&t /// JELAJAH BELANTARA ///: July 2005

Wednesday, July 20, 2005

Si Kancil Anak Setan ?

"Kancil memang binatang lemah. Tapi dia cerdik."
Begitu kata nenek saya dulu saat cerita tentang si Kancil dengan
segala kisahnya seperti layaknya serial remaja STOP era 90-an.

Apa yang melatarbelakangi cerita itu, saya tidak tahu.
Apa mungkin juga karena muatannya yang sarat konfrontasi itu?
Tentunya nenek saya tidak pengin pesan licik yang kita ambil.
Tapi dia juga bisa jadi tidak tahu asal-usulnya.
Jadi apa benar sejak zaman dulu dahulu, kita secara tidak sadar
diajari menipu, kekerasan, sekaligus konfrontasi?
"Kancil Mencuri Ketimun", "Kancil dan Buaya", "Kancil dan Gajah",
dan beberapa seri sisanya yang (buat anak-anak) 'mengerikan' itu.

Itu sastra. (Mungkin secara naif saya mengakui saya kurang paham
dunia sastra. Dari puisi Ajip Rosidi hingga novelis Dan Brown,
saya merasa terlalu awam, walaupun itu masih dalam ranah seni.)
Dan memang harus dipertanggungjawabkan. Mulai dari karya sastra
berpendar kata-kata indah, sampai stensilan mesum Enny Arrow.
Dan permasalahan yang diangkat adalah seputar kita. Jadi yang
bertanggungjawab adalah masyarakat yang melahirkannya.
Begitu kata Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Guru Besar Fakultas
Ilmu Budaya UI.

Bisa jadi roh karya sastra adalah tidak hanya dari penulisnya,
tetapi interpretasi pembacanya secara produktif memberikan makna
lebih dari sekedar membacanya. Seperti kata Zawawi Imron,
nampaknya budaya menyukai karya sastra adalah milik orang-
orang yang terjernihkan hidupnya, menjadi cerdas istilahnya.
(Oops, sayangnya saya kok belum mampu begitu... hiks...)

So, budaya storytelling seperti kisah Kancil dkk dapat terus ada,
dan inti cerita tidak menjadi bumerang pada generasi masa depan.

Monday, July 18, 2005

Agama yang Gersang. REFUSE it!

"Segala sesuatu yang bersifat informasional dan penting bagi
kepentingan individu... akan dijual, atau dibagikan secara gratis,
di cyberspace."
--Michael Benedikt, "Cyberspace: First step"


Saya punya teman berprofesi sebagai pesulap. Belom kesohor sih.
Namun eksistensinya cukup mengagetkan di blantika aksi tipu-tipu.
Entah dia berguru pada siapa saya tidak tahu. Barangkali dari
informasi di situs David Copperfield atau jadi murid terpandai
dari pesulap lokal seperti Mr.Robin, saya kurang tahu.



Berbicara sumber informasi, saya tak bisa mengelak dari kehadiran
budaya populer baru yaitu World Wide Web. Nyambung dari ulasan
sebelumnya, bahwa kehebatan kecerdasan manusia kadang memang
di luar dugaan. Anda akan dibuat menangis berkabung karena ikan
elektronik piaraan Anda (kasus Tamagochi atau Aquazone) mati
karena Anda tinggal pergi selama berbulan-bulan ekspedisi
ke Kanchenjunga. Ya, bahkan seorang pendaki gunung pun,
yang terbiasa membakar semangatnya dengan bersentuhan dengan
dinginnya badai salju dan sapaan akrab singa gunung bisa pula
berstandar ganda. Tidak ada yang salah. Selama dia sadar

bahwa jiwa masih membutuhkan makan.

MADNESS IN THE AGE OF AQUARIUS >>

Seperti yang ditegaskan oleh E.O. Wilson, biolog peraih
hadiah nobel, "Otak berevolusi di dalam dunia biosentris, bukan
dunia yang diatur mesin." Terjebak dalam dunia yang semakin asing
ini yang berbenturan dengan diri biologis kita, adalah sebuah
keajaiban. Ajaib bukan karena orang-orang semakin larut atau
bahkan memeluk kepercayaan tentangnya, tapi keajaiban jika kita
mampu mengatasinya, menjaga jarak dengannya. Inilah argumen
yang
paling kuat untuk melakukan counterbalance dengan
budaya baru tadi,
yaitu dari sudut pandang biologis.

Tampaknya kita lebih suka memilih pasif menonton TV daripada
bersosialisasi dengan sahabat atau tetangga di warung kopi.
Tampaknya saling sapa di friendster (dengan bulletin board-nya
yang begitu sampah, lihat saja: 200.000 hal yang lu lakukan sebelum
mati ketawa ala Guatemala!) lebih diutamakan ketimbang
bersilaturahmi ke
tempat sodara, bahkan orang tua sendiri.
(Anjangsana dapat membuat
imunitas tubuh kita meningkat selama
dua hari dan umur kita akan
lebih panjang). Kesendirian yang
meniadakan ruang kosong dan
tenang, dimana setiap permukaan
senantiasa hiruk pikuk, dan
tidak ada lagi tempat untuk kontemplasi.
Paradoks!
Bahkan, retorika para teknoevangelis seperti
Kevin Kelly
, pengarang buku Out of Control, ternyata sering
bertolak
belakang; di depan rumah 'pintar' Bill Gates di Xanadu
terdapat
muara dan sungai tempat ikan salmon berkubang.

Kita pun menanggung resiko atas terputusnya masa lalu biologis kita
yang dalam pemaknaan lebih dalam, merupakan dasar dari seluruh
pengetahuan kita, sejarah kita, dan tempat kita berpijak.
Karena manusia secara genetis telah merespon lingkungannya dengan
cara-cara tententu selama berabad-abad. Kita menanggapi secara
positif melebur dalam alam, hutan, sungai, danau, gunung, karena
selama ribuan generasi, alam adalah rumah kita.


Dalam modernisme (khususnya Barat), hal ini dianggap progresif,
sebuah kemajuan yang tercapai karena dianggap evolusi manusia
berjalan menuju pencerahan, kemajuan menuju Tuhan. Seperti pada
karya filsuf positivisme Jerman Friedrich Wilhelm Joseph von
Schelling (1775- 1854) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831), bahwa setiap manusia sedang berproses tumbuh-
berkembang menuju potensi terbesarnya, dan jika potensi tertinggi
itu disebut sebagai Tuhan, maka manusia tumbuh menuju
ketuhanannya. Hal ini beroposisi dengan mitos universal era
pra-modern yang dimiliki ranah agama tentang
regressive progression, yaitu sebuah catatan kemunduran sejarah,
menjauh dari yang ilahiyah. Dekadensi. Terutama pandangan
secara kontekstual. (catatan dari buku Tao of Physics karya
Fritjof Capra, silakan baca, bagus kok :)

Terceraikan dari lingkungan fisik kita pasti akan berubah menjadi
kegilaan, jauh dari sumber kewarasan. Mengasingkan diri,
mengunci diri bersama benda-benda ciptaan kita... kelak Bumi pun
hanya akan mencerminkan citra kegilaan dari pikiran yang
terpenjara dalam dirinya sendiri.

Itulah mengapa kita semakin terdistraksi. Informasi yang bejibun
yang tercerap lewat indera kita malah justru menimbulkan lebih
banyak problema secara ekonomi, sosial, terlebih budaya.
Sungguh sikap skeptis inilah yang menggerakkan para aktifis
counterculture yang selalu berharap ada equilibrium yang terwujud.

Dan tampaknya dunia MATRIX harus berusaha mensejajarkan kembali
dengan kebutuhan manusia.

---

Tentunya saya juga tidak akan menolak kehadiran ponsel canggih
atau fitur newsgroup dan instant messaging (untuk saat ini),
karena memang saya membutuhkannya di saat dibutuhkan.
Tentunya
tidak semua chatroom mendiskusikan tetek bengek yang
tanpa makna,
seperti forum diskusi kenapa sinetron Tersanjung
dibuat sampai
episode 13 atau lebih. Namun juga tidak sedikit relung-
relung
cyberspace menggodok wawasan dan pengetahuan berguna
semacam
diskusi membudidayakan asparagus, atau perilaku
mekanika kuantum dalam
objek eksotik seperti quasar.

Menjaga batas kewarasan dengan tidak mengisolasi diri atau terlalu
larut dalam permainan tadi seharusnya itulah titik keseimbangan
(equilibrium). Imbalannya bukan utopia, tapi adalah kesehatan
psikologis. Seperti kata temen saya, Mpok Luwak bilang,
entah mau jutek
apa bosen pada rutinitas. Sebuah resiko yang harus
ditanggung
atas ambisi manusia.

Adakalanya saya jadi sedikit paranoia jika anak-anak saya nanti
terlalu asik bersosialisasi dengan game-game elektronik (seperti
mereka bernafas) daripada bermain layang-layang di lapangan atau
petak umpet yang membutuhkan aktifitias fisik.

Walau kedengarannya skeptis, revolusi digital bagi saya adalah
kejahatan terbesar manusia. Dia menawarkan sangat sedikit tapi
menuntut terlalu banyak. Yang ditawarkannya adalah informasi
(dan lebih banyak informasi) serta suatu jenis keterhubungan baru
yang abstrak. Tetapi dia meminta kita membayar kesetiaan kita pada
interaksi terhadap dunia fisik, mengalihkannya ke dunia maya.
Ini transaksi yang buruk. Sama buruknya dengan seorang account
executive atau sales specialist yang sok tau tentang barang
dagangannya, bahkan seorang desainer grafis yang menciptakan

interface graphic serealistis mungkin dan tampak begitu memikat.

Yang baik bagi bisnis, tidak selalu baik bagi kebudayaan.
Revolusi digital mungkin baik,
tapi bagi kebudayaan,
itu berita buruk!.

Karena tidak semua orang berbisnis.

Friday, July 15, 2005

Human is God, the Inhuman Predator.

Ada perbedaan gamblang antara nyata atau maya,
setidaknya dalam perspektif Foucault atau Derrida.
Apalagi ketika kita bicara tentang penemuan terbesar manusia
yaitu internet a.k.a superhighway a.k.a information age.
(FYI, World Wide Web ditemukan pertama kali tahun 1989 oleh
Tim Berners
dan CERN untuk inovasi budaya di era digital
di laboratorium
fisika partikel CERN di Jenewa, Swiss)

Berikut sedikit cuplikan metafora tentangnya.

---

Sebuah mimpi buruk distopia ala George Orwell, cerpen karya
E.M. Forster berjudul "The Machine Stops" (1909),
dibuka dengan adegan
di "sebuah kamar kecil berbentuk segi enam,
seperti sel di dalam
sarang tawon." Vashti, wanita yang tinggal
di dalam kamar itu,
berbelanja atau memesan makanan lewat telepon
dan mengajar kepada
pendengar yang dapat ia lihatdan dengar
tanpa perlu meninggalkan
ruangan. Vashti memiliki ketakutan
patologis terhadap pengalaman
langsung. Ruangan fisik, pengamatan
langsung, peristiwa tanpa
perantara, semua itu telah disingkirkan
dari dunianya.
Kamarnya--sebuah bungker bawah tanah yang
terhubung ke bungker
lain melalui semacam komputer yang memiliki
perlengkapan untuk
mengimbangi dunia luar--adalah sebuah semesta
tertutup.
Forster menjelaskan, "Tak ada apa-apa dalam bungker itu.
Namun dia
dapat berhubungan dengan segala yang dia pedulikan
di dunia ini."
Alam telah dimusnahkan dari kehidupan manusia.
Dia menggelapkan
ruangan, lalu pergi tidur. Dia bangun, dan
dibuatnya ruangan itu
lebih terang. Dia makan, bertukar pikiran
dengan karib-karibnya,
mendengarkan musik, menghadiri pertemuan.
Lalu dia gelapkan
ruangan lagi, dan pergi tidur. Begitu terus.

Ke dalam dunia tertutup ini sesosok wajah muncul di layar biru
mirip TV. Dialah Kuno, anak laki-laki Vashti, seorang pemberontak
yang tinggal di kamar mirip kamar ibunya di belahan selatan
khatulistiwa. "Aku ingin Ibu datang kemari, menjumpaiku," katanya.
Mula-mula Vashti tak mengerti. "Bukannya aku bisa menjumpaimu?"
protes sang ibu. Akan tetapi, Kuno tak ingin bertemu ibunya
melalui mesin. Dia ingin lebih. "Saya memang dapat bersua dengan
sesuatu yang menyerupai Ibu pada layar ini, tetapi saya tak pernah
bertemu dengan Ibu," katanya. "Datanglah kemari, Bu. Kita bisa
bertatap muka dan berbincang tentang berbagai harapan dalam
benakku." Akhirnya, meski sudah dapat merasakan "kengerian yang
diciptakan oleh pengalaman langsung," Vashti setuju pergi.

Perjalanan itu sendiri merupakan pengalaman yang terdiri atas
peristiwa-peristiwa yang tak terkendali. Meskipun sarana
transportasi itu cepat dan nyaman, meskipun gegar terhadap sesuatu
yang baru teratasi (dunia ini, Forster berkisah, semuanya telah
dibuat seragam), meskipun alam telah berhasil dijinakkan,
sumber ketidaknyamanan baru kini telah muncul menggantikannya.
Misalnya saat Vashti tersandung, si pramugari, yang sifat
"manusiawinya" belum hilang sepenuhnya karena sering bertemu
orang,
telah "bertindak barbar" terhadap Vashti. Lupa bahwa
manusia telah
lama tidak saling bersentuhan (dalam dunia
realitas objektif),
dan persentuhan tersebut telah menjadi "usang",
dia meraih tubuh
Vashti dan membantunya tegak kembali, dan lalu
meminta maaf karena
tak membiarkannya jatuh. Atau ketika
seseorang secara tak sengaja
menjatuhkan sebuah buku (relik dari
Era Kertas), semua penumpang
menjadi resah. Jalan di koridor
tidak termekanisasi. Lantai tak
bisa mengembalikan buku
yang jatuh itu.


Setelah bertatap muka dengan ibunya, Kuno menceritakan tentang
kejahatannya. Dalam Zaman Mesin itu, saat pengalaman langsung
telah menjadi iblisdan dunia alamiah telah menjadi usang,
Kuno telah naik ke permukaan. Pemberontakannya tak mengenal
batas.
"Kita selalu berkata bahwa ruang telah ditiadakan," tegasnya,
"tetapi kita sebenarnya bukan meniadakan ruang. Kita telah
kehilangan bagian dari diri kita!" Kuno, yang muda, agresif, dan
penuh rasa ingin tahu, telah membulatkan tekad utnuk menemukan
kembali dunia fisik. "Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu,"
klaimnya, membuat ibunya ngeri. "Kaki manusia menjadi ukuran
jarak, tangan manusia adalah ukuran kepemilikan, tubuh manusia
menjadi ukuran dari segala kehendak, cinta, dan kekuatan."

Merangkak naik menembus mesin, Kuno mengaku telah melihat
kegelapan malam yang nyata. "Saya sepertinya mendengar suara ruh
para pekerja yang setiap malam pulang menemui bintang-bintang dan
istri-istri mereka. Saya mendengar suara ruh dari semua generasi
yang dulu hidup di alam terbuka... Saya merasa, untuk pertama
kalinya, bahwa gugatan telah disuarakan terhadap korupsi
kemanusiaan ini, dan saat ruh-ruh itu menghiburku, akupun
menghibur mereka yang belum lahir (bahwa kehadiran realitas
objektif itu lebih baik). Saya merasakan bahwa manusia itu ada...
Dan semua tombol, tabung, dan mesin ini tak dilahirkan bersama
kita, dan tak menyertai kita kelak apabila kita mati, dan bukanlah
hal yang mahapenting saat kita masih hidup di sini."

Vashti, tersentak oleh pengakuan anaknya, meninggalkannya
sendirian. Dia tahu bahwa "mesin tak akan mengampuni tindakan
yang meniru nenek moyang ini." Dia kembali ke sel dalam sarang
lebahnya, tak goyah dalam kesetiaannya pada sang mesin.
Ruangan berdengung, mesin kembali bekerja. Dalam dekapan yang
nyaman, dia kembali melanjutkan kehidupannya.

Akhir cerita tadi menyerupai ramalan akhir zaman. Ilusi mekanis,
pendar layar monitor, musik dari kejauhan, tiba-tiba padam.
Satu persatu piranti itu mati, lalu semuanya. Bungker menjadi
gelap. Mesin--tempat manusia bergantung sebagai pengganti dunia
nyata--berhenti bekerja. Vashti meraba-raba dalam gelap, menuju
ke jalanan luar. Dia bertemu anaknya yang datang menjenguknya
pada
saat-saat terakhir. Waktu mereka berpelukan,
sebuah pesawat
terbang menghantam pemukiman itu,
dan semuanya meledak. "Sesaat,"
Forster menulis, "mereka sempat
menyaksikan negeri orang mati,
dan sebelum bergabung dengan
alam kematian, mereka melihat
serpihan langit yang tak bernoda."

(nyomot dari buku "War of the World: Cyberspace and the
High-Tech Assault on Reality" karya Mark Slouka, 1995)

---



Visi para nabi cyberspace sudah menemukan jalannya.
Sebuah jalan tol supercepat yang ditaburi benih imperialisme
digital. Persemaian ala mesin. Mechanical Animal ala Marylin
Manson
. Dongeng yang menakutkan, analog dengan serbuan brutal
dan kejam ala tentara Mongol.

Dan itulah ras manusia, menjadi komunitas sarang lebah yang
nyaman.
Jika semua itu bisa tampak, manusia akan terlihat
terbungkus oleh
lilitan kabel serat optik yang sangat mengerikan.
Kekuatan psikologis yang sangat dibutuhkan bagi hidup sepenuhnya
di dunia nyata telah menjadi begitu lemah dan kacau, mirip otot
dan ligamen yang terlalu lama tak dipakai. Manusia semakin
kehilangan semangat hidup, semakin tak sabaran, mudah tersinggung,
akhirnya telah mempercayakan segalanya pada kode-kode biner dan
para mesin. Kendali sekarang ada di tangan mereka,
yaitu para teknoevangelis.

Teknologi memang bagai dua sisi mata uang.
Antara pil biru dan pil merah. Suka atau tidak.
Saya memang percaya dunia ini semua fana.
Dan saya menyebut mekanisme imperialis baru itu sebagai hiperfana.