Media Ilusi Seksualitas.
Seketika Anda ikut menyaksikan tragedi "kemben melorot" milik
Taffana Dewi di salah satu tv lokal kita tempo hari, apa yang ada
di benak Anda?
Senang?
Salah lihat?
Atau jutsru tegang?
Masih maksain untuk tegang walau sekejap?
Kalau saya bilang, itu malah menggemaskan! Ha ha!
Kejadian itu masih menandakan adanya ketimpangan realitas.
Mari kita tengok lagi ke dalam:
Pria dan wanita. Tentunya (sekali lagi) setara dalam keseluruhan
pandangan. Ketimpangan realitas yang terjadi itu merujuk pada
ilusi seksualitas. Bisa dikatakan berat sebelah atau pada akhirnya
memang mengamini 'ketidakseimbangan' ini.
Jika lelaki terus menerus melakukan ekspolitasi seksual pada wanita
sebagai objek, terus terang ini tidak adil. Jika iklan tv lebih banyak
menonjolkan wanita dan keindahannya secara fisik terus menerus,
agaknya ini struktur sosial yang sakit. Pengabdian atau reproduksi
dari penstereotipan kaum pria terhadap wanita telah menjadi wajar,
khususnya dalam media massa.
Anda lantas bertanya: Lho, kemben mlorot itu kan tidak sengaja?
Ha ha! Lihat baik-baik! Sengaja atau tidak di sana itu sama saja.
Karena frame awalnya sudah terlalu sempit, sehimpit batasan
seksi yang hanya kulit pembungkus daging-daging yang menonjol
saja dalam otak pencetus acara itu.
Kali ini kedengaran naif memang, namun saya mencoba untuk
tidak munafik. Dan sekarang saya menyerang perspektif
kaum lelaki! (termasuk saya lah!) Ha ha!
---
Ya! Media!
Sebuah bumerang yang terus menerus berbalik arah dan merenggut
setiap inci realitas dari si pelempar. Dalam konteks ini, media menjadi
amplifier kondisi sakit yang sudah ada jauh sebelum zaman
para feminis lahir.
Nah, pada topik pensejajaran gender ini, ironisnya realitas iklan
sedemikian dianggap oleh kaum hawa adalah bukan persoalan,
alias setuju-setuju saja terhadap bias ini. Pelaku jurnalistik
didominasi pria, sehingga jurnalistik maskulin ini tentu saja tempat
pria mensubjektifkan wanita. Iklan-iklan lebih banyak memakai
bintang wanita. Lihat saja paha terbuka, belahan dada ternganga,
tentu saja cantik, atau mau yang lebih syahwatisme? Banyak.
Bahkan bila terdapat karyawan wanita, jarang menjadi posisi kunci
dalam menentukan kebijakan penerbitan atau penyiaran.
Dan beginilah pria mendefinisikan wanita.
Apalagi dalam standar kecantikan.
Dalam konteks ini, iklan tv memiliki daya untuk mengkonstruksi
wanita-wanita 'palsu' yang memainkan peran-peran palsu dalam
lingkungan-lingkungan palsu pula. Kita dipaksa mempercayai apa
yang tidak seharusnya kita percayai. Tanpa kesadaran tinggi,
kita pada akhirnya terlalu mudah menerima kebohongan-kebohongan
alih-alih fakta seperti ini.
Barangkali itulah omong kosong yang nyaring bunyinya.
Bisa jadi media memang musuh berwujud teman.
Sebuah sisi gelap yang sangat menakutkan!
---
Sebagai catatan, dalam kaitan ini, teori agenda setting masih tetap relevan:
media mengagendakan isu-isu sosial bagi masyarakat dan menentukan
apa yang penting dan apa yang tidak penting, yang pada gilirannya juga
berkorelasi positif dengan pikiran publik mengenai penting atau tidaknya
isu-isu tersebut. (Maxwell McCombs dan Donald Shaw, 1977). >>
That people did not respond directly to events in the real world but lived in
a pseudo-environment composed of "the pictures in our heads".
(Walther Lippmann)
Taffana Dewi di salah satu tv lokal kita tempo hari, apa yang ada
di benak Anda?
Senang?
Salah lihat?
Atau jutsru tegang?
Masih maksain untuk tegang walau sekejap?
Kalau saya bilang, itu malah menggemaskan! Ha ha!
Kejadian itu masih menandakan adanya ketimpangan realitas.
Mari kita tengok lagi ke dalam:
Pria dan wanita. Tentunya (sekali lagi) setara dalam keseluruhan
pandangan. Ketimpangan realitas yang terjadi itu merujuk pada
ilusi seksualitas. Bisa dikatakan berat sebelah atau pada akhirnya
memang mengamini 'ketidakseimbangan' ini.
Jika lelaki terus menerus melakukan ekspolitasi seksual pada wanita
sebagai objek, terus terang ini tidak adil. Jika iklan tv lebih banyak
menonjolkan wanita dan keindahannya secara fisik terus menerus,
agaknya ini struktur sosial yang sakit. Pengabdian atau reproduksi
dari penstereotipan kaum pria terhadap wanita telah menjadi wajar,
khususnya dalam media massa.
Anda lantas bertanya: Lho, kemben mlorot itu kan tidak sengaja?
Ha ha! Lihat baik-baik! Sengaja atau tidak di sana itu sama saja.
Karena frame awalnya sudah terlalu sempit, sehimpit batasan
seksi yang hanya kulit pembungkus daging-daging yang menonjol
saja dalam otak pencetus acara itu.
Kali ini kedengaran naif memang, namun saya mencoba untuk
tidak munafik. Dan sekarang saya menyerang perspektif
kaum lelaki! (termasuk saya lah!) Ha ha!
---
Ya! Media!
Sebuah bumerang yang terus menerus berbalik arah dan merenggut
setiap inci realitas dari si pelempar. Dalam konteks ini, media menjadi
amplifier kondisi sakit yang sudah ada jauh sebelum zaman
para feminis lahir.
Nah, pada topik pensejajaran gender ini, ironisnya realitas iklan
sedemikian dianggap oleh kaum hawa adalah bukan persoalan,
alias setuju-setuju saja terhadap bias ini. Pelaku jurnalistik
didominasi pria, sehingga jurnalistik maskulin ini tentu saja tempat
pria mensubjektifkan wanita. Iklan-iklan lebih banyak memakai
bintang wanita. Lihat saja paha terbuka, belahan dada ternganga,
tentu saja cantik, atau mau yang lebih syahwatisme? Banyak.
Bahkan bila terdapat karyawan wanita, jarang menjadi posisi kunci
dalam menentukan kebijakan penerbitan atau penyiaran.
Dan beginilah pria mendefinisikan wanita.
Apalagi dalam standar kecantikan.
Dalam konteks ini, iklan tv memiliki daya untuk mengkonstruksi
wanita-wanita 'palsu' yang memainkan peran-peran palsu dalam
lingkungan-lingkungan palsu pula. Kita dipaksa mempercayai apa
yang tidak seharusnya kita percayai. Tanpa kesadaran tinggi,
kita pada akhirnya terlalu mudah menerima kebohongan-kebohongan
alih-alih fakta seperti ini.
Barangkali itulah omong kosong yang nyaring bunyinya.
Bisa jadi media memang musuh berwujud teman.
Sebuah sisi gelap yang sangat menakutkan!
---
Sebagai catatan, dalam kaitan ini, teori agenda setting masih tetap relevan:
media mengagendakan isu-isu sosial bagi masyarakat dan menentukan
apa yang penting dan apa yang tidak penting, yang pada gilirannya juga
berkorelasi positif dengan pikiran publik mengenai penting atau tidaknya
isu-isu tersebut. (Maxwell McCombs dan Donald Shaw, 1977). >>
That people did not respond directly to events in the real world but lived in
a pseudo-environment composed of "the pictures in our heads".
(Walther Lippmann)
8 Thoughts You Share:
media membentuk masyarakat bos!
dan membentuk segala standarisasi murahaaaan..
...dan pada akhirnya, kalo dagangan nggak laku2, mereka selalu bisa pasang gambar cewek sebagai penglaris..
hm, tragedi.. kalo udah keseringan apa masih bisa disebut tragedi?
heheheh kayak ditentukannya quota 30% menteri harus perempuan. loh napa pake quota segala? wanita dianggap ngga mampu bersaing menjadi menteri di kementerian selain kementerian urusan wanita dan sosial? duh.
#doeljoni : bukan ngebom di tempat yang salah. emang aja mind leap huihihihihi... bete sajah ama soal quota itu dan beberapa hal yang memojokkan *kata ini tepat ngag yah* wanita. great post nikk. as usual.
for Mpok:
Rusuh emang. Komodifikasi perempuan. Memelihara kerusakan.
tapi, apa kabarnya nih Mpok? hehehe
for Om Joni:
waduh, Oom...
bahasanya selangit nih...
musti bolak balik referensi buat bisa nyampe ke sana bareng Anda. :)
iya, kacamata yang dipake kayaknya adalah kacamata sejuta umat, yang lapuk dan usang, gak bercermin pantas atau tidak 'memakainya'.
saya sebenarnya mau menghubungkan dengan tulisan Anda ttg kekerasan-oleh-bangsa-yang-ramah itu...
sederhana saja, seharusnya diajarin merevolusi perspektif masing2..
for Nana:
bener kata Oom Joni, kualitaslah yang berbicara, berteriak, dan pada akhirnya musti membawa perubahan yang lebih manusiawi dan logis.
--
aduh kalian makin pinter rupanya,
semoga semua orang bisa berlaku sadar ketika nonton tivi yah...
mungkin wanita sendiri mengkaitkan sexy dengan modernitas?
Banyak wanita ingin tampil sexy tanpa merasa menjadi objek kaum pria.
Tapi ada banyak juga wanita yg "rela" dijadikan objek.
Saya sendiri ga ngikutin perkembangan media televisi di indonesia, jadi ga bisa komentar banyak...
Kenapa wanita Nikk ? Battle of Sexes.
Ada bidang yang memang lebih baik dikerjakan oleh wanita, begitu juga sebaliknya.
Cowok juga bisa dieksplotasi. Itu yang sekarang biasanya agak dilupakan. Tidak, saya tidak membela kamu saya sendiri. Tidak.
Yang saya ajukan : eksplotasi bisa terjadi dimana saja dan terhadap manusia mana saja.
Mau contoh ? James Bond itu contohnya.
Televisi hanya mediumnya. Dan dia terbukti efektif. Kenapa kriminil macam Zarima bisa rajin nongol di acara selebritis ketimbang acara kelas "Buser" atau "Bidik".. itu ya karena media. Seribu kebohongan diulang-ulang akan jadi kebenaran.
Lalu, pasar Nikk. Budaya populer yang pernah kita telanjangi kapan hari lalu. Budaya populer, muncul dari kebutuhan masyarakat juga sebetulnya. Ada pasar. Ada demand, makanya lalu Punjabi-punjabi keparat itu mencekok'i kita dengan "Ikhlas", "Taubat", "Titian Ilahi", "Ibuku Adalah Anakku" dlsb.
Salah siapa ? salah Punjabi atau masyarakat ?
Dua2nya !
Kita, kultur budaya dan media sedang ber-dialektika kearah yang salah !
Saya tahu. Doeljoni tahu. Kamu tahu dan gelisah. Tinggal bagaimana kita menyebar virus untuk menghentikan resultan dialektika ke arah yang lebih baik.
Mampu ?
Eh.. btw, sejak dulu wanita memang dijajah pria kok..
Welcome to the world of men where male chauvinists rule. :D
Post a Comment
<< Home