Membentangkan Cakrawala.
menerangi dengan pancaran sinar teduhnya yang membulat,
merengkuh segala bentuk kehidupan malam di bawahnya,
namun karena kepenatan rutinitas lalu-lintas di berbagai
persimpangan saraf di dalam otak saya, mencoba mencari
jalur tempuh terdekat kepada kebenaran. Ehm, kedengarannya
melelahkan memang. Yah, setidaknya menjanjikan saya sebuah
'jalur aman' tanpa kena serangan xenophobia.
Alunan album STRYPER dalam winamp versi jebot saya agaknya
mencoba menghadirkan ritme bagi darah saya malam ini
tanpa pamrih, atau dia memang tahu kondite macam apa yang
saya butuhkan ketika sedang mencoba fokus. Ha! yang pasti
saya merasa tidak sendiri malam ini.
Terus terang ada setumpuk permasalahan dengan segala seluk-
beluknya yang menjadi pe-er saya. Dan yang pasti membutuhkan
effort yang sangat berlimpah energi untuk lebih dari sekedar
mendekonstruksinya. Ya! Benar saya pikir itu perlu, seperlu usaha
manusia dalam mencari bentuk eksistensinya. Atau seperti kata
para filosof nan bijak, yang arogan atau tidak, menjadikan filsafat
sebagai media mengaca diri, agar kita tau diri, ketika kita berdiri
sebagai homo homuni socius. Dan inilah makna belantara bagi saya.
Usia saya memang sudah tidak muda lagi (lho, kok merasa tua nih?),
namun perbekalan yang saya ambil dan saya habiskan di sepanjang
perjalanan ini masihlah belum mencukupi, masih terdapat kantong-
kantong air yang kosong untuk segera di isi, karena jika tidak,
saya bakal melemah.
Begini:
Semenjak kehadiran kritisisme (>) dalam rumitnya saraf otak manusia,
kita akhirnya mampu menghadirkan konklusi-konklusi atas persoalan
hidup. Termasuk terlahirnya keingintahuan terhadap hakikat realitas
dengan semua ras budaya di dalamnya yang membuatnya begitu
kompleks. Saya melihatnya sebagai sifat dasar manusia, bahkan
ketika Adam di surga pun.
Hanya saja manusia kadang egois, tak mau melihat keluar,
yang pada akhirnya secara fanatik mengubah haluan mereka
tentang hakikat berbudaya dan bersosial. Ironis? Begitu, kan?
Segudang ideologi yang lahir dari uterus peradaban menghasilkan
individu-individu yang demikian. Ketidakkompromian realitas
(baca=kehidupan) menciptakan fobia-fobia yang kadang
berlanjut ke tahap yang tidak disangka, lebih akut dari yang
terpikir oleh dirinya. Seorang anak mengalami trauma dan menjadi
schizophrenia hanya karena kesaksian dirinya terhadap lingkungan
yang menurut dia kejam! Yang selanjutnya memaksa dirinya untuk
teralienasi, bisa sedikit bisa total. Sebuah kesendirian di dalam
keramaian (ungkapan salah seorang kawan lama saya yang
mengaku "kalah"). Faktor psikologis inilah yang menyulut api
kebencian, walau kadang tampak di luarnya seperti bidadari.
Teringat sebuah kisah fiktif dalam komik MONSTER
karya jenius Urasawa Naoki yang saya baca akhir-akhir ini,
yang menceritakan kehadiran 'monster' dalam diri seorang
anak kecil bernama Johan Liebheart yang pernah mengalami
penyiksaan otak ketika masa-masa pergolakan di Jerman.
(All in all MONSTER is a showcase for Urasawa's ability.
It is an engaging, powerful story that keeps the readers
guessing as to where it will go next, what certain characters
motives are and just how it will all end. You see lives ruined
in this story and you are kept hoping that there is some sort
of redemption for all their loss. If you are after more power
in your stories, then you should probably read this.) >>
Egois dan Egotis. Bagai dua mata pisau yang sama-sama mematikan.
Lalu muncullah xenophobia, sebuah ketakutan akan ancaman
pengaruh dari luar diri manusia, yang bisa memicu pertahanan diri
berlebihan membela pendapat sendiri tanpa peluang menyadari
bahwa pendapat itu salah (Haidar Bagir ibid.).
Kalau yang terjadi demikian, manusia akan saling memusnahkan
satu sama lain, beradu pandang pada sebuah masalah yang
tidak pokok, bukannya menciptakan dialektika ataupun sinergi.
Saling meruntuhkan sehingga menciptakan kemunduran
pemikiran terhadap sebuah solusi (Regressive progressions).
Putus asa? Bisa jadi. Toh buktinya sudah banyak. Kesannya menjadi
asal comot gitu. Maunya menggali lebih dalam malah terjungir
ke lobang bikinan sendiri. Ya modar saja! Pengennya yang instan
melulu, termasuk pendangkalan dalam pemikiran, sehingga
keputusan yang solutif menjadi bersifat superfisial, campur baur
secara acak. Kejawen bisa jadi salah satu bukti.
Maaf, mungkin nadanya terkesan ofensif, padahal iya!
Sekali lagi maaf.
Intinya kegagalan melihat inti permasalahan. Saya pikir demikian.
Falsafah yang dicari, didekonstruksi, lalu ditata ulang adalah
salah satu metode terampuh dalam kotak obat P3K untuk
luka-luka perspektif. Seperti nukilan seorang filosof, bahwa
mempelajari filsafat kita akan selalu menemukan pandangan-
pandangan yang bertentangan, baik dalam Filsafat Barat,
Filsafat Timur, Filsafat Islam, dan setiap jengkal cabangnya.
Biarkan saja hal itu membingungkan Anda, tapi pada akhirnya
akan memberi pelajaran buat manusia agar tidak merasa
benar sendiri, tidak mengaca, dan merasa cepat puas.
Ya! budaya riset yang tidak pernah eksis di pelataran bermain
manusia Indonesia adalah salah satu yang saya rindukan dan
coba wujudkan.
"Mungkinkah... pendidikan kita mengabaikan pendidikan rahsa?...
Dalam bahasa filosof John Henry Newman, yang menaruh minat
besar pada pendidikan, rahsa itu mungkin semacam illative sense,
yaitu bagian intelektualitas manusia yang dapat mengandaikan
adanya kompleksitas suatu objek, dan adanya pelbagai kemungkinan
manusia mengambil sikap terhadap objek tersebut. Illative sense itu
mirip dengan phronesis dari Aristoteles, yakni semacam
kebijaksanaan mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita,
tanpa kehilangan kepastian bahwa kita dapat bicara mengenai
kebenaran. Pendeknya, pendidikan rahsa/illative sense/phronesis itu
akan membuat kita jadi tahu diri." -(Sindhunata)
(sebelumnya, terima kasih kepada karya Prof. Oliver Leaman)
(to be concluded)