Male vs Female Fighting Championship.
Ini bulan April, katanya orang-orang sih bulan emansipasi
yang dicetuskan Ibu Kartini, hingga akhir hidupnya 21 September
101 tahun silam. Bukan kebetulan saya ingin menulis tentang hal ini,
namun lebih mencoba mengkalkulasi jawaban atas pertanyaan
yang menggelitik teman saya Ummi Nida.
Semoga membantu, Ukhti ;)
Pertanyaan seputar korelasi lelaki-perempuan atau sebaliknya
memang setua umur jagat raya. Bahkan saya pikir sebelum era
sejarah, manusia telah (sadar atau tidak) mengkonstruksikan
secara sosial persoalan "lelaki" dan "perempuan".
Sebenarnya saya merasa kikuk untuk mencoba menulis tentang ini,
karena bagi sebagian orang ini adalah mirip persoalan SARA,
"mbak, kok gak feminin sih?", atau "eh IP kamu berapa sih? ".
Semacam ketegangan abadi. Perang eksistensi. Emosi primordial.
Lagipula literatur dan pemahaman saya tentang feminisme atau
maskulinisme sangat terbatas. Jadi, no offense lah kalo ada
salah-salah kata, namanya juga berpendapat.
Namun ya begitu, manusia selalu tergelitik oleh dunia di seberangnya.
Curiousity yang terpendam. Apalagi urusan lawan jenis.
Dan, ehm, love-story tentunya.
Keterlibatan peran sosial di sinilah membentuk konvensi arbitrer,
sebuah kesepakatan majemuk tentang bagaimana wanita seharusnya,
bagaimana lelaki musti ber-attitude di depan wanita.
Patriarki
Patriarki yang terjadi di strata sosial dunia ketiga pasti dianggap
lebih konservatif. Padahal pada praktek umumnya, sistem patriarki
adalah dominasi gender yang hirarkis. Bisa jadi, karena dari surga
awalnya pun Adam tercipta pertama lalu Hawa. Mayoritas akan
menafsirkan bahwa secara sosial dan moral, Adam tentu lebih
superior karena Hawa diciptakan hanya untuk teman hidup Adam.
Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu
terminologi psikoanalisis yaitu “the law of the father”
yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau
proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992),
salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara
laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan
perempuan menempati posisi subordinat.
Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan
semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk
mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow
(1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki
dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas
dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan
memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah
laki-laki mendominasi perempuan. Lelaki secara natural dianggap
superior, mengatur yang inferior yaitu perempuan.
Doktrinasi gender. Validasi perbedaan temperamental
antara keduanya. Rekayasa ideologi yang terlihat alamiah.
Opresivitas terselubung. Tradisional dalam kacamata barat.
Coba Anda tengok sebentar di kamar sebelah.
Ha! Lucu juga. Pemahaman yang menyesatkan kiranya.
Saya agak setuju dengan pemikiran Fatima Mernissi,
seorang akademisi terkenal dalam buku disertasinya "The Veil and
the Male Elite" yang mengemukakan untaian
benang merah feminisme, terutama dalam khasanah budaya Arab
yang jelas-jelas memanipulasi ajaran intrinsik agama
(bukan cuma Islam) oleh para penguasa Arab
untuk kepentingan sendiri. Dalam hal ini, segregasi yang ketat
menyangkut space (ruang) buat laki-laki atau perempuan
lebih merujuk pada faktor budaya yang melingkupinya.
Dan karenanya, lepas dari tanggung jawab sakralitas teks agama.
Meskipun, misalnya, ada teks yang menyebut secara eksplisit
batas demarkasi laki-laki dan perempuan, itu tak lebih dari bentuk
akomodasi teks agama terhadap kultur budaya lokal (baca: Arab).
Kalau kita mengikuti asumsi ini, maka teks-teks suci yang
membatasi ruang gerak perempuan—yang kemudian berimplikasi
pada penyudutan peran perempuan— bersifat relatif atau nisbi.
Atau, meminjam istilah bahasa tafsir (Ulumul Qur’an) disebut dzanniy.
Yang menarik sebagaimana dapat dibaca dalam entri “seclusion”
dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World,
meskipun lekat dengan tradisi masyarakat dan nilai keislaman,
pemisahan ruang antara kedua jenis kelamin itu ternyata
bukan berasal dari Islam sendiri. Masyarakat Bizantium,
Kristen Suriah, serta masyarakat pra-Islam di kawasan Mediterania,
Mesopotamia, serta Persia, sudah terlebih dahulu
mempraktekkan hal ini.
Feminisme, antara Egosentris dan Revolusi?
Lantas terbitlah gerakan feminisme dengan berbagai coraknya.
Budaya patriarki yang mendunia ini memicu ketegangan,
menciptakan hubungan yang dualistik, saling membutuhkan
sekaligus saling memicingkan mata. Sinisme absurd bagi saya.
Pada satu sisi, justru telah membuat perangkap lebar
bagi kaum perempuan itu sendiri, apalagi pada modernisme
semacam ini. Dan pemahaman konsep ini juga
tidak banyak berubah dalam alam pemikiran modern ini.
Satu hal perlu disimak, bahwa kelahiran feminisme lebih
banyak terjadi di negara kapitalistik dan sosialis yang
pasti cenderung otoriter-diktatorian. Berkembanglah
Feminisme Liberalis, Feminisme Sosialis/Marxis, Feminisme Radikal,
Feminisme Lesbian, dan konco-konconya. (mungkin juga
mengakibatkan muncul departemen peranan wanita
di negara ini kali yak?)
Begitu pula bila masyarakat dan manusia membebaskan peran salah satu pihak dengan dalih perilaku subordinasi pihak yang satu pada pihak yang lain; sehingga mereka menuntut kebebasan dan kesetaraan dalam hak, peran dan hukum. Solusi yang mereka lahirkan pun tak dapat disatukan karena cara pandang mereka yang berbeda tentang hal apa yang menjadi prioritas untuk diperjuangkan. Wajarlah jika pada akhirnya para feminis harus bersimpang jalan sesuai aliran feminisme yang diadopsinya. Ada semacam standar ganda yang tampak justru tidak adil, semacam terminologi antara diterima-tidak diterima (acceptable-unacceptable). Beberapa contoh melibatkan wanita melakukan sesuatu, dan pelarangan bagi lelaki melakukan hal serupa. Akhirnya jadi tidak masuk akal bukan? Bagi saya ini salah satu kepicikan hegemoni budaya barat.
Bersinergi Saja.
Lalu mengapa? Ada yang salah? Enggak juga. Belajar berpikir kritis
itu bagus kok. Kesepakatan yang kelihatan alami di atas
bagi saya adalah rujukan terbaik bagaimana memahami sepenuhnya
ekualitas dua spesies berkromosom beda itu.
sehingga bisa merekonstruksi makna peran setiap gender,
karena memang peran tersebut sesuai kompetensi masing-masing.
Namun bagi saya pribadi (dengan segala kekurangan saya)
memaknai substansi gender bukanlah rujukan mendasar,
karena sangat tidak beralasan memandang perbedaan ini
hanya satu sebab yaitu tuntutan kesetaraan. Saya lebih condong
menganggap lelaki dan perempuan sudah sepadan dari awalnya,
masing-masing mempunyai potensi akal dan potensi kehidupannya
yang berintikan kebutuhan jasmani dan ruhani. Sebagai manusia
mereka memiliki kesepadanan satu sama lain. Dan hukum yang
termaktub dalam religi mempunyai dasar yang sama, yaitu
diserukan kepada keduanya dalam bentuk umum, kecuali
pada hukum-hukum yang berhubungan dengan potensi dan
tabiatnya. Dengan demikian bisa hidup rukun. Kerjasama tim.
Dan yang namanya kerjasama tim, segala standarisasinya
tidak boleh diserahkan kepada masing-masing orang atau golongan.
Jadi, anggaplah pasangan kita adalah mitra, bersinergilah
demi untuk melestarikan jenis manusia. Sangat jelas bukan?
Apalagi urusan cinta, pasti dong tidak mau berkonflik (yang remeh).
Aneh kan, kalo sampai terjadi perang berdarah-darah hanya
karena memperebutkan siapa yang harus mengantar anak kita
ke sekolah?
Wah, panjang bener yak entri-nya? Ada pemikiran lain?
(sebagian dikutip serta merta dari tulisan Nuraini Juliastuti.)
yang dicetuskan Ibu Kartini, hingga akhir hidupnya 21 September
101 tahun silam. Bukan kebetulan saya ingin menulis tentang hal ini,
namun lebih mencoba mengkalkulasi jawaban atas pertanyaan
yang menggelitik teman saya Ummi Nida.
Semoga membantu, Ukhti ;)
Pertanyaan seputar korelasi lelaki-perempuan atau sebaliknya
memang setua umur jagat raya. Bahkan saya pikir sebelum era
sejarah, manusia telah (sadar atau tidak) mengkonstruksikan
secara sosial persoalan "lelaki" dan "perempuan".
Sebenarnya saya merasa kikuk untuk mencoba menulis tentang ini,
karena bagi sebagian orang ini adalah mirip persoalan SARA,
"mbak, kok gak feminin sih?", atau "eh IP kamu berapa sih? ".
Semacam ketegangan abadi. Perang eksistensi. Emosi primordial.
Lagipula literatur dan pemahaman saya tentang feminisme atau
maskulinisme sangat terbatas. Jadi, no offense lah kalo ada
salah-salah kata, namanya juga berpendapat.
Namun ya begitu, manusia selalu tergelitik oleh dunia di seberangnya.
Curiousity yang terpendam. Apalagi urusan lawan jenis.
Dan, ehm, love-story tentunya.
Keterlibatan peran sosial di sinilah membentuk konvensi arbitrer,
sebuah kesepakatan majemuk tentang bagaimana wanita seharusnya,
bagaimana lelaki musti ber-attitude di depan wanita.
Patriarki
Patriarki yang terjadi di strata sosial dunia ketiga pasti dianggap
lebih konservatif. Padahal pada praktek umumnya, sistem patriarki
adalah dominasi gender yang hirarkis. Bisa jadi, karena dari surga
awalnya pun Adam tercipta pertama lalu Hawa. Mayoritas akan
menafsirkan bahwa secara sosial dan moral, Adam tentu lebih
superior karena Hawa diciptakan hanya untuk teman hidup Adam.
Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu
terminologi psikoanalisis yaitu “the law of the father”
yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau
proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992),
salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara
laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan
perempuan menempati posisi subordinat.
Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan
semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk
mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow
(1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki
dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas
dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan
memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah
laki-laki mendominasi perempuan. Lelaki secara natural dianggap
superior, mengatur yang inferior yaitu perempuan.
Doktrinasi gender. Validasi perbedaan temperamental
antara keduanya. Rekayasa ideologi yang terlihat alamiah.
Opresivitas terselubung. Tradisional dalam kacamata barat.
Coba Anda tengok sebentar di kamar sebelah.
Ha! Lucu juga. Pemahaman yang menyesatkan kiranya.
Saya agak setuju dengan pemikiran Fatima Mernissi,
seorang akademisi terkenal dalam buku disertasinya "The Veil and
the Male Elite" yang mengemukakan untaian
benang merah feminisme, terutama dalam khasanah budaya Arab
yang jelas-jelas memanipulasi ajaran intrinsik agama
(bukan cuma Islam) oleh para penguasa Arab
untuk kepentingan sendiri. Dalam hal ini, segregasi yang ketat
menyangkut space (ruang) buat laki-laki atau perempuan
lebih merujuk pada faktor budaya yang melingkupinya.
Dan karenanya, lepas dari tanggung jawab sakralitas teks agama.
Meskipun, misalnya, ada teks yang menyebut secara eksplisit
batas demarkasi laki-laki dan perempuan, itu tak lebih dari bentuk
akomodasi teks agama terhadap kultur budaya lokal (baca: Arab).
Kalau kita mengikuti asumsi ini, maka teks-teks suci yang
membatasi ruang gerak perempuan—yang kemudian berimplikasi
pada penyudutan peran perempuan— bersifat relatif atau nisbi.
Atau, meminjam istilah bahasa tafsir (Ulumul Qur’an) disebut dzanniy.
Yang menarik sebagaimana dapat dibaca dalam entri “seclusion”
dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World,
meskipun lekat dengan tradisi masyarakat dan nilai keislaman,
pemisahan ruang antara kedua jenis kelamin itu ternyata
bukan berasal dari Islam sendiri. Masyarakat Bizantium,
Kristen Suriah, serta masyarakat pra-Islam di kawasan Mediterania,
Mesopotamia, serta Persia, sudah terlebih dahulu
mempraktekkan hal ini.
Feminisme, antara Egosentris dan Revolusi?
Lantas terbitlah gerakan feminisme dengan berbagai coraknya.
Budaya patriarki yang mendunia ini memicu ketegangan,
menciptakan hubungan yang dualistik, saling membutuhkan
sekaligus saling memicingkan mata. Sinisme absurd bagi saya.
Pada satu sisi, justru telah membuat perangkap lebar
bagi kaum perempuan itu sendiri, apalagi pada modernisme
semacam ini. Dan pemahaman konsep ini juga
tidak banyak berubah dalam alam pemikiran modern ini.
Satu hal perlu disimak, bahwa kelahiran feminisme lebih
banyak terjadi di negara kapitalistik dan sosialis yang
pasti cenderung otoriter-diktatorian. Berkembanglah
Feminisme Liberalis, Feminisme Sosialis/Marxis, Feminisme Radikal,
Feminisme Lesbian, dan konco-konconya. (mungkin juga
mengakibatkan muncul departemen peranan wanita
di negara ini kali yak?)
Begitu pula bila masyarakat dan manusia membebaskan peran salah satu pihak dengan dalih perilaku subordinasi pihak yang satu pada pihak yang lain; sehingga mereka menuntut kebebasan dan kesetaraan dalam hak, peran dan hukum. Solusi yang mereka lahirkan pun tak dapat disatukan karena cara pandang mereka yang berbeda tentang hal apa yang menjadi prioritas untuk diperjuangkan. Wajarlah jika pada akhirnya para feminis harus bersimpang jalan sesuai aliran feminisme yang diadopsinya. Ada semacam standar ganda yang tampak justru tidak adil, semacam terminologi antara diterima-tidak diterima (acceptable-unacceptable). Beberapa contoh melibatkan wanita melakukan sesuatu, dan pelarangan bagi lelaki melakukan hal serupa. Akhirnya jadi tidak masuk akal bukan? Bagi saya ini salah satu kepicikan hegemoni budaya barat.
Bersinergi Saja.
Lalu mengapa? Ada yang salah? Enggak juga. Belajar berpikir kritis
itu bagus kok. Kesepakatan yang kelihatan alami di atas
bagi saya adalah rujukan terbaik bagaimana memahami sepenuhnya
ekualitas dua spesies berkromosom beda itu.
sehingga bisa merekonstruksi makna peran setiap gender,
karena memang peran tersebut sesuai kompetensi masing-masing.
Namun bagi saya pribadi (dengan segala kekurangan saya)
memaknai substansi gender bukanlah rujukan mendasar,
karena sangat tidak beralasan memandang perbedaan ini
hanya satu sebab yaitu tuntutan kesetaraan. Saya lebih condong
menganggap lelaki dan perempuan sudah sepadan dari awalnya,
masing-masing mempunyai potensi akal dan potensi kehidupannya
yang berintikan kebutuhan jasmani dan ruhani. Sebagai manusia
mereka memiliki kesepadanan satu sama lain. Dan hukum yang
termaktub dalam religi mempunyai dasar yang sama, yaitu
diserukan kepada keduanya dalam bentuk umum, kecuali
pada hukum-hukum yang berhubungan dengan potensi dan
tabiatnya. Dengan demikian bisa hidup rukun. Kerjasama tim.
Dan yang namanya kerjasama tim, segala standarisasinya
tidak boleh diserahkan kepada masing-masing orang atau golongan.
Jadi, anggaplah pasangan kita adalah mitra, bersinergilah
demi untuk melestarikan jenis manusia. Sangat jelas bukan?
Apalagi urusan cinta, pasti dong tidak mau berkonflik (yang remeh).
Aneh kan, kalo sampai terjadi perang berdarah-darah hanya
karena memperebutkan siapa yang harus mengantar anak kita
ke sekolah?
Wah, panjang bener yak entri-nya? Ada pemikiran lain?
(sebagian dikutip serta merta dari tulisan Nuraini Juliastuti.)
5 Thoughts You Share:
Saya setuju dengan adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan adalah agar mereka menjadi satu team yang saling melengkapi. Tidak ada yang harus dicemburui satu sama lain. Pada dasarnya tidak ada pemisahan pekerjaan (pengkotak-kotakan) karena hanya beberapa aktivitas yang tidak bisa dilakukan oleh lelaki/perempuan; misalnya: lelaki tidak bisa melahirkan, sementara perempuan bisa melakukan hampir semua pekerjaan laki-laki...
Saya setuju dengan adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan adalah agar mereka menjadi satu team yang saling melengkapi. Tidak ada yang harus dicemburui satu sama lain. Pada dasarnya tidak ada pemisahan pekerjaan (pengkotak-kotakan) karena hanya beberapa aktivitas yang tidak bisa dilakukan oleh lelaki/perempuan; misalnya: lelaki tidak bisa melahirkan, sementara perempuan bisa melakukan hampir semua pekerjaan laki-laki...
lelaki dan perempuan punya ruang gerak berbeda dalam peran dan tanggung jawab yang sama--pada dirinya, keluarga dan masyarakat sekitar
tapi.. "hawa diciptakan hanya untuk teman hidup adam".. mmmm?
potonya...serreeemm:D
ummi jadi teringat ini, nikk, QS 33:35. IMHO, dengan memahami ayat tadi, terjawab sudah permasalahan 'kesetaraan' gender...tapi, kenyataannya isu ini terus bergulir.
btw, ukhti? surprise!:)
nikk, dpt istilah itu dari buku apa?
-umminya nida-
cieeeee..mmmmmm ;)
Post a Comment
<< Home