Hanya Ada Pseudo-Materialisme.
Materialisme memang hanya sebatas ideologi.
Secara epistemologis beliau juga masih dalam batas wajar
merangkul pemikiran dan dialektika tradisi sosial.
Bahkan tak menampik pula kedekatannya dengan teman sejawat
berjuluk kapitalisme, dan tentunya hedonisme.
Barang atau kemungkinan bentuk rupa yang kita miliki
entah itu anugerah atau hasil warisan atau akumulasi keringat
kerja keras kita dari nol (atau instan?), akan sangat berarti bagi
sebagian kita. Sebagian besar dari kita pulalah banyak yang
merasa aman ketika ada di tengah-tengah tumpukan pundi-pundi
kekayaan.
Acapkali komersialisme bersinggungan dengan status.
Semisal di negara miskin dan berkembang yang banyak merelakan
kepentingan primer untuk sekedar menaruh perhatian yang berlebihan
pada kebutuhan ke sekian dari hidup. Itu memang terserah mereka
karena mereka memang (sok) yang punya uang,
yang kepadanya tak jarang yang sudi menghamba (money-driven)
Pernah reuni kan? Sekumpulan teman lama berkumpul bersama lagi,
memanfaatkan momentum untuk saling tertawa dan romantisme.
Mungkin juga teman kita merasa kita sudah mapan dan bisa bergaul
dengan banyak kalangan. Sebuah potret yang sama sekali berbeda
ketika melihat seorang kawan kita tertunduk dan mencoba
menghindari pembicaraan antar teman saat reuni berlangsung,
hanya karena dia merasa belum sesukses kita. Sebuah nilai hedonis
menyeruak bahkan dalam kondisi se enteng apapun.
Menyesatkan sekali.
Lebih fatal lagi, kita sering menafsirkan seseorang hidup
dalam keadaan kaya atau miskin berdasar pada interpretasi belaka,
bukan seperti yang dirasakan oleh bersangkutan.
Anak yang pintar akan lebih sukses dari yang bodoh kelak.
Kita mungkin sekali terkecoh dengan pandangan sendiri.
Seperti saya yang maunya merelevansikan segala sesuatunya
ke dalam setiap detil kehidupan (hey, mungkinkah?),
pengalaman untuk mendekonstruksi arti 'kaya' pada ujungnya
tidak mengartikan kaya sebagai sisi materialisme apalagi hedonisme.
Namun lebih ke arah seberapa besar manfaat harta tersebut
bermanfaat bagi kita dan orang lain. Sebut saja seperti
saat si Y meminjamkan cangkul kepada Z untuk membantu Z
menanam jagung di sepetak lahan kepunyaan Z.
Namun bila cangkul yang Y pinjamkan ternyata sudah keropos,
tentu sangat tidak membantu, bahkan bisa memunculkan persepsi
negatif terhadap si Y. Keduanya sama-sama rugi, katakanlah begitu.
Kekayaan setumpuk Rp. 18,6 triliun milik Putera Sampoerna
juga akan lebih baik dibagi-bagikan ke orang-orang seperti saya
buat bikin kampanye anti-rokok, :)
Kaya memang lebih mengacu pada "nilai" yang melekat pada diri
setiap orang.
Maka berlaku cukup dalam semua hal saya pikir itu yang terbaik.
Cukup ada ketika kita butuh, sehingga segala sesuatunya tidak
menjadi berlebihan. Jadi ada semacam state-of-mind yang
harus dibenahi; berpikir realistis dengan kondisi sekarang,
menentukan target secara proporsional, jangan merasa kurang,
dan usahakan bahagiakan diri sendiri terlebih untuk orang lain.
(Cukup ada Hummer ketika saya musti off-road bersama kekasih
melintasi gurun Moab yang bergerigi... hehehe gak ding ;)
(terinspirasi tulisan Elvyn G Masassya di Kompas kemaren)
Secara epistemologis beliau juga masih dalam batas wajar
merangkul pemikiran dan dialektika tradisi sosial.
Bahkan tak menampik pula kedekatannya dengan teman sejawat
berjuluk kapitalisme, dan tentunya hedonisme.
Barang atau kemungkinan bentuk rupa yang kita miliki
entah itu anugerah atau hasil warisan atau akumulasi keringat
kerja keras kita dari nol (atau instan?), akan sangat berarti bagi
sebagian kita. Sebagian besar dari kita pulalah banyak yang
merasa aman ketika ada di tengah-tengah tumpukan pundi-pundi
kekayaan.
Acapkali komersialisme bersinggungan dengan status.
Semisal di negara miskin dan berkembang yang banyak merelakan
kepentingan primer untuk sekedar menaruh perhatian yang berlebihan
pada kebutuhan ke sekian dari hidup. Itu memang terserah mereka
karena mereka memang (sok) yang punya uang,
yang kepadanya tak jarang yang sudi menghamba (money-driven)
Pernah reuni kan? Sekumpulan teman lama berkumpul bersama lagi,
memanfaatkan momentum untuk saling tertawa dan romantisme.
Mungkin juga teman kita merasa kita sudah mapan dan bisa bergaul
dengan banyak kalangan. Sebuah potret yang sama sekali berbeda
ketika melihat seorang kawan kita tertunduk dan mencoba
menghindari pembicaraan antar teman saat reuni berlangsung,
hanya karena dia merasa belum sesukses kita. Sebuah nilai hedonis
menyeruak bahkan dalam kondisi se enteng apapun.
Menyesatkan sekali.
Lebih fatal lagi, kita sering menafsirkan seseorang hidup
dalam keadaan kaya atau miskin berdasar pada interpretasi belaka,
bukan seperti yang dirasakan oleh bersangkutan.
Anak yang pintar akan lebih sukses dari yang bodoh kelak.
Kita mungkin sekali terkecoh dengan pandangan sendiri.
Seperti saya yang maunya merelevansikan segala sesuatunya
ke dalam setiap detil kehidupan (hey, mungkinkah?),
pengalaman untuk mendekonstruksi arti 'kaya' pada ujungnya
tidak mengartikan kaya sebagai sisi materialisme apalagi hedonisme.
Namun lebih ke arah seberapa besar manfaat harta tersebut
bermanfaat bagi kita dan orang lain. Sebut saja seperti
saat si Y meminjamkan cangkul kepada Z untuk membantu Z
menanam jagung di sepetak lahan kepunyaan Z.
Namun bila cangkul yang Y pinjamkan ternyata sudah keropos,
tentu sangat tidak membantu, bahkan bisa memunculkan persepsi
negatif terhadap si Y. Keduanya sama-sama rugi, katakanlah begitu.
Kekayaan setumpuk Rp. 18,6 triliun milik Putera Sampoerna
juga akan lebih baik dibagi-bagikan ke orang-orang seperti saya
buat bikin kampanye anti-rokok, :)
Kaya memang lebih mengacu pada "nilai" yang melekat pada diri
setiap orang.
Maka berlaku cukup dalam semua hal saya pikir itu yang terbaik.
Cukup ada ketika kita butuh, sehingga segala sesuatunya tidak
menjadi berlebihan. Jadi ada semacam state-of-mind yang
harus dibenahi; berpikir realistis dengan kondisi sekarang,
menentukan target secara proporsional, jangan merasa kurang,
dan usahakan bahagiakan diri sendiri terlebih untuk orang lain.
(Cukup ada Hummer ketika saya musti off-road bersama kekasih
melintasi gurun Moab yang bergerigi... hehehe gak ding ;)
(terinspirasi tulisan Elvyn G Masassya di Kompas kemaren)
3 Thoughts You Share:
edan euy bos nikk... berat...
hayaahhhhh ... tidur di kardussssss ..nangisss nangisss
Gak juga Sil, kekurangajaran saya mengkritik siapa yang kaya mana yang miskin tidak berdasar pada statistik kemakmuran negara ini. Dan hanya di negara ini saja saya mengambil sampel kekurangajaran pola pikir. Jadi ya maaf saja, memang Yud... berkoar-koar tentang kekayaan kadang tidak berimbang dengan fakta keinginan yang tiada batas ini.
Post a Comment
<< Home