Membentangkan Cakrawala 2
Sesekali saya mencoba berhadapan dengan keberhasilan, dimana
saya merasa nyaman 100%. Sebuah pencapaian dari kepayahan,
dengan bayaran kerja pikiran dengan segenap konsentrasinya yang
luarbiasa... terhadap sesuatu yang SEMU? Ndak juga.
Semestinya saya bisa merasakan kehadiran apa yang hakiki,
yang seringkali ditemukan di dalam relung-relung terowongan cacing
di belantara kenisbian. Mungkin sulit sekali dikatakan, bahwa
penemuan yang hakiki tadi berhasil saya ambil dengan cara yang
luar biasa melelahkan. Sembari terpaksa berjalan di dalam rimba
yang tiba-tiba ada mengelilingi saya, menutupi kehadiran saya,
bahkan sejak kali pertama saya menghirup apa yang dinamakan
sebagai udara.
Terus bergulat memang demikian. Lahir kemudian tumbuh, lalu
mengalami transformasi dari sekedar fisik (tubuh ini, daging ini)
mengarah ke psikologis-spiritual. Bukan cuma saya tentunya.
Siapapun telah terlahir dalam rahim kefanaan realitas.
Muncul dalam kondisi yang lemah. Minoritas. Sesekali buta.
Saya menyebutnya rimba. Dan seperti halnya belantara,
di dalamnya jelas mengandung anggota yang mensyaratkan
terjadinya rimba. Seperti pepohonan, rimba ini pun mempunyai
tiang-tiang nan kokoh berupa ideologi-budaya, sekaligus
mewujudkan fondasi multirealitas rimba itu. Jika mau berjalan
lebih ke dalam akan ditemukan kanopi-kanopi yang terbentuk
dari pohon-pohon yang berjenis rimbun dan lebat, menaungi
kelompok-kelompok kecil bernama gaya hidup. Tak jarang pula
di dalamnya berjuta-juta helai ilalang menciptakan semak belukar
tempat bercokol 'ular-ular' yang mematikan. Barbarisme level bawah.
Batu-batuannya terselimuti lumut yang sering membuat terpeleset
manusia-manusia yang kuat pikir kuat rasa. Serta sungai-sungainya
berbuih panas, racun yang menggelegak, menggerojok sangat deras.
Jika mau menjauh sedikit untuk melihat lebih luas, bisa disaksikan
terbentuknya cluster-cluster pembentuk mainstream budaya.
Ada sistem pencaplokan terselubung. Ada juga kegairahan purba
semacam pembunuhan dan pemerkosaan paling biadab.
Pembantaian di sana-sini. Saling gasak. Yang bermodal kuat
akan selalu mendominasi mengintimidasi. Primordialisme! Aha!
Bisa jadi binatang-binatang penghuni rimba ini ada yang obviously
100% terlahir cacat pikir cacat rasa, tumbuh besar menjadi
binatang yang sesungguhnya. Monster kah? Mungkin sekali.
Dan yang mayoritas terlahir bersih, tumbuh berkembang setingkat
dengan binatang-binatang itu. Saya kadang berpikir, dari mana
binatang-binatang tersebut belajar mempengaruhi manusia ya?
Tergiur akan kemulusan, mengkilapnya, kesempurnaan 'barang' yang
disodorkan, tak kuasa membendung liur yang menetes dari otak
dan hati manusia. Jubah kengerianpun dilepas. Telanjang. Rapuh.
Semu? Hampir semuanya!
Sedemikian hingga apabila kita mencoba keluar dari rimba tadi
dengan terpaksa sekali saya katakan mustahil. Mengapa?
Sebab lubang-lubang 'kemurnian yang seutuhnya' sudah disumbat.
Tertelan Bumi dan memaksanya hidup dalam kegelapan,
di bawah belukar rumput liar, terinjak-injak akar pohon ideologi.
Mana mampu membendungnya, ketika manusia yang banyak
berevolusi menjadi hewan (bahkan buas) tadi telah malas untuk
sering-sering turun ke Bumi. Membumi.
Ini hutan bisa-bisa isinya setan semua. SETAN!
Yang ada hanya proses pengkerdilan serta artifisialisme, yakni
gemerlap permukaan. Kulit yang meradang. Penampilan palsu.
Kostum yang memabukkan. Kelewat batas! Intensitas tinggi!
Di sana, wilayah tidak lagi mendahului peta, tidak juga
mempertahankannya. Mulai kini, adalah peta yang mendahului
wilayah (precession of simulacra)!
"Simulakrum bukanlah tiruan yang berderajat rendah.
Ia memiliki kekuatan positif dengan menolak yang asli dan
yang tiruan, model, dan reproduksi. Simulasi adalah alam khayal
itu sendiri, yaitu efek dari befungsinya simulakrum sebagai
sebuah mesin--mesin Dionysus. Ia melibatkan yang palsu
sebagai kekuatan, yakni kekuatan Pseudos.
(Gilles Deleuze; The Logic of Sense; 1990 hal. 263)
Dan keberhasilan yang saya nikmati tadi jarang sekali berpijak
pada hakiki. Yang murni dari melihat kepingan kebenaran.
Ya! (sekali lagi) terpaksa hidup dalam rimba kehampaan.
HORROR VACUI. Lantas, Anda demikian kah? Serapuh saya?
Atau, justru jauh lebih rapuh? Meremah? Jadi santapan empuk dong!
Keterpaksaan yang terus menjejal tersebut bagi saya
begitu menakutkan. Sepertinya kesalahan yang diwujudkan terus
menerus akan menjadi sebuah kebenaran...
---
Di atas tadi intermezzo saja. Lupakan, dan anggap tak pernah
Anda baca (atau malah dipahami? ya silakan saja). Lagipula
juga sering dibahas oleh banyak orang. Basi? Nggak tuh!
Mending cari jalan keluar, bisa dengan ke puncak pohon yang
paling tinggi untuk melihat horizon yang lebih luas.
Bisa juga jalan-jalan lebih masuk ke dalam rimba,
menemukan sesuatu yang berguna buat suplai bahan bakar
otak dan jiwa.
Karena globalisasi (>>) telah berurat akar. Terlebih lagi
gaya hidup posmodern sudah hinggap dan menetap di dalam
tempurung kepala, mengganti warna darah menjadi hitam dan
substansi oksigen dengan amoniak.
Udah gitu, kita suka makan racun tikus pula :D
"What is postmodern culture? Postmodern culture is the blurring
of lines between what is real and what is simulated,
it the ever increasing intextuality of our lives -
the inextricable binding of the media, mass culture and daily life.
In postmodern society there is "an incredulity towards
meta narratives" (Lyotard 2004) "and truth is what we invent,
not what we discover" (Spender 2004). Postmodern culture is
present in every Westernised society, its relevance is global;
American society and culture provide excellent examples of
the extent to which postmodern culture exists but it is not alone
in postmodernity."
(Post-Modern Outside America; 2004)
Saya tidak mau bermalas-malasan menghadapi kemunduran ini.
Mungkin bisa saja kita kolektif membangun jaringan alternatif
untuk mengoyak jubah tatanan dunia baru itu. Kalo hanya
sekedar mencari selamat sendiri, tidak mungkin kuat.
Harus kolektif. Harus agresif. Fight Fire With Fire! hahaha....
Apa mau dikata, membentangkan cakrawala pengetahuan
sangat sulit diwujudkan. Ibarat kapas, jika terlalu tua atau
prematur, akan mudah terhembus angin, tercabut dari kelopak
induknya. Menjejak kuat ke tanah sembari melihat ke segala arah
mungkin hanya milik manusia-manusia yang beruntung. Ya,
saya katakan demikian karena mereka mampu melongok hidupnya
dalam tataran tinggi, sangat kaya dengan pengalaman,
fisik maupun filosofis dan spiritual. Mereka benar-benar merindukan
kebenaran yang seringkali sangat sulit didapatkan, walau dengan
mengais 'kebenaran-kebenaran' dari pohon-pohon ideologi tadi.
Budaya dan dogma begitu pula. Manusia-manusia beruntung itu
menasehati bahwa kebenaran itu bukan permasalahan dogma,
tapi permasalahan perluasan wawasan tanpa henti.
Perbekalan utamanya tidak cukup dengan sebilah pedang
bernama filsafat saja tentunya, walaupun hipotesis filsafat itu
bersifat abadi. Pengalaman dari 'pertengkaran' filosofis sepanjang
sejarah manusia pun bisa dijadikan rujukan.
Jika wilayah realitas murni memang lebih luas dari wilayah filsafat,
Saya pikir menjadi kreatif-eklektik-kritis adalah pondasi kuat
mewujudkan dehiperealitas!, sebuah kondisi pemurnian realitas
dari efek-efek representasi yang berlebihan, superlatif, ekstrim,
dan melampaui, sehingga tercipta hubungan yang lebih simetris
antara representasi dan realitas murni.
Saya tetap terus menelusuri jejak realitas murni itu, mencoba
menemukannya. Semoga mampu sebelum saya mati.
---
(saya merasa rindu untuk jalan-jalan ke perbukitan dan pedalaman
lagi sepertinya. Ngidam hangatnya menikmati kopi di lereng gunung
di pagi hari, ngida ngisep kreteknya juga. Namun, sekali lagi
saya terikat waktu! Gila! berani-beraninya waktu melakukan hal itu
pada saya!)
---
"Nature reacts not only to physical disease,
but also to moral weakness;
when the danger increases,
she gives us greater courage."
-Johann Wolfgang von Goethe
saya merasa nyaman 100%. Sebuah pencapaian dari kepayahan,
dengan bayaran kerja pikiran dengan segenap konsentrasinya yang
luarbiasa... terhadap sesuatu yang SEMU? Ndak juga.
Semestinya saya bisa merasakan kehadiran apa yang hakiki,
yang seringkali ditemukan di dalam relung-relung terowongan cacing
di belantara kenisbian. Mungkin sulit sekali dikatakan, bahwa
penemuan yang hakiki tadi berhasil saya ambil dengan cara yang
luar biasa melelahkan. Sembari terpaksa berjalan di dalam rimba
yang tiba-tiba ada mengelilingi saya, menutupi kehadiran saya,
bahkan sejak kali pertama saya menghirup apa yang dinamakan
sebagai udara.
Terus bergulat memang demikian. Lahir kemudian tumbuh, lalu
mengalami transformasi dari sekedar fisik (tubuh ini, daging ini)
mengarah ke psikologis-spiritual. Bukan cuma saya tentunya.
Siapapun telah terlahir dalam rahim kefanaan realitas.
Muncul dalam kondisi yang lemah. Minoritas. Sesekali buta.
Saya menyebutnya rimba. Dan seperti halnya belantara,
di dalamnya jelas mengandung anggota yang mensyaratkan
terjadinya rimba. Seperti pepohonan, rimba ini pun mempunyai
tiang-tiang nan kokoh berupa ideologi-budaya, sekaligus
mewujudkan fondasi multirealitas rimba itu. Jika mau berjalan
lebih ke dalam akan ditemukan kanopi-kanopi yang terbentuk
dari pohon-pohon yang berjenis rimbun dan lebat, menaungi
kelompok-kelompok kecil bernama gaya hidup. Tak jarang pula
di dalamnya berjuta-juta helai ilalang menciptakan semak belukar
tempat bercokol 'ular-ular' yang mematikan. Barbarisme level bawah.
Batu-batuannya terselimuti lumut yang sering membuat terpeleset
manusia-manusia yang kuat pikir kuat rasa. Serta sungai-sungainya
berbuih panas, racun yang menggelegak, menggerojok sangat deras.
Jika mau menjauh sedikit untuk melihat lebih luas, bisa disaksikan
terbentuknya cluster-cluster pembentuk mainstream budaya.
Ada sistem pencaplokan terselubung. Ada juga kegairahan purba
semacam pembunuhan dan pemerkosaan paling biadab.
Pembantaian di sana-sini. Saling gasak. Yang bermodal kuat
akan selalu mendominasi mengintimidasi. Primordialisme! Aha!
Bisa jadi binatang-binatang penghuni rimba ini ada yang obviously
100% terlahir cacat pikir cacat rasa, tumbuh besar menjadi
binatang yang sesungguhnya. Monster kah? Mungkin sekali.
Dan yang mayoritas terlahir bersih, tumbuh berkembang setingkat
dengan binatang-binatang itu. Saya kadang berpikir, dari mana
binatang-binatang tersebut belajar mempengaruhi manusia ya?
Tergiur akan kemulusan, mengkilapnya, kesempurnaan 'barang' yang
disodorkan, tak kuasa membendung liur yang menetes dari otak
dan hati manusia. Jubah kengerianpun dilepas. Telanjang. Rapuh.
Semu? Hampir semuanya!
Sedemikian hingga apabila kita mencoba keluar dari rimba tadi
dengan terpaksa sekali saya katakan mustahil. Mengapa?
Sebab lubang-lubang 'kemurnian yang seutuhnya' sudah disumbat.
Tertelan Bumi dan memaksanya hidup dalam kegelapan,
di bawah belukar rumput liar, terinjak-injak akar pohon ideologi.
Mana mampu membendungnya, ketika manusia yang banyak
berevolusi menjadi hewan (bahkan buas) tadi telah malas untuk
sering-sering turun ke Bumi. Membumi.
Ini hutan bisa-bisa isinya setan semua. SETAN!
Yang ada hanya proses pengkerdilan serta artifisialisme, yakni
gemerlap permukaan. Kulit yang meradang. Penampilan palsu.
Kostum yang memabukkan. Kelewat batas! Intensitas tinggi!
Di sana, wilayah tidak lagi mendahului peta, tidak juga
mempertahankannya. Mulai kini, adalah peta yang mendahului
wilayah (precession of simulacra)!
"Simulakrum bukanlah tiruan yang berderajat rendah.
Ia memiliki kekuatan positif dengan menolak yang asli dan
yang tiruan, model, dan reproduksi. Simulasi adalah alam khayal
itu sendiri, yaitu efek dari befungsinya simulakrum sebagai
sebuah mesin--mesin Dionysus. Ia melibatkan yang palsu
sebagai kekuatan, yakni kekuatan Pseudos.
(Gilles Deleuze; The Logic of Sense; 1990 hal. 263)
Dan keberhasilan yang saya nikmati tadi jarang sekali berpijak
pada hakiki. Yang murni dari melihat kepingan kebenaran.
Ya! (sekali lagi) terpaksa hidup dalam rimba kehampaan.
HORROR VACUI. Lantas, Anda demikian kah? Serapuh saya?
Atau, justru jauh lebih rapuh? Meremah? Jadi santapan empuk dong!
Keterpaksaan yang terus menjejal tersebut bagi saya
begitu menakutkan. Sepertinya kesalahan yang diwujudkan terus
menerus akan menjadi sebuah kebenaran...
---
Di atas tadi intermezzo saja. Lupakan, dan anggap tak pernah
Anda baca (atau malah dipahami? ya silakan saja). Lagipula
juga sering dibahas oleh banyak orang. Basi? Nggak tuh!
Mending cari jalan keluar, bisa dengan ke puncak pohon yang
paling tinggi untuk melihat horizon yang lebih luas.
Bisa juga jalan-jalan lebih masuk ke dalam rimba,
menemukan sesuatu yang berguna buat suplai bahan bakar
otak dan jiwa.
Karena globalisasi (>>) telah berurat akar. Terlebih lagi
gaya hidup posmodern sudah hinggap dan menetap di dalam
tempurung kepala, mengganti warna darah menjadi hitam dan
substansi oksigen dengan amoniak.
Udah gitu, kita suka makan racun tikus pula :D
"What is postmodern culture? Postmodern culture is the blurring
of lines between what is real and what is simulated,
it the ever increasing intextuality of our lives -
the inextricable binding of the media, mass culture and daily life.
In postmodern society there is "an incredulity towards
meta narratives" (Lyotard 2004) "and truth is what we invent,
not what we discover" (Spender 2004). Postmodern culture is
present in every Westernised society, its relevance is global;
American society and culture provide excellent examples of
the extent to which postmodern culture exists but it is not alone
in postmodernity."
(Post-Modern Outside America; 2004)
Saya tidak mau bermalas-malasan menghadapi kemunduran ini.
Mungkin bisa saja kita kolektif membangun jaringan alternatif
untuk mengoyak jubah tatanan dunia baru itu. Kalo hanya
sekedar mencari selamat sendiri, tidak mungkin kuat.
Harus kolektif. Harus agresif. Fight Fire With Fire! hahaha....
Apa mau dikata, membentangkan cakrawala pengetahuan
sangat sulit diwujudkan. Ibarat kapas, jika terlalu tua atau
prematur, akan mudah terhembus angin, tercabut dari kelopak
induknya. Menjejak kuat ke tanah sembari melihat ke segala arah
mungkin hanya milik manusia-manusia yang beruntung. Ya,
saya katakan demikian karena mereka mampu melongok hidupnya
dalam tataran tinggi, sangat kaya dengan pengalaman,
fisik maupun filosofis dan spiritual. Mereka benar-benar merindukan
kebenaran yang seringkali sangat sulit didapatkan, walau dengan
mengais 'kebenaran-kebenaran' dari pohon-pohon ideologi tadi.
Budaya dan dogma begitu pula. Manusia-manusia beruntung itu
menasehati bahwa kebenaran itu bukan permasalahan dogma,
tapi permasalahan perluasan wawasan tanpa henti.
Perbekalan utamanya tidak cukup dengan sebilah pedang
bernama filsafat saja tentunya, walaupun hipotesis filsafat itu
bersifat abadi. Pengalaman dari 'pertengkaran' filosofis sepanjang
sejarah manusia pun bisa dijadikan rujukan.
Jika wilayah realitas murni memang lebih luas dari wilayah filsafat,
Saya pikir menjadi kreatif-eklektik-kritis adalah pondasi kuat
mewujudkan dehiperealitas!, sebuah kondisi pemurnian realitas
dari efek-efek representasi yang berlebihan, superlatif, ekstrim,
dan melampaui, sehingga tercipta hubungan yang lebih simetris
antara representasi dan realitas murni.
Saya tetap terus menelusuri jejak realitas murni itu, mencoba
menemukannya. Semoga mampu sebelum saya mati.
---
(saya merasa rindu untuk jalan-jalan ke perbukitan dan pedalaman
lagi sepertinya. Ngidam hangatnya menikmati kopi di lereng gunung
di pagi hari, ngida ngisep kreteknya juga. Namun, sekali lagi
saya terikat waktu! Gila! berani-beraninya waktu melakukan hal itu
pada saya!)
---
"Nature reacts not only to physical disease,
but also to moral weakness;
when the danger increases,
she gives us greater courage."
-Johann Wolfgang von Goethe
0 Thoughts You Share:
Post a Comment
<< Home