Bermetaforalah! (1)
FOREWORD
Menjumpai beberapa hal yang menyesakkan dada dan hanya
bisa mengelus dada barangkali sangatlah ironis. Ya! walaupun
kita merasa punya kemampuan untuk bergerak, tapi keinginan
itu terbentur kenyamanan status quo, terendam hiruk pikuk
infromasi yang berseliweran, tidak bisa dipisahkan mana yang
terdistorsi mana yang murni. Wujud kekerasan media.
Sekali lagi, merupakan potret daya pikat yang luar biasa.
Dalam kasus ini bisa jadi berkaitan erat dengan kekerasan simbolik
sekaligus kekerasan semiotik.
Menahan diri dan melempar balik opini dalam sebuah paradigma
sekaligus kehidupan nyata (dan virtual) menghadirkan konstruksi
kekuatan pemikiran yang dinamakan bermetafora.
Berembug lah dengan hati dan kemudian ungkapkan secara indah
dan menyenangkan, tanpa beban, minus keterpaksaan.
Sekalipun kita seorang yang berpaham kontrakultura.
Dan memang, kadang kekerasan seringkali menemui jalan buntu
ketika menghadapi kekuatan metaforis. We deadly need this
metaphorical semiotics to reduce global catasthrophic risks.
(Terus terang, kehadiran catatan ini secara sepihak adalah
perenggutan hidup saya dalam dunia hiruk pikuk informasi
yang kadang menjelma jadi dejavu; komputer di mana-mana,
internet bahkan telah menjadi hantu yang menakutkan.
Kemungkinan besar saya sudah terhubung dengan dunia Matrix. :(
Sebuah eksekusi atas sebuah pilihan yang semestinya kurang baik
secara hermeneutika pribadi.)
Realistis saja. Mengedepankan kompromi dengan kausalitas tinggi
bakal tidak menghibur sama sekali. Etika berinteraksi, entah dengan
manusia atau berhadapan dengan teknologi seharusnya dimaknai
sebagai idealisme yang membumi, bukan kebutaan karena kacamata
kuda alias tidak realistis. Bukannya dalam agama kita dianjurkan
untuk tidak berlebihan?
Menjumpai beberapa hal yang menyesakkan dada dan hanya
bisa mengelus dada barangkali sangatlah ironis. Ya! walaupun
kita merasa punya kemampuan untuk bergerak, tapi keinginan
itu terbentur kenyamanan status quo, terendam hiruk pikuk
infromasi yang berseliweran, tidak bisa dipisahkan mana yang
terdistorsi mana yang murni. Wujud kekerasan media.
Sekali lagi, merupakan potret daya pikat yang luar biasa.
Dalam kasus ini bisa jadi berkaitan erat dengan kekerasan simbolik
sekaligus kekerasan semiotik.
Menahan diri dan melempar balik opini dalam sebuah paradigma
sekaligus kehidupan nyata (dan virtual) menghadirkan konstruksi
kekuatan pemikiran yang dinamakan bermetafora.
Berembug lah dengan hati dan kemudian ungkapkan secara indah
dan menyenangkan, tanpa beban, minus keterpaksaan.
Sekalipun kita seorang yang berpaham kontrakultura.
Dan memang, kadang kekerasan seringkali menemui jalan buntu
ketika menghadapi kekuatan metaforis. We deadly need this
metaphorical semiotics to reduce global catasthrophic risks.
(Terus terang, kehadiran catatan ini secara sepihak adalah
perenggutan hidup saya dalam dunia hiruk pikuk informasi
yang kadang menjelma jadi dejavu; komputer di mana-mana,
internet bahkan telah menjadi hantu yang menakutkan.
Kemungkinan besar saya sudah terhubung dengan dunia Matrix. :(
Sebuah eksekusi atas sebuah pilihan yang semestinya kurang baik
secara hermeneutika pribadi.)
Realistis saja. Mengedepankan kompromi dengan kausalitas tinggi
bakal tidak menghibur sama sekali. Etika berinteraksi, entah dengan
manusia atau berhadapan dengan teknologi seharusnya dimaknai
sebagai idealisme yang membumi, bukan kebutaan karena kacamata
kuda alias tidak realistis. Bukannya dalam agama kita dianjurkan
untuk tidak berlebihan?
2 Thoughts You Share:
Etika berinteraksi, entah dengan
manusia atau berhadapan dengan teknologi seharusnya dimaknai
sebagai idealisme yang membumi, bukan kebutaan karena kacamata
kuda alias tidak realistis. Bukannya dalam agama kita dianjurkan
untuk tidak berlebihan?
Maksudnya bagaimana nikk? (kalau saya mengkopi kalimat tadi, bukan berarti kalimat2 yg lain sya mengerti dengan baik, lho:D)
-ummi nida-
ini baru pembuka saja.
nanti ada edisi kedua untuk cuap-cuap
yang lebih memusingkan lagi hehehe...
:)
Post a Comment
<< Home