Rock n' Roll yang Menyublim.
Punten nyak, sebelumnya minta maaf dikarenakan semangat saya
yang terlampau meluap dalam menulis 2 postingan terakhir ini...
sebab jantung saya lagi berdegup sangat cepat sehabis olahraga
berat akhir-akhir ini. Jadi maklum saja. :P... (aduh, sounds like
ngeles niye...).
Kali ini timbul dari kunjungan saya ke HRC di Plasa EX Jakarta.
Kunjungan yang saya lakukan secara terpaksa ke tempat-tempat
seperti ini hanya karena kepentingan tempat saya bekerja. Bah!
Hard Rock Cafe atau HRC, salah satu warung modern tematis yang
dengan segala konsep isinya meyakinkan dunia, seharusnya adalah
proyek yang mengatasnamakan sebuah genre musik yaitu hard rock.
Memang, segala isi interiornya bertemakan memorabilia genre ini.
Mulai dari gitar legendaris musisi rock hingga collectibles-nya yang
sebenarnnya cool dan akan tampak bisa dibanggakan bagi
pemakainya yang berjiwa pure rock. Tapi entahlah, kok sepertinya
terjadi deviasi yang cukup lebar, bahkan jauh dari jalan aslinya.
Seharusnya mereka menampilkan musik sesuai dengan bandrol
hard rock yang mereka usung, ini malah genre lain seperti R&B
atau sejenisnya yang disetel pada setiap malam (siang saya gak tau,
mungkin dipakai buat lapangan badminton RT setempat kali :P);
sangat berbeda dengan semangat hard rock.
Saya tidak bicara mengenai reproduksi imaji seperti konsep dari
Pakde Umberto Eco tentang neurosis rekonstruksi terhadap
otentisitas--walau sedikit banyak berkorelasi, karena memang
pada dasarnya memorabilia di sana kebanyakan merupakan
barang asli yang pernah digunakan.
Saya melihatnya, justru citra HRC merupakan media marketing
yang efektif penyebaran hal-hal lain di luar warna hard rock.
Semacam kepentingan yang kurang ajar kalo boleh dibilang.
Oportunis sekali, bukan?
Implikasinya apa?
Lebih jauh, kalo mau dirunut, konsep warung ini bahkan
seharusnya bisa mengembangkan khasanah per-hard rock-an
dunia, memperkaya sekaligus mempopulerkan secara bagus,
mengimprovisasi secara terbuka, bukannya justru menggerus
dan menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali lain.
Anggota kontrakan baru bernama R&B dan sejenisnya malah
mengambil alih peran di dalamnya.
Kenapa gak ganti nama saja? Mungkin dulu tahun 1971 ketika
dibuka pertama kali di London sebelum menjadi sekitar
108 franchise di 41 negara saat ini, mempunyai misi memajukan
musik hard rock dengan sentuhan makanan ala Amerika, dan
komintmen usaha kemanusiaan, seperti membantu para pekerja
yang membersihkan puing-puing tragedi WTC.
Dan memang benar, tercatat beberapa musisi rock papan atas
pernah berjaya di panggung warung ini seperti Pantera,
Godsmack, Sugar Ray, Erykah Badu, The Go Go's.
Juga dibalut dengan program pesta (party) untuk sebuah
perayaan tertentu, ya dengan musik rock tentunya, sesuai dengan
misinya: delicious food, awesome music, a high-energy atmosphere
and creating a rock 'n roll experience their guests will never forget.
Nah lo! Itu yang terjadi di HRC di luar sana, beda lagi ama HRC sini,
atau di beberapa negara. (www.hardrock.com)
Adalah salah ketika picik di depan dunia rock.
Sekali lagi untuk HRC Indonesia, kemungkinan mengganti jenis
musiknya bertautan dengan psikologis manusia sini. Dengan
semena-menanya pengelola sini mungkin berpikiran bahwa
musik rock akan membawa dampak buruk, terjadi anarki dan
kekerasan, mabuk-mabukan, suasana menjadi liar di dalam
ruangan HRC. Sedangkan beat-beat R&B dan hiphop dianggap
bisa meredam semua kenegatifan itu dan dianggap up-to-date.
Berkedok universalitas musik? Yang benar saja, oom....
What a smart-ass!!! Harusnya mereka lebih banyak belajar
memahami dunia rock, jika memang mereka bekerja di sana.
Sekali lagi, ini potret lusuh kebanalan masyarakat kita.
HRC memang sebuah panggung hiburan saja, namun bukan
konsolasi yang saya harapkan berperan sebagaimana mestinya.
Di sini ada kata 'SEHARUSNYA' yang mempunyai konsekuensi
bernilai mahal. Sepertinya agak memberatkan, namun usaha
mengembalikan peran kata ini tampaknya tidak bisa bergeming
melawan agen pengelola HRC di beberapa outletnya
untuk menambah porsi genre musik hard rock di warung ini.
Saya juga kurang tahu apakah memang disesuaikan dengan
budaya setempat atau gimana (lho, kok bertentangan dengan
semangat homogenitas globalisasi? piye iki?). Maaf saja,
saya kurang info. Namanya saja sok tau, lagi emosi pulak, dan
nampaknya saya tidak berselera dengannya...:P
Ada yang mau nambahin?
yang terlampau meluap dalam menulis 2 postingan terakhir ini...
sebab jantung saya lagi berdegup sangat cepat sehabis olahraga
berat akhir-akhir ini. Jadi maklum saja. :P... (aduh, sounds like
ngeles niye...).
Kali ini timbul dari kunjungan saya ke HRC di Plasa EX Jakarta.
Kunjungan yang saya lakukan secara terpaksa ke tempat-tempat
seperti ini hanya karena kepentingan tempat saya bekerja. Bah!
Hard Rock Cafe atau HRC, salah satu warung modern tematis yang
dengan segala konsep isinya meyakinkan dunia, seharusnya adalah
proyek yang mengatasnamakan sebuah genre musik yaitu hard rock.
Memang, segala isi interiornya bertemakan memorabilia genre ini.
Mulai dari gitar legendaris musisi rock hingga collectibles-nya yang
sebenarnnya cool dan akan tampak bisa dibanggakan bagi
pemakainya yang berjiwa pure rock. Tapi entahlah, kok sepertinya
terjadi deviasi yang cukup lebar, bahkan jauh dari jalan aslinya.
Seharusnya mereka menampilkan musik sesuai dengan bandrol
hard rock yang mereka usung, ini malah genre lain seperti R&B
atau sejenisnya yang disetel pada setiap malam (siang saya gak tau,
mungkin dipakai buat lapangan badminton RT setempat kali :P);
sangat berbeda dengan semangat hard rock.
Saya tidak bicara mengenai reproduksi imaji seperti konsep dari
Pakde Umberto Eco tentang neurosis rekonstruksi terhadap
otentisitas--walau sedikit banyak berkorelasi, karena memang
pada dasarnya memorabilia di sana kebanyakan merupakan
barang asli yang pernah digunakan.
Saya melihatnya, justru citra HRC merupakan media marketing
yang efektif penyebaran hal-hal lain di luar warna hard rock.
Semacam kepentingan yang kurang ajar kalo boleh dibilang.
Oportunis sekali, bukan?
Implikasinya apa?
Lebih jauh, kalo mau dirunut, konsep warung ini bahkan
seharusnya bisa mengembangkan khasanah per-hard rock-an
dunia, memperkaya sekaligus mempopulerkan secara bagus,
mengimprovisasi secara terbuka, bukannya justru menggerus
dan menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali lain.
Anggota kontrakan baru bernama R&B dan sejenisnya malah
mengambil alih peran di dalamnya.
Kenapa gak ganti nama saja? Mungkin dulu tahun 1971 ketika
dibuka pertama kali di London sebelum menjadi sekitar
108 franchise di 41 negara saat ini, mempunyai misi memajukan
musik hard rock dengan sentuhan makanan ala Amerika, dan
komintmen usaha kemanusiaan, seperti membantu para pekerja
yang membersihkan puing-puing tragedi WTC.
Dan memang benar, tercatat beberapa musisi rock papan atas
pernah berjaya di panggung warung ini seperti Pantera,
Godsmack, Sugar Ray, Erykah Badu, The Go Go's.
Juga dibalut dengan program pesta (party) untuk sebuah
perayaan tertentu, ya dengan musik rock tentunya, sesuai dengan
misinya: delicious food, awesome music, a high-energy atmosphere
and creating a rock 'n roll experience their guests will never forget.
Nah lo! Itu yang terjadi di HRC di luar sana, beda lagi ama HRC sini,
atau di beberapa negara. (www.hardrock.com)
Adalah salah ketika picik di depan dunia rock.
Sekali lagi untuk HRC Indonesia, kemungkinan mengganti jenis
musiknya bertautan dengan psikologis manusia sini. Dengan
semena-menanya pengelola sini mungkin berpikiran bahwa
musik rock akan membawa dampak buruk, terjadi anarki dan
kekerasan, mabuk-mabukan, suasana menjadi liar di dalam
ruangan HRC. Sedangkan beat-beat R&B dan hiphop dianggap
bisa meredam semua kenegatifan itu dan dianggap up-to-date.
Berkedok universalitas musik? Yang benar saja, oom....
What a smart-ass!!! Harusnya mereka lebih banyak belajar
memahami dunia rock, jika memang mereka bekerja di sana.
Sekali lagi, ini potret lusuh kebanalan masyarakat kita.
HRC memang sebuah panggung hiburan saja, namun bukan
konsolasi yang saya harapkan berperan sebagaimana mestinya.
Di sini ada kata 'SEHARUSNYA' yang mempunyai konsekuensi
bernilai mahal. Sepertinya agak memberatkan, namun usaha
mengembalikan peran kata ini tampaknya tidak bisa bergeming
melawan agen pengelola HRC di beberapa outletnya
untuk menambah porsi genre musik hard rock di warung ini.
Saya juga kurang tahu apakah memang disesuaikan dengan
budaya setempat atau gimana (lho, kok bertentangan dengan
semangat homogenitas globalisasi? piye iki?). Maaf saja,
saya kurang info. Namanya saja sok tau, lagi emosi pulak, dan
nampaknya saya tidak berselera dengannya...:P
Ada yang mau nambahin?
3 Thoughts You Share:
Hihihi... sepertinya memang sedang terjadi sesuatu di luar sana, yang sepertinya juga di luar otoritas saya, walupun dulu saya juga pernah berniaga dan menerapkan semua prinsip2nya tak terkecuali kecap-mengecap silat lidah licin bagai ular berbisa... hingga saya sadar kalo itu semua saya gak bisa teruskan karena sesuatu dan lain hal.
Ya begitulah Mbah, jika semuanya menjadi komoditi, saya paham sekali kondisinya (dan Mbah Kere juga pasti lebih mengerti dari saya).
Kalo urusan kaos, saya juga punya yang bergambar jeep, tapi saya malah suka naik motor. Ada juga visual grup metal, tapi kok justru sering dengerin Rico J. Puno atau Michael Learns to Rock dan Frank Sinatra... hihaihaaa... dasar mentalitas!
Cuman ya itu... saya belum bisa mengerti benar strategi dunia baru mengenai hal ini.
wooow isi blog nya nikk tidak seperti nikk yang saya kenal... serius amat ya pak... hihihihi
ummi banyak dapat vocab baru setiap bc blog ini. apa artinya dreddzeist, kebanalan, fetishisme, infinitus?
-umm nida-
Post a Comment
<< Home