Buatlah Kenangan Yang Menyenangkan
Sudah senin lagi rupanya. Kejemuan terasa tanpa bertepi.
Selalu saja ada kengerian di antara optimisme. Peristiwa yang
menjadi makanan sehari-hari sebagai buah simpul rentangan
tali waktu yang berpilin, dirasakan makin rumit. Padahal kemarin
2 hari yang merelaksasi. Kurang cukup, tadi pagi bangun jam 11
siang (pagi apa siang sih? :). Dan sore tadi tempat kerja mendadak
santai sekali karena koneksi internet putus. Aha!
Mari sebentar melongok sejarah (>>). Syahdan, dahulu kala,
waktu bukan menjadi bagian terukur dari alam semesta yang
kita amati. Ide Nicolaus Copernicus (1473-1543) yang
revolusioner tetap saja tidak mengikutsertakan aktor utama kedua
yang bernama waktu. Ketika matahari terbukti menyandang gelar
heliosentris, konsep mengenai waktupun tak pernah tersinggung.
Dianggap ada namun tidak terdefinisi dengan baik (indefinite period).
Kinerja alam semesta memanglah demikian, mewujud atau menjasad
serangkaian silogisme yang mengantar kita dari contoh-contoh
khusus (particular instances) pada kesimpulan-kesimpulan umum
(general conclusions) terhadap peristiwa (event). Baru menjelang
kemajuan sains yang lebih terstruktur pada masa Renaisans di barat,
waktu menjadi tokoh sentral (saya kaitkan konsep waktu adalah
yang terumuskan ini oleh ilmuwan maupun filosof barat, jatah
timur-tengah dan peradaban lain nanti dulu). Dan menjadi inspirasi
bagi para penulis untuk memainkan waktu dengan kaidah liniernya
ataupun mencoba memutarbalikkan peristiwa rekaannya.
"Time was, like space, a conceptual apparatus describing interrelations
between events." (Isaac Newton + Gottfried Wilhelm von Leibniz)
Terus terang saya sendiripun masih bingung dengan hakikat waktu.
Ilmuwan barat yang terkadang melampaui batas juga sudah sekian
ratus tahun mempelajari eksistensinya. Masa demi masa terjadi
perbaikan dan penemuan baru mengenai kesepakatannya. Seorang
astrofisikawan kondang Stephen Hawking (1942-) berpendapat
tentang waktu (A Brief History of Time) sangat terpengaruh
dengan gagasan persepsi ruang-waktu Albert Einstein (1879-1955).
Dan perdebatan sengit (kisah 2 buah kurma) antara ilmuwan sekaligus
filosof muslim Al-Ghazali (1058-1111) dengan filosof Spanyol
Ibn Rusyd (Averroes, 1126-1198) juga teramat penting untuk
dilewatkan begitu saja, mengingat wacana tentang eksistensi Tuhan
(sekali lagi saya mengambil sudut pandang Barat) juga adalah bagian
dari pembahasan dunia filsafat.
(Einstein said, "Put your hand on a hot stove for a minute,
and it seems like an hour. Sit with a pretty girl for an hour,
and it seems like a minute. That's relativity.".)
Begitulah konsep dalam sains. Dan akan berbeda ketika filsafat
memaknainya. Filsafat bertanya, apakah waktu itu absolut atau
semata-mata relasional? Pernyataan demikian membatasi kita
dengan hakikat alam (baca=dimensi ruang), dimana pada hakikatnya
alam merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam waktu.
Katakanlah waktu adalah wadah (the container of events).
Dan karena alam bersifat fana, demikian juga waktu. Jadi,
kemungkinan besar waktu (time itself) tidak akan bisa terukur, namun
dia teramati dalam sistem pengukuran yang menjelaskan peristiwa.
Terkadang saya juga heran dengan kesepakatan (semoga sementara)
para ilmuwan mengenai konsep jarak-waktu dalam mengamati
fluktuasi alam semesta. Misalkan bagaimana mungkin sebuah galaksi
yang paling jauh (katakanlah yang terakhir terobservasi adalah
sekitar 15 miliar tahun cahaya) mengirimkan informasi eksistensinya
lewat pancaran sinarnya sekitar 15 miliar tahun yang lalu.
Begitu juga obyek kosmos lainnya yang agak-jauhan atau
kurang-jauhan. Seperti kita semua tahu bahwa cahaya memang
terbatas kecepatannya. Cahaya yang melintas sedemikian cepat pun
akan sangat kecil dibanding dengan jarak dalam skala kosmos.
Haruslah ada kemungkinan memahami jarak tidak dengan waktu.
Dengan demikian apa gunanya kehadiran mereka jika SAAT INI
barangkali sudah tidak eksis di posisinya. Pengukuran yang dilakukan
akan menjadi sia-sia, sekedar akan memenuhi jurnal di kalangan
cendekiawan, kah? tidak menjadikannya bentuk kesadaran akan
sebuah eksistensi ruang-waktu yang komprehensif.
Bagi saya apa yang saya lihat ketika malam cerah di langit adalah
mereka aktual di posisinya, SEKARANG, bukan masalah waktu,
tapi Persepsi.
Pelbagai esensi (semoga bisa saya bahas nanti) alam tidak saling
berhubungan. Yang sebenarnya berkaitan adalah obyek-obyek yang
ada secara aktual. Dan peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah akibat
dari peristiwa-peristiwa yang lain, walaupun terkadang KELIHATANNYA
tidak saling mempegaruhi. Karena tidak ada yang kebetulan
di dunia ini maka sensitivitas membaca pertanda adalah perlu.
Pergerakan yang tercipta (baca=peristiwa) secara berkesinambungan
berlangsung sepanjang masa sehingga tidak ada sesuatu yang sama
pada saat berbeda. Hal ini saya pikir menggagalkan konsep
reinkarnasi, karena saya pribadi pun tidak menemukan dasar logis dari
fenomena itu. Pergerakan yang demikian adalah sifat dasar semua
ciptaan (mahkluk) dan secara naluriah senantiasa bergerak
ke aras-aras yang lebih tinggi. Jadi dari sudut pandang ini,
waktu hanya menyerupai karakteristik ruang.
Kita cenderung menandai (to identify) beragam benda dalam
imajinasi kita untuk kegunaan pemahaman kita sendiri. Namun
pada kenyataannya, saat mengabstraksikan objek tertentu,
pada saat itu pula objek tersebut dalam perubahaan yang malar,
karena dia selalu bergerak dalam waktu. Dengan demikian,
yang kita anggap sebagai benda sebenarnya hanyalah gerakan.
Dan waktu adalah ukuran perubahan malar itu, bukannya sebagai
dimensi lir-ruang yang menaungi perubahan.
Itulah konsep ihwal hakikat waktu bagi saya sementara ini,
sebuah gagasan yang mendekati sempurna. Dan kemungkinan ini
akan terus mengalami perubahan dalam kualitas pemberian makna,
sehingga saya tidak akan terkilir dan terperosok ke dalam
singularitas waktu. Serem soalnya. :P
Pemikiran Mulla Shadra (1572-1640) inilah yang konsisten
dengan konsep diri filosof Muhammad Iqbal (1877-1938).
Waktu itu ibarat perasaan kita selama merenung,
tatkala segenap realitas akan terlihat dalam wujud yang
hadir pada waktu bersamaan. Dalam perenungan, kita akan
merasakan bahwa segala sesuatu yang kita anggap bergerak
akan tiba-tiba diam, seolah waktu tidak hadir.
Ya! Setidaknya secara prinsip, hal itu dapat kita gapai melalui
pengembangan spiritual kita untuk menerima dan memahami
pengalaman semacam itu. Semacam menaikkan frekuensi diri
dalam periode evolusi manusia.
Intensitas kemandirian seseorang pun bisa dilihat dari kualitas memori
dirinya, ketika berusaha membuat pengalaman yang baru, ya minimal
mengalami pengalaman yang edukatif di masa lalunya (causes and
effects). Dan jalan yang ditempuh memanglah eklektis, secara waktu
dan ruang. Tidak seorangpun memang yang menginginkan
kemunduran, bahkan kematian. Dan sejarah pun sebenarnya
bisa direkayasa, dan kemungkinan besar juga dapat terulang.
Saya bisa melihatnya di kasus konspirasi pendaratan manusia pertama
di bulan oleh Neil Armstrong dkk pada Juli 1969.
Pembungkaman yang demikian sah-sah saja. Lha wong eklektik kok.
Toh, realitas akan tetap realitas. Mau ngomong apa?
Ha! Lagi pula kegagalan saya mengerjakan tugas akhir kuliah dahulu
juga menjadi sejarah yang bisa saya ambil hikmahnya.
Kegagalan tersebut adalah sebentuk kerangka pikir saya yang
terentang oleh waktu menjadi sejarah. Dan saya akan selalu
mengingatnya! Walhasil, sejarah psikologis yang tersimpan
dalam memori adalah fakta. Dan faktanya saya tidak puas, alias gagal.
Payah sekali saya! Ha ha ha...!
Makanya, pembekalan dalam mindset itu perlu.
Jadi ingat film THE FORGOTTEN kemarin malam. Tapi konklusi akhirnya
kok jadi aneh ya? Lho, lagian ngapain saya bahas?
Gak nyambung deh blarr!
Sekiranya sama seperti keputusan rekan saya membobol kembali
peti rujukan seninya SEBELUM menyaksikan pameran seniman
posmo Amerika Jean-Michel Basquiat di Bali hari minggu kemarin.
Aha!
Makanya, buatlah sejarah yang menyenangkan! Karena gak ada yang
permanen di dunia ini. Semuanya punya waktunya masing-masing,
timbul dan tenggelam. Mending ikut harmoninya saja biar nanti
bisa ikut seneng. Yeeeaahhh!
(James Redfield punya gagasan bagus dalam novelnya
The Celestine Prophecy)
---
This thing all things devours:
Birds, beasts, trees, flowers;
Gnaws iron, bites steel,
Grinds hard stones to meal;
Slays king, ruins town,
And beats high mountain down.
- J.R.R Tolkien
Selalu saja ada kengerian di antara optimisme. Peristiwa yang
menjadi makanan sehari-hari sebagai buah simpul rentangan
tali waktu yang berpilin, dirasakan makin rumit. Padahal kemarin
2 hari yang merelaksasi. Kurang cukup, tadi pagi bangun jam 11
siang (pagi apa siang sih? :). Dan sore tadi tempat kerja mendadak
santai sekali karena koneksi internet putus. Aha!
Mari sebentar melongok sejarah (>>). Syahdan, dahulu kala,
waktu bukan menjadi bagian terukur dari alam semesta yang
kita amati. Ide Nicolaus Copernicus (1473-1543) yang
revolusioner tetap saja tidak mengikutsertakan aktor utama kedua
yang bernama waktu. Ketika matahari terbukti menyandang gelar
heliosentris, konsep mengenai waktupun tak pernah tersinggung.
Dianggap ada namun tidak terdefinisi dengan baik (indefinite period).
Kinerja alam semesta memanglah demikian, mewujud atau menjasad
serangkaian silogisme yang mengantar kita dari contoh-contoh
khusus (particular instances) pada kesimpulan-kesimpulan umum
(general conclusions) terhadap peristiwa (event). Baru menjelang
kemajuan sains yang lebih terstruktur pada masa Renaisans di barat,
waktu menjadi tokoh sentral (saya kaitkan konsep waktu adalah
yang terumuskan ini oleh ilmuwan maupun filosof barat, jatah
timur-tengah dan peradaban lain nanti dulu). Dan menjadi inspirasi
bagi para penulis untuk memainkan waktu dengan kaidah liniernya
ataupun mencoba memutarbalikkan peristiwa rekaannya.
"Time was, like space, a conceptual apparatus describing interrelations
between events." (Isaac Newton + Gottfried Wilhelm von Leibniz)
Terus terang saya sendiripun masih bingung dengan hakikat waktu.
Ilmuwan barat yang terkadang melampaui batas juga sudah sekian
ratus tahun mempelajari eksistensinya. Masa demi masa terjadi
perbaikan dan penemuan baru mengenai kesepakatannya. Seorang
astrofisikawan kondang Stephen Hawking (1942-) berpendapat
tentang waktu (A Brief History of Time) sangat terpengaruh
dengan gagasan persepsi ruang-waktu Albert Einstein (1879-1955).
Dan perdebatan sengit (kisah 2 buah kurma) antara ilmuwan sekaligus
filosof muslim Al-Ghazali (1058-1111) dengan filosof Spanyol
Ibn Rusyd (Averroes, 1126-1198) juga teramat penting untuk
dilewatkan begitu saja, mengingat wacana tentang eksistensi Tuhan
(sekali lagi saya mengambil sudut pandang Barat) juga adalah bagian
dari pembahasan dunia filsafat.
(Einstein said, "Put your hand on a hot stove for a minute,
and it seems like an hour. Sit with a pretty girl for an hour,
and it seems like a minute. That's relativity.".)
Begitulah konsep dalam sains. Dan akan berbeda ketika filsafat
memaknainya. Filsafat bertanya, apakah waktu itu absolut atau
semata-mata relasional? Pernyataan demikian membatasi kita
dengan hakikat alam (baca=dimensi ruang), dimana pada hakikatnya
alam merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam waktu.
Katakanlah waktu adalah wadah (the container of events).
Dan karena alam bersifat fana, demikian juga waktu. Jadi,
kemungkinan besar waktu (time itself) tidak akan bisa terukur, namun
dia teramati dalam sistem pengukuran yang menjelaskan peristiwa.
Terkadang saya juga heran dengan kesepakatan (semoga sementara)
para ilmuwan mengenai konsep jarak-waktu dalam mengamati
fluktuasi alam semesta. Misalkan bagaimana mungkin sebuah galaksi
yang paling jauh (katakanlah yang terakhir terobservasi adalah
sekitar 15 miliar tahun cahaya) mengirimkan informasi eksistensinya
lewat pancaran sinarnya sekitar 15 miliar tahun yang lalu.
Begitu juga obyek kosmos lainnya yang agak-jauhan atau
kurang-jauhan. Seperti kita semua tahu bahwa cahaya memang
terbatas kecepatannya. Cahaya yang melintas sedemikian cepat pun
akan sangat kecil dibanding dengan jarak dalam skala kosmos.
Haruslah ada kemungkinan memahami jarak tidak dengan waktu.
Dengan demikian apa gunanya kehadiran mereka jika SAAT INI
barangkali sudah tidak eksis di posisinya. Pengukuran yang dilakukan
akan menjadi sia-sia, sekedar akan memenuhi jurnal di kalangan
cendekiawan, kah? tidak menjadikannya bentuk kesadaran akan
sebuah eksistensi ruang-waktu yang komprehensif.
Bagi saya apa yang saya lihat ketika malam cerah di langit adalah
mereka aktual di posisinya, SEKARANG, bukan masalah waktu,
tapi Persepsi.
Pelbagai esensi (semoga bisa saya bahas nanti) alam tidak saling
berhubungan. Yang sebenarnya berkaitan adalah obyek-obyek yang
ada secara aktual. Dan peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah akibat
dari peristiwa-peristiwa yang lain, walaupun terkadang KELIHATANNYA
tidak saling mempegaruhi. Karena tidak ada yang kebetulan
di dunia ini maka sensitivitas membaca pertanda adalah perlu.
Pergerakan yang tercipta (baca=peristiwa) secara berkesinambungan
berlangsung sepanjang masa sehingga tidak ada sesuatu yang sama
pada saat berbeda. Hal ini saya pikir menggagalkan konsep
reinkarnasi, karena saya pribadi pun tidak menemukan dasar logis dari
fenomena itu. Pergerakan yang demikian adalah sifat dasar semua
ciptaan (mahkluk) dan secara naluriah senantiasa bergerak
ke aras-aras yang lebih tinggi. Jadi dari sudut pandang ini,
waktu hanya menyerupai karakteristik ruang.
Kita cenderung menandai (to identify) beragam benda dalam
imajinasi kita untuk kegunaan pemahaman kita sendiri. Namun
pada kenyataannya, saat mengabstraksikan objek tertentu,
pada saat itu pula objek tersebut dalam perubahaan yang malar,
karena dia selalu bergerak dalam waktu. Dengan demikian,
yang kita anggap sebagai benda sebenarnya hanyalah gerakan.
Dan waktu adalah ukuran perubahan malar itu, bukannya sebagai
dimensi lir-ruang yang menaungi perubahan.
Itulah konsep ihwal hakikat waktu bagi saya sementara ini,
sebuah gagasan yang mendekati sempurna. Dan kemungkinan ini
akan terus mengalami perubahan dalam kualitas pemberian makna,
sehingga saya tidak akan terkilir dan terperosok ke dalam
singularitas waktu. Serem soalnya. :P
Pemikiran Mulla Shadra (1572-1640) inilah yang konsisten
dengan konsep diri filosof Muhammad Iqbal (1877-1938).
Waktu itu ibarat perasaan kita selama merenung,
tatkala segenap realitas akan terlihat dalam wujud yang
hadir pada waktu bersamaan. Dalam perenungan, kita akan
merasakan bahwa segala sesuatu yang kita anggap bergerak
akan tiba-tiba diam, seolah waktu tidak hadir.
Ya! Setidaknya secara prinsip, hal itu dapat kita gapai melalui
pengembangan spiritual kita untuk menerima dan memahami
pengalaman semacam itu. Semacam menaikkan frekuensi diri
dalam periode evolusi manusia.
Intensitas kemandirian seseorang pun bisa dilihat dari kualitas memori
dirinya, ketika berusaha membuat pengalaman yang baru, ya minimal
mengalami pengalaman yang edukatif di masa lalunya (causes and
effects). Dan jalan yang ditempuh memanglah eklektis, secara waktu
dan ruang. Tidak seorangpun memang yang menginginkan
kemunduran, bahkan kematian. Dan sejarah pun sebenarnya
bisa direkayasa, dan kemungkinan besar juga dapat terulang.
Saya bisa melihatnya di kasus konspirasi pendaratan manusia pertama
di bulan oleh Neil Armstrong dkk pada Juli 1969.
Pembungkaman yang demikian sah-sah saja. Lha wong eklektik kok.
Toh, realitas akan tetap realitas. Mau ngomong apa?
Ha! Lagi pula kegagalan saya mengerjakan tugas akhir kuliah dahulu
juga menjadi sejarah yang bisa saya ambil hikmahnya.
Kegagalan tersebut adalah sebentuk kerangka pikir saya yang
terentang oleh waktu menjadi sejarah. Dan saya akan selalu
mengingatnya! Walhasil, sejarah psikologis yang tersimpan
dalam memori adalah fakta. Dan faktanya saya tidak puas, alias gagal.
Payah sekali saya! Ha ha ha...!
Makanya, pembekalan dalam mindset itu perlu.
Jadi ingat film THE FORGOTTEN kemarin malam. Tapi konklusi akhirnya
kok jadi aneh ya? Lho, lagian ngapain saya bahas?
Gak nyambung deh blarr!
Sekiranya sama seperti keputusan rekan saya membobol kembali
peti rujukan seninya SEBELUM menyaksikan pameran seniman
posmo Amerika Jean-Michel Basquiat di Bali hari minggu kemarin.
Aha!
Makanya, buatlah sejarah yang menyenangkan! Karena gak ada yang
permanen di dunia ini. Semuanya punya waktunya masing-masing,
timbul dan tenggelam. Mending ikut harmoninya saja biar nanti
bisa ikut seneng. Yeeeaahhh!
(James Redfield punya gagasan bagus dalam novelnya
The Celestine Prophecy)
---
This thing all things devours:
Birds, beasts, trees, flowers;
Gnaws iron, bites steel,
Grinds hard stones to meal;
Slays king, ruins town,
And beats high mountain down.
- J.R.R Tolkien
0 Thoughts You Share:
Post a Comment
<< Home