan yang namanya kerjasama tim, segala standarisasinya tidak boleh diserahkan kepada masing-masing orang atau golongan. Jadi, anggaplah pasangan kita adalah mitra, bersinergilah demi untuk melestarikan jenis manusia. Sangat jelas bukan? Apalagi urusan cinta, pasti dong tidak mau berkonflik (yang remeh). Aneh kan, kalo sampai terjadi perang berdarah-darah hanya karena memperebutkan siapa yang harus mengantar anak kita ke sekolah?
Wah, panjang bener yak entri-nya? Ada pemikiran lain?
(sebagian dikutip serta merta dari tulisan Nuraini Juliastuti.)
Tsunami Samudra Hindia itu diakibatkan oleh gempa bumi yang luar biasa kuatnya. Ia seakan pemicu. Ia mengingatkan bahwa setiap garis pantai dalam zona aktif tektonik mempunyai resiko. Korban jiwa besar mengancam daerah-daerah pesisir berpenduduk padat di dataran rendah. Dan garis tektonik itu menjalar hingga samudra Pasifik, melewati kepulauan Indonesia, 130 gunung berapi yang sewaktu-waktu bisa meletus. Bukan nakut-nakutin sih, ketika para ahli bilang, negara kita dan Jepang yang garis pantainya padat penduduk, merupakan bangsa yang paling terancam tsunami di dunia, selain hujan badai, banjir, dan tanah longsor.
Ya! kita semua tahu Bumi kita memang aktif, walau sudah berusia sekitar 5 milyar tahun. Bahkan pergerakan benua (continental drift) sejak era Pangaea (all Earth) 800 juta tahun lampau hingga sekarang masih terjadi. Maklumlah, kulit Bumi atau lithosphere memang hanya setebal sekitar 35 km saja; sebuah selimut tipis bagi bola pijar superpanas inti Bumi yang selalu bergejolak. (kumplitnya ada di sini atau di sini)
Apa yang saya takutkan sejak gempa di Aceh lalu sepertinya mulai terjadi. Teman saya Ummi Nida juga pernah bilang demikian. Dan sekarang pemicu itu mulai menggetarkan zona di aras selatannya. Kemarin Nias, lalu Padang, bisa jadi Bengkulu, terakhir sederet raksasa berapi mulai menggelegak. Gunung Talang, Anak Krakatau, Gede, Tangkuban Perahu, Merbabu, Merapi, hingga Bromo dan Mahameru. Dan jawaban bukan dari 1000 kambing yang (kalo jadi) sekarat sebagai tumbal (damn! bangsa okultis!).
Hidup di atas daratan yang mengapung di atas lautan vulkan membutuhkan pemahaman terhadap alam secara komprehensif. Kalo masih enggak sadar dan menambah-nambah potensi bencana, berarti dungu sekali. Pembodohan diri sendiri. Sebagian percaya ini adalah pertanda, termasuk saya. Siaga pun diberlakukan. Antisipasi terhadap kemurkaan. Siaga untuk mati? Siaga untuk lebih bersiap diri kiranya. Berlebihan gak, ketika siaga itu memang untuk kita manusia? Ya, untuk manusia... bukan yang lain.
Teknologinya oke. Ide-ide dari pertunjukannya keren. Sektor edukasinya bagus. Geografisnya indah. Memang sih tidak semuanya. Tergantung bagaimana kita berwawasan dan memperlakukannya. Apalagi ber-attitude ria di kancah percaturan duniawi ini.
Namun, sejak semula saya sudah tidak bisa akur dengan jalan pikir politik negara ini (eh, politik itu apa sih? :D). Mungkin begitu juga dengan mas-mas Rammstein terhadap negara ini.
---
We're all living in America America is wonderful We're all living in America America, America When there's dancing I want to lead even if you're whirling around alone Let yourselves be controlled a little I'll show you how it really goes We're making a nice round dance Freedom is playing on all violins Music is coming out of the White House and Mickey Mouse is standing in front of Paris We're all living in America America is wonderful We're all living in America America, America I know moves that are very useful and I will protect you from missteps And whoever doesn't want to dance at the end doesn't know yet that they must We're making a nice round dance I will show you the way Santa Claus is coming to Africa and Mickey Mouse is standing in front of Paris
We're all living in America America is wonderful We're all living in America America, America We're all living in America Coca-Cola, Wonderbra We're all living in America America, America This is not a love song This is not a love song I don't sing my mother tongue No, This is not a love song We're all living in America America is wonderful We're all living in America America, America We're all living in America Coca-Cola, sometimes war We're all living in America America, America -Rammstein, "America" (English Version); Reise, Reise (2004)
Demokrasi tidak bisa disalahkan, karena dia berdiri sendiri sebagai subjek tanpa pemaknaan dari pihak kedua. Dia juga bukan gua perlindungan ataupun ketiak wangi sebuah ideologi.
Begitu pula kebebasan berekspresi. Mau tak mau menggandeng pula realitas hak asasi manusia dan wacana gender. Dan kemudian seperti iblis bermuka dua mencoba secara perlahan namun membabi buta berdalih yang pada dasarnya tidak memberi pilihan sisi positif. Hipokrit seperti iblis.
Hanya karena suka sebuah tayangan televisi, beberapa manusia sengaja berlindung di balik jaket berjuluk demokrasi. Picik kah? Bisa jadi iya. tapi ini menurut hemat saya saja. Dan tayangan yang dibenarkan oleh mereka itu adalah Joe Millionaire di RCTI. FYI, reality show ini sudah dibeli di 13 negara dari kanal FOX di Amerika sana. Untuk edisi sononya begini ceritanya: "On this show the show twenty women fly to France for several weeks in order to fight for a wealthy and desirable young bachelor, whom they believe to be worth 50 million US dollars. In actuality, the bachelor is a construction worker with an annual salary of $19,000. The bachelor "Joe" will tell the ladies that he recently inherited the large sum of money but everything else he reveals about himself will be true." Sebuah aksi tipu-tipu yang menghabiskan waktu saja rupanya.
Sama dan sebangun, pada versi Indonesianya pencitraan tayangan yang katanya sudah direduksi sesuai tatanan lokal ini sepertinya justru melemahkan konsep diri. Pembelaan diri dengan senjata demokrasi yang diperjuangkan dan kebebasan berekspresi sama sekali konyol banget gitu lhoh... Dan ironisnya, tayangan yang demikian justru semakin banyak. Toh walaupun kita hanya meniru (ya! plagiat adalah kemampuan terbesar bangsa ini!) dari tayangan serupa di negara sana yang kental dengan what-so-called budaya barat, tetap saja meninggalkan ruang kosong yang terlalu lebar dan sia-sia. Mau terus-terusan begini?
Belum lagi memperlihatkan ketimpangan gender, yang bagi pihak perempuan implicitly ditikam dari atas oleh sebuah program berbaju hegemoni lelaki dengan segala dominasinya. Dalam pendekatan machina sexualis dariMichel Foucault, mesin kekerasan seksual seperti ini bekerja dengan sangat lembut, efektif, penuh daya pikat. Ia tidak menampakkan wajah kekerasannya, sebaliknya tampak menghibur. Ticket to indulgence? Pikir lagi!
Inilah yang dinamakan oleh Colette Dowling dalam bukunya sebagai Cinderella Complex, sebuah modern fairy tale tentang kecenderungan perempuan berharap akan menjadi Cinderella dalam cerita klasik barat, tidur dan meratap di ruang kaca menunggu datangnya sang pangeran menjemput dan membawanya ke istana; sebuah refleksi atas ambisi, preokupasi, obsesi, dan kelemahan. (Bisa disimak pada film Ella Enchanted atau The Prince And Me, atau mau baca lagi kisah aslinya yang ditulis Charles Perrault?) Secara massif, tayangan demikian seperti juga sinetron dan telenovela telah membekap fisik dan kesadaran perempuan untuk hidup dalam dunia imaji televisi (tuh kan, hiperrealitas lagi). Mempersempit peran perempuan, menciptakan sangkar emas tentang cinta, perselingkuhan, kekayaan, dan warisan. Cih!
---
Democracy is not morally ideal.
Demokrasi memang akan tidak bermakna jika berdiri sendiri. Dan dia menarik perhatian beberapa kata lain untuk menggandengnya seraya memberi baju bagus buat dia. Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Liberal. Demokrasi Athenian. Atau bahkan dalam kasus pengoyakan perempuan tadi, memunculkan sifat mayoritarianisme semu, yaitu sebuah pengaruh dominan yang unintrinsically undemocratic. Karena kata 'demokrasi' sendiri telah mengalami pergingsutan makna. Sejujurnya begitulah sekarang.
Meminjam isi postingan sebelumnya, memang begitulah ketika sudah saatnya ada kesadaran simbolik dan kesadaran semiotik bagi perempuan saat berinteraksi dengan televisi, memberi jalur aman untuk berinterpretasi sekaligus berdialog di lahan komunikasi publik. Jadi, sadarlah teman.... ;)
BTW, bisa muncul tuh ada Paris Hilton Complex, Madonna Complex. Mendingan Srimulat Complex... (hah? komplek Srimulat? sekampung bersama Srimulat?...Timbul Millionaire?...apa jadinya?) Ha ha ha...
Menjumpai beberapa hal yang menyesakkan dada dan hanya bisa mengelus dada barangkali sangatlah ironis. Ya! walaupun kita merasa punya kemampuan untuk bergerak, tapi keinginan itu terbentur kenyamanan status quo, terendam hiruk pikuk infromasi yang berseliweran, tidak bisa dipisahkan mana yang terdistorsi mana yang murni. Wujud kekerasan media. Sekali lagi, merupakan potret daya pikat yang luar biasa. Dalam kasus ini bisa jadi berkaitan erat dengan kekerasan simbolik sekaligus kekerasan semiotik.
Menahan diri dan melempar balik opini dalam sebuah paradigma sekaligus kehidupan nyata (dan virtual) menghadirkan konstruksi kekuatan pemikiran yang dinamakan bermetafora. Berembug lah dengan hati dan kemudian ungkapkan secara indah dan menyenangkan, tanpa beban, minus keterpaksaan. Sekalipun kita seorang yang berpaham kontrakultura. Dan memang, kadang kekerasan seringkali menemui jalan buntu ketika menghadapi kekuatan metaforis. We deadly need this metaphorical semiotics to reduce global catasthrophic risks.
(Terus terang, kehadiran catatan ini secara sepihak adalah perenggutan hidup saya dalam dunia hiruk pikuk informasi yang kadang menjelma jadi dejavu; komputer di mana-mana, internet bahkan telah menjadi hantu yang menakutkan. Kemungkinan besar saya sudah terhubung dengan dunia Matrix. :( Sebuah eksekusi atas sebuah pilihan yang semestinya kurang baik secara hermeneutika pribadi.)
Realistis saja. Mengedepankan kompromi dengan kausalitas tinggi bakal tidak menghibur sama sekali. Etika berinteraksi, entah dengan manusia atau berhadapan dengan teknologi seharusnya dimaknai sebagai idealisme yang membumi, bukan kebutaan karena kacamata kuda alias tidak realistis. Bukannya dalam agama kita dianjurkan untuk tidak berlebihan?
Sepertinya tidak akan terlalu berlebihan apabila keragaman karakteristik Indonesia mendapatkan tempat yang bagus dalam Majalah Ilmu Pengetahuan berbasis geografi edisi Indonesia ini yang diluncurkan tanggal 29 Maret ini. Tidak hanya figur sekelas Emil Salim, Butet Manurung, dan para environmentalist yang akan segar dan termotivasi lebih dahsyat lagi, bahwa justru pada komunitas awam lah transfer pengetahuan ini dibutuhkan. Walaupun local content hanya lebih kurang 20%, saya percaya kekayaan geografis-kultural negeri ini akan menjadi bagian utama edisi Indonesia, seiring dengan demand dan MoU dengan pihak NGM Washington D.C. Hope so.
Tak berperlu berprasangka naif walaupun sistem distribusi NGM mengikuti kinerja konglomerasi-kapitalistik dalam usahanya menjaring pembaca atau konstruksi realitas yang menjadikannya cacat. Tentunya ini dalam konteks positif-proporsional, karena memang media seperti inilah yang mampu (scientifically and arbitrary) menghargai fakta, melepas selimut berita yang remeh-temeh, membentangkan cakrawala kita, melampaui horison pemikiran, menggali lebih dalam, dan mencerdaskan tentunya, seperti yang dibisikkan angin kepada pucuk pohon sepanjang waktu.
Agar negeri ini lebih sehat. Agar cinta alam dan manusia antarbangsa tumbuh berkembang di hati rakyat Indonesia. ---
National Geographic Society adalah organisasi ilmiah dan pendidikan nirlaba yang didirikan di Washington D.C. Organisasi ini telah menyokong lebih dari 8.000 misi eksplorasi dan penelitian sejak tahun 1888, mengungkap pengetahuan mengenai bumi, laut, dan langit.
I know this sounds naive, but there is so much crap in this world, and then suddenly, there is honesty and humanity.
Leave the beaten track occasionally and dive into the woods.
Every time you do so, you will be certain to find something that you have never seen before.
Follow it up, explore all around it, and before you know it, you will have something worth thinking about to occupy your mind.
All really big discoveries are the results of thought.
And life is simple, either EXTREME or NOTHING!
So, fasten your safety belt, we're on a blistering bumpy road!
Have a nice trip.