Senyum Tuhan di Parahyangan.
Bandung berkabut lagi. Ya, sesuatu yang amat jarang terjadi
dalam sekitar 10 tahun terakhir saat saya pertama kali mulai
merambah kota yang konon diciptakan saat Tuhan tersenyum itu.
Pagi tadi hingga sepertiga hari kelihatannya selimut kabut masih
enggan beranjak di sekitar perbukitan Bandung dan sekitarnya.
Air yang mengambang itu makin terasa sejuknya mengalir pelan
di sela-sela pepohonan di sekitar Lembang. Pemandangan indah
yang baik untuk mengkalibrasi ulang mata saya :).
Sekedar mencari tahu sebabnya, ternyata memang musim
penghujan tahun ini lebih panjang, terutama di area bertopografi
tinggi seperti Bandung dan Taman Nasional Gede-Pangrango.
Walaupun kabut biasanya lebih sering terjadi ketika musim kemarau
karena kondensasi air di udara tidak didukung oleh iklim yang
lembab, munculnya kabut pada musim hujan kali ini memang
suatu yang langka.
Sebetulnya saya (dengan payah) hanya memfokuskan pada
ironi kota Bandung. Pepohonan yang lenyap menambah pekat
kepadatan gas beracun di udara kota ini. Geus teu resep deui,
pokokna Bandung mah. Kabut makin jarang karena
pepohonan tak rimbun lagi. Makin susah bernafas karena polusi.
Sementara ada beberapa spot tertentu yang dianggap
rawan polusi udara di kota kembang itu, yaitu Cicaheum,
Jl. Braga, Jl. Merdeka, Leuwi Panjang, dan Alun-Alun,
yang memiliki kadar timbal (Pb) sekitar 350 mg kubik
per 2.4 - 2.6 mg kubik timbal lebih tinggi dari kawasan
sekitarnya (data tahun 2003). Sebagai acuan, standar WHO
mengenai ambang batas kewajaran polusi adalah 250 mg kubik
per 1 mg kubik timbal.
Kata praktisi lingkungan, keberadaan pohon yang semakin langka
apalagi di kawasan Bandung Utara wajar saja menambah tebal
polusi udara. Lalu apa kabar Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
dan Lahan? Tersebutlah 19 juta pohon reboisasi yang ditanam
tahun 2003 itu dikabarkan mati. Dan yang pasti bakal banyak
terjadi longsor dan banjir. Cekungan Bandung yang sudah sangat
kritis dan pengetatan pengambilan air bawah tanah pertanda
memburuknya cadangan air secara hebat. Pemantik harus tetap
menyala seperti 40.000 pohon yang telah di tanam oleh
Kodim 0609 Bandung minggu kemarin. Ya, menanami lahan yang
gundul adalah salah satu perkara krusial seputar isu ini.
Kontinuitas penanaman pohon harus terus dilakukan
sebanyak dan sesering mungkin di mana dan kapanpun.
Apalagi sekarang Bandung punya fly-over Pasopati yang
katanya mengantisipasi melonjaknya debit kendaraan berplat B
menginvasi Bandung setiap akhir pekan yang menambah
keruwetan jalan. Korelasi bertambahnya kendaraan bermotor
dan jumlah pohon minimal harus seimbang, kalo bisa
justru lebih hijau. Bukan lagi sebatas paradigma dan perdebatan,
dengan dukungan rakyat seharusnya Pemda Bandung
memprioritaskan hal ini. Pemda kota itu jangan sampai
teu baleg deui. Masyarakat Bandung juga harus sadar diri.
Keduanya harus dipaksa untuk peduli. Cukup sudah narasi yang
thought-provoking jika memang kita mampu peduli dan bertindak.
Ada sepenggal lagu berjudul "Bandung" karangan Bimbo
yang merepresentasikan kehijauan bumi priangan ini:
"Bandung, Bandung di lingkung gunung /
tempatku berlindung / sasakala Lutung Kasarung /
lambang budi luhung / Bandung, Bandung di lingkung gunung /
tempatku berlindung / tempatku di utara Bandung /
Tangkuban Parahu."
Saya harap (aduh, lagi-lagi cuman bisa berharap)
ini bisa berlangsung progresif, sehingga mampu
mengembalikan iklim Bandung yang sesungguhnya.
Tanpa kabut, Bandung tak bisa lebih indah ternyata.
---
" God gives every bird its food,
but He does not throw it into its nest."
- J.G. Holland.
dalam sekitar 10 tahun terakhir saat saya pertama kali mulai
merambah kota yang konon diciptakan saat Tuhan tersenyum itu.
Pagi tadi hingga sepertiga hari kelihatannya selimut kabut masih
enggan beranjak di sekitar perbukitan Bandung dan sekitarnya.
Air yang mengambang itu makin terasa sejuknya mengalir pelan
di sela-sela pepohonan di sekitar Lembang. Pemandangan indah
yang baik untuk mengkalibrasi ulang mata saya :).
Sekedar mencari tahu sebabnya, ternyata memang musim
penghujan tahun ini lebih panjang, terutama di area bertopografi
tinggi seperti Bandung dan Taman Nasional Gede-Pangrango.
Walaupun kabut biasanya lebih sering terjadi ketika musim kemarau
karena kondensasi air di udara tidak didukung oleh iklim yang
lembab, munculnya kabut pada musim hujan kali ini memang
suatu yang langka.
Sebetulnya saya (dengan payah) hanya memfokuskan pada
ironi kota Bandung. Pepohonan yang lenyap menambah pekat
kepadatan gas beracun di udara kota ini. Geus teu resep deui,
pokokna Bandung mah. Kabut makin jarang karena
pepohonan tak rimbun lagi. Makin susah bernafas karena polusi.
Sementara ada beberapa spot tertentu yang dianggap
rawan polusi udara di kota kembang itu, yaitu Cicaheum,
Jl. Braga, Jl. Merdeka, Leuwi Panjang, dan Alun-Alun,
yang memiliki kadar timbal (Pb) sekitar 350 mg kubik
per 2.4 - 2.6 mg kubik timbal lebih tinggi dari kawasan
sekitarnya (data tahun 2003). Sebagai acuan, standar WHO
mengenai ambang batas kewajaran polusi adalah 250 mg kubik
per 1 mg kubik timbal.
Kata praktisi lingkungan, keberadaan pohon yang semakin langka
apalagi di kawasan Bandung Utara wajar saja menambah tebal
polusi udara. Lalu apa kabar Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
dan Lahan? Tersebutlah 19 juta pohon reboisasi yang ditanam
tahun 2003 itu dikabarkan mati. Dan yang pasti bakal banyak
terjadi longsor dan banjir. Cekungan Bandung yang sudah sangat
kritis dan pengetatan pengambilan air bawah tanah pertanda
memburuknya cadangan air secara hebat. Pemantik harus tetap
menyala seperti 40.000 pohon yang telah di tanam oleh
Kodim 0609 Bandung minggu kemarin. Ya, menanami lahan yang
gundul adalah salah satu perkara krusial seputar isu ini.
Kontinuitas penanaman pohon harus terus dilakukan
sebanyak dan sesering mungkin di mana dan kapanpun.
Apalagi sekarang Bandung punya fly-over Pasopati yang
katanya mengantisipasi melonjaknya debit kendaraan berplat B
menginvasi Bandung setiap akhir pekan yang menambah
keruwetan jalan. Korelasi bertambahnya kendaraan bermotor
dan jumlah pohon minimal harus seimbang, kalo bisa
justru lebih hijau. Bukan lagi sebatas paradigma dan perdebatan,
dengan dukungan rakyat seharusnya Pemda Bandung
memprioritaskan hal ini. Pemda kota itu jangan sampai
teu baleg deui. Masyarakat Bandung juga harus sadar diri.
Keduanya harus dipaksa untuk peduli. Cukup sudah narasi yang
thought-provoking jika memang kita mampu peduli dan bertindak.
Ada sepenggal lagu berjudul "Bandung" karangan Bimbo
yang merepresentasikan kehijauan bumi priangan ini:
"Bandung, Bandung di lingkung gunung /
tempatku berlindung / sasakala Lutung Kasarung /
lambang budi luhung / Bandung, Bandung di lingkung gunung /
tempatku berlindung / tempatku di utara Bandung /
Tangkuban Parahu."
Saya harap (aduh, lagi-lagi cuman bisa berharap)
ini bisa berlangsung progresif, sehingga mampu
mengembalikan iklim Bandung yang sesungguhnya.
Tanpa kabut, Bandung tak bisa lebih indah ternyata.
---
" God gives every bird its food,
but He does not throw it into its nest."
- J.G. Holland.
5 Thoughts You Share:
alam dan seisinya -termasuk juga kicauan burung- punya cara sendiri untuk menjaga harmoni. tangan manusialah yg merusaknya :(
Ar-ruum:41, nyata sekali firmanNya ya, nikk? (engga pakai "Pak" lagi manggilnya, engga apa2 ya?)
Btw, "merambah kota yang konon diciptakan saat Tuhan tersenyum itu."<--baca dibuku apa niy?
-umm nida-
Mari Ummi (dan Nida),
mari mengharap rahmat-Nya
sebelum datang murka-Nya.
"Turmiota tapahtuu sekä maalla että merellä ihmiskätten työnä, jotta Hän voisi antaa ihmisten maistaa tekojensa seurauksia, niin että he tekisivät kääntymyksen."
(Ar-Ruum:41)
... dalam bahasa Finlandia :)
kok foto bawah jembatannya keliatan familiar bgt ya? Nginep di tempat Yudi,nikk?
butul skali Bert!,
tuh kosan Yudi yg bercat putih,
dan dia lagi narik becak tuh... hueheue
Post a Comment
<< Home