Human is God, the Inhuman Predator.
Ada perbedaan gamblang antara nyata atau maya,
setidaknya dalam perspektif Foucault atau Derrida.
Apalagi ketika kita bicara tentang penemuan terbesar manusia
yaitu internet a.k.a superhighway a.k.a information age.
(FYI, World Wide Web ditemukan pertama kali tahun 1989 oleh
Tim Berners dan CERN untuk inovasi budaya di era digital
di laboratorium fisika partikel CERN di Jenewa, Swiss)
Berikut sedikit cuplikan metafora tentangnya.
---
Sebuah mimpi buruk distopia ala George Orwell, cerpen karya
E.M. Forster berjudul "The Machine Stops" (1909),
dibuka dengan adegan di "sebuah kamar kecil berbentuk segi enam,
seperti sel di dalam sarang tawon." Vashti, wanita yang tinggal
di dalam kamar itu, berbelanja atau memesan makanan lewat telepon
dan mengajar kepada pendengar yang dapat ia lihatdan dengar
tanpa perlu meninggalkan ruangan. Vashti memiliki ketakutan
patologis terhadap pengalaman langsung. Ruangan fisik, pengamatan
langsung, peristiwa tanpa perantara, semua itu telah disingkirkan
dari dunianya. Kamarnya--sebuah bungker bawah tanah yang
terhubung ke bungker lain melalui semacam komputer yang memiliki
perlengkapan untuk mengimbangi dunia luar--adalah sebuah semesta
tertutup. Forster menjelaskan, "Tak ada apa-apa dalam bungker itu.
Namun dia dapat berhubungan dengan segala yang dia pedulikan
di dunia ini." Alam telah dimusnahkan dari kehidupan manusia.
Dia menggelapkan ruangan, lalu pergi tidur. Dia bangun, dan
dibuatnya ruangan itu lebih terang. Dia makan, bertukar pikiran
dengan karib-karibnya, mendengarkan musik, menghadiri pertemuan.
Lalu dia gelapkan ruangan lagi, dan pergi tidur. Begitu terus.
Ke dalam dunia tertutup ini sesosok wajah muncul di layar biru
mirip TV. Dialah Kuno, anak laki-laki Vashti, seorang pemberontak
yang tinggal di kamar mirip kamar ibunya di belahan selatan
khatulistiwa. "Aku ingin Ibu datang kemari, menjumpaiku," katanya.
Mula-mula Vashti tak mengerti. "Bukannya aku bisa menjumpaimu?"
protes sang ibu. Akan tetapi, Kuno tak ingin bertemu ibunya
melalui mesin. Dia ingin lebih. "Saya memang dapat bersua dengan
sesuatu yang menyerupai Ibu pada layar ini, tetapi saya tak pernah
bertemu dengan Ibu," katanya. "Datanglah kemari, Bu. Kita bisa
bertatap muka dan berbincang tentang berbagai harapan dalam
benakku." Akhirnya, meski sudah dapat merasakan "kengerian yang
diciptakan oleh pengalaman langsung," Vashti setuju pergi.
Perjalanan itu sendiri merupakan pengalaman yang terdiri atas
peristiwa-peristiwa yang tak terkendali. Meskipun sarana
transportasi itu cepat dan nyaman, meskipun gegar terhadap sesuatu
yang baru teratasi (dunia ini, Forster berkisah, semuanya telah
dibuat seragam), meskipun alam telah berhasil dijinakkan,
sumber ketidaknyamanan baru kini telah muncul menggantikannya.
Misalnya saat Vashti tersandung, si pramugari, yang sifat
"manusiawinya" belum hilang sepenuhnya karena sering bertemu
orang, telah "bertindak barbar" terhadap Vashti. Lupa bahwa
manusia telah lama tidak saling bersentuhan (dalam dunia
realitas objektif), dan persentuhan tersebut telah menjadi "usang",
dia meraih tubuh Vashti dan membantunya tegak kembali, dan lalu
meminta maaf karena tak membiarkannya jatuh. Atau ketika
seseorang secara tak sengaja menjatuhkan sebuah buku (relik dari
Era Kertas), semua penumpang menjadi resah. Jalan di koridor
tidak termekanisasi. Lantai tak bisa mengembalikan buku
yang jatuh itu.
Setelah bertatap muka dengan ibunya, Kuno menceritakan tentang
kejahatannya. Dalam Zaman Mesin itu, saat pengalaman langsung
telah menjadi iblisdan dunia alamiah telah menjadi usang,
Kuno telah naik ke permukaan. Pemberontakannya tak mengenal
batas. "Kita selalu berkata bahwa ruang telah ditiadakan," tegasnya,
"tetapi kita sebenarnya bukan meniadakan ruang. Kita telah
kehilangan bagian dari diri kita!" Kuno, yang muda, agresif, dan
penuh rasa ingin tahu, telah membulatkan tekad utnuk menemukan
kembali dunia fisik. "Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu,"
klaimnya, membuat ibunya ngeri. "Kaki manusia menjadi ukuran
jarak, tangan manusia adalah ukuran kepemilikan, tubuh manusia
menjadi ukuran dari segala kehendak, cinta, dan kekuatan."
Merangkak naik menembus mesin, Kuno mengaku telah melihat
kegelapan malam yang nyata. "Saya sepertinya mendengar suara ruh
para pekerja yang setiap malam pulang menemui bintang-bintang dan
istri-istri mereka. Saya mendengar suara ruh dari semua generasi
yang dulu hidup di alam terbuka... Saya merasa, untuk pertama
kalinya, bahwa gugatan telah disuarakan terhadap korupsi
kemanusiaan ini, dan saat ruh-ruh itu menghiburku, akupun
menghibur mereka yang belum lahir (bahwa kehadiran realitas
objektif itu lebih baik). Saya merasakan bahwa manusia itu ada...
Dan semua tombol, tabung, dan mesin ini tak dilahirkan bersama
kita, dan tak menyertai kita kelak apabila kita mati, dan bukanlah
hal yang mahapenting saat kita masih hidup di sini."
Vashti, tersentak oleh pengakuan anaknya, meninggalkannya
sendirian. Dia tahu bahwa "mesin tak akan mengampuni tindakan
yang meniru nenek moyang ini." Dia kembali ke sel dalam sarang
lebahnya, tak goyah dalam kesetiaannya pada sang mesin.
Ruangan berdengung, mesin kembali bekerja. Dalam dekapan yang
nyaman, dia kembali melanjutkan kehidupannya.
Akhir cerita tadi menyerupai ramalan akhir zaman. Ilusi mekanis,
pendar layar monitor, musik dari kejauhan, tiba-tiba padam.
Satu persatu piranti itu mati, lalu semuanya. Bungker menjadi
gelap. Mesin--tempat manusia bergantung sebagai pengganti dunia
nyata--berhenti bekerja. Vashti meraba-raba dalam gelap, menuju
ke jalanan luar. Dia bertemu anaknya yang datang menjenguknya
pada saat-saat terakhir. Waktu mereka berpelukan,
sebuah pesawat terbang menghantam pemukiman itu,
dan semuanya meledak. "Sesaat,"Forster menulis, "mereka sempat
menyaksikan negeri orang mati, dan sebelum bergabung dengan
alam kematian, mereka melihat serpihan langit yang tak bernoda."
(nyomot dari buku "War of the World: Cyberspace and the
High-Tech Assault on Reality" karya Mark Slouka, 1995)
---
Visi para nabi cyberspace sudah menemukan jalannya.
Sebuah jalan tol supercepat yang ditaburi benih imperialisme
digital. Persemaian ala mesin. Mechanical Animal ala Marylin
Manson. Dongeng yang menakutkan, analog dengan serbuan brutal
dan kejam ala tentara Mongol.
Dan itulah ras manusia, menjadi komunitas sarang lebah yang
nyaman. Jika semua itu bisa tampak, manusia akan terlihat
terbungkus oleh lilitan kabel serat optik yang sangat mengerikan.
Kekuatan psikologis yang sangat dibutuhkan bagi hidup sepenuhnya
di dunia nyata telah menjadi begitu lemah dan kacau, mirip otot
dan ligamen yang terlalu lama tak dipakai. Manusia semakin
kehilangan semangat hidup, semakin tak sabaran, mudah tersinggung,
akhirnya telah mempercayakan segalanya pada kode-kode biner dan
para mesin. Kendali sekarang ada di tangan mereka,
yaitu para teknoevangelis.
Teknologi memang bagai dua sisi mata uang.
Antara pil biru dan pil merah. Suka atau tidak.
Saya memang percaya dunia ini semua fana.
Dan saya menyebut mekanisme imperialis baru itu sebagai hiperfana.
setidaknya dalam perspektif Foucault atau Derrida.
Apalagi ketika kita bicara tentang penemuan terbesar manusia
yaitu internet a.k.a superhighway a.k.a information age.
(FYI, World Wide Web ditemukan pertama kali tahun 1989 oleh
Tim Berners dan CERN untuk inovasi budaya di era digital
di laboratorium fisika partikel CERN di Jenewa, Swiss)
Berikut sedikit cuplikan metafora tentangnya.
---
Sebuah mimpi buruk distopia ala George Orwell, cerpen karya
E.M. Forster berjudul "The Machine Stops" (1909),
dibuka dengan adegan di "sebuah kamar kecil berbentuk segi enam,
seperti sel di dalam sarang tawon." Vashti, wanita yang tinggal
di dalam kamar itu, berbelanja atau memesan makanan lewat telepon
dan mengajar kepada pendengar yang dapat ia lihatdan dengar
tanpa perlu meninggalkan ruangan. Vashti memiliki ketakutan
patologis terhadap pengalaman langsung. Ruangan fisik, pengamatan
langsung, peristiwa tanpa perantara, semua itu telah disingkirkan
dari dunianya. Kamarnya--sebuah bungker bawah tanah yang
terhubung ke bungker lain melalui semacam komputer yang memiliki
perlengkapan untuk mengimbangi dunia luar--adalah sebuah semesta
tertutup. Forster menjelaskan, "Tak ada apa-apa dalam bungker itu.
Namun dia dapat berhubungan dengan segala yang dia pedulikan
di dunia ini." Alam telah dimusnahkan dari kehidupan manusia.
Dia menggelapkan ruangan, lalu pergi tidur. Dia bangun, dan
dibuatnya ruangan itu lebih terang. Dia makan, bertukar pikiran
dengan karib-karibnya, mendengarkan musik, menghadiri pertemuan.
Lalu dia gelapkan ruangan lagi, dan pergi tidur. Begitu terus.
Ke dalam dunia tertutup ini sesosok wajah muncul di layar biru
mirip TV. Dialah Kuno, anak laki-laki Vashti, seorang pemberontak
yang tinggal di kamar mirip kamar ibunya di belahan selatan
khatulistiwa. "Aku ingin Ibu datang kemari, menjumpaiku," katanya.
Mula-mula Vashti tak mengerti. "Bukannya aku bisa menjumpaimu?"
protes sang ibu. Akan tetapi, Kuno tak ingin bertemu ibunya
melalui mesin. Dia ingin lebih. "Saya memang dapat bersua dengan
sesuatu yang menyerupai Ibu pada layar ini, tetapi saya tak pernah
bertemu dengan Ibu," katanya. "Datanglah kemari, Bu. Kita bisa
bertatap muka dan berbincang tentang berbagai harapan dalam
benakku." Akhirnya, meski sudah dapat merasakan "kengerian yang
diciptakan oleh pengalaman langsung," Vashti setuju pergi.
Perjalanan itu sendiri merupakan pengalaman yang terdiri atas
peristiwa-peristiwa yang tak terkendali. Meskipun sarana
transportasi itu cepat dan nyaman, meskipun gegar terhadap sesuatu
yang baru teratasi (dunia ini, Forster berkisah, semuanya telah
dibuat seragam), meskipun alam telah berhasil dijinakkan,
sumber ketidaknyamanan baru kini telah muncul menggantikannya.
Misalnya saat Vashti tersandung, si pramugari, yang sifat
"manusiawinya" belum hilang sepenuhnya karena sering bertemu
orang, telah "bertindak barbar" terhadap Vashti. Lupa bahwa
manusia telah lama tidak saling bersentuhan (dalam dunia
realitas objektif), dan persentuhan tersebut telah menjadi "usang",
dia meraih tubuh Vashti dan membantunya tegak kembali, dan lalu
meminta maaf karena tak membiarkannya jatuh. Atau ketika
seseorang secara tak sengaja menjatuhkan sebuah buku (relik dari
Era Kertas), semua penumpang menjadi resah. Jalan di koridor
tidak termekanisasi. Lantai tak bisa mengembalikan buku
yang jatuh itu.
Setelah bertatap muka dengan ibunya, Kuno menceritakan tentang
kejahatannya. Dalam Zaman Mesin itu, saat pengalaman langsung
telah menjadi iblisdan dunia alamiah telah menjadi usang,
Kuno telah naik ke permukaan. Pemberontakannya tak mengenal
batas. "Kita selalu berkata bahwa ruang telah ditiadakan," tegasnya,
"tetapi kita sebenarnya bukan meniadakan ruang. Kita telah
kehilangan bagian dari diri kita!" Kuno, yang muda, agresif, dan
penuh rasa ingin tahu, telah membulatkan tekad utnuk menemukan
kembali dunia fisik. "Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu,"
klaimnya, membuat ibunya ngeri. "Kaki manusia menjadi ukuran
jarak, tangan manusia adalah ukuran kepemilikan, tubuh manusia
menjadi ukuran dari segala kehendak, cinta, dan kekuatan."
Merangkak naik menembus mesin, Kuno mengaku telah melihat
kegelapan malam yang nyata. "Saya sepertinya mendengar suara ruh
para pekerja yang setiap malam pulang menemui bintang-bintang dan
istri-istri mereka. Saya mendengar suara ruh dari semua generasi
yang dulu hidup di alam terbuka... Saya merasa, untuk pertama
kalinya, bahwa gugatan telah disuarakan terhadap korupsi
kemanusiaan ini, dan saat ruh-ruh itu menghiburku, akupun
menghibur mereka yang belum lahir (bahwa kehadiran realitas
objektif itu lebih baik). Saya merasakan bahwa manusia itu ada...
Dan semua tombol, tabung, dan mesin ini tak dilahirkan bersama
kita, dan tak menyertai kita kelak apabila kita mati, dan bukanlah
hal yang mahapenting saat kita masih hidup di sini."
Vashti, tersentak oleh pengakuan anaknya, meninggalkannya
sendirian. Dia tahu bahwa "mesin tak akan mengampuni tindakan
yang meniru nenek moyang ini." Dia kembali ke sel dalam sarang
lebahnya, tak goyah dalam kesetiaannya pada sang mesin.
Ruangan berdengung, mesin kembali bekerja. Dalam dekapan yang
nyaman, dia kembali melanjutkan kehidupannya.
Akhir cerita tadi menyerupai ramalan akhir zaman. Ilusi mekanis,
pendar layar monitor, musik dari kejauhan, tiba-tiba padam.
Satu persatu piranti itu mati, lalu semuanya. Bungker menjadi
gelap. Mesin--tempat manusia bergantung sebagai pengganti dunia
nyata--berhenti bekerja. Vashti meraba-raba dalam gelap, menuju
ke jalanan luar. Dia bertemu anaknya yang datang menjenguknya
pada saat-saat terakhir. Waktu mereka berpelukan,
sebuah pesawat terbang menghantam pemukiman itu,
dan semuanya meledak. "Sesaat,"Forster menulis, "mereka sempat
menyaksikan negeri orang mati, dan sebelum bergabung dengan
alam kematian, mereka melihat serpihan langit yang tak bernoda."
(nyomot dari buku "War of the World: Cyberspace and the
High-Tech Assault on Reality" karya Mark Slouka, 1995)
---
Visi para nabi cyberspace sudah menemukan jalannya.
Sebuah jalan tol supercepat yang ditaburi benih imperialisme
digital. Persemaian ala mesin. Mechanical Animal ala Marylin
Manson. Dongeng yang menakutkan, analog dengan serbuan brutal
dan kejam ala tentara Mongol.
Dan itulah ras manusia, menjadi komunitas sarang lebah yang
nyaman. Jika semua itu bisa tampak, manusia akan terlihat
terbungkus oleh lilitan kabel serat optik yang sangat mengerikan.
Kekuatan psikologis yang sangat dibutuhkan bagi hidup sepenuhnya
di dunia nyata telah menjadi begitu lemah dan kacau, mirip otot
dan ligamen yang terlalu lama tak dipakai. Manusia semakin
kehilangan semangat hidup, semakin tak sabaran, mudah tersinggung,
akhirnya telah mempercayakan segalanya pada kode-kode biner dan
para mesin. Kendali sekarang ada di tangan mereka,
yaitu para teknoevangelis.
Teknologi memang bagai dua sisi mata uang.
Antara pil biru dan pil merah. Suka atau tidak.
Saya memang percaya dunia ini semua fana.
Dan saya menyebut mekanisme imperialis baru itu sebagai hiperfana.
2 Thoughts You Share:
1/ first of all, nikk bukan harmoko dan gw bukan pak harto : gak perlu minta petunjuk hehehe :P hiperfana? ck, ck..
2/pernah nonton "the fight club" gak? di situ tokoh yg diperankan brad pitt bilang, "suatu saat apa yang kita miliki akan memiliki kita" (kira2 begitu, persisnya lupa). lantas apa kita harus takut sama ciptaan kita sendiri? imho, intinya keseimbangan. kita sendiri yg tahu sejauh mana ketergantungan kita terhadap sesuatu. ada lho orang yg bisa aja tiba2 muak dengerin musik, nonton tv, karena dia merasa sepertinya kok gak ada satu pun yg memberikan apa yg dia cari. semuanya berasa semu - gw gak bisa jelasinnya segamblang nikk. tapi tahu kan rasanya gimana ;)
3/terlepas dari kemampuan atau kemauan seseorang untuk membedakan mana yg nyata dan maya, media seperti tv dan internet terbukti mempengaruhi fakta yg kita alami sehari2. bahkan kita seakan2 malah kepingin 'nyemplung' ke sana :) kenapa? apakah karena manusia yg tidak mau keluar dari "zona nyaman"-nya seperti dialami vashti? apakah karena melalui dunia maya kita lebih bisa memilih "realitas" sesuai kehendak sendiri? bukankah mawas diri hanya beda tipis dengan kemalasan?
4/kadang2 gw merasa semua teknologi canggih yg diciptakan manusia pada akhirnya bermuara pada pemenuhan kebutuhan mendasar yg sangat human : komunikasi. sosialisasi (jadi malu sama si mpus nikk itu :P :D)
5/lihat pinternya marylin manson waktu diwawancara michael moore? :)
6/sudah baca "olenka" or "orang2 bloomington"-nya budi darma? ulasan menarik tentang rumitnya hubungan antarmanusia
btw, such a nice translation. gak coba dikirim ke mana, gitu? sayang sekali kalo ternyata lebih banyak orang bisa membacanya -- gak alergi mendapat pengakuan atas apa pun, tho? ;)
wah, kembalian si Mpok banyak banget nih... makasih makasih... :)
kebetulan saja internet kemarin ngadat 3 hari, jadi agak sedikit terbebas nih Mpok... Lagi pula blom sempet baca Olenka, dan dengerin lagi Marylin Manson sebelom bobo... hehehehe...
apa mending pada baca bukunya si Mark Slouka tadi? lebih gamblang kiranya.
klo masalah alergi, kadang saya suka panik sendiri ketika deket ama cewek cantik... :P
Post a Comment
<< Home