Agama yang Gersang. REFUSE it!
"Segala sesuatu yang bersifat informasional dan penting bagi
kepentingan individu... akan dijual, atau dibagikan secara gratis,
di cyberspace."
--Michael Benedikt, "Cyberspace: First step"
Saya punya teman berprofesi sebagai pesulap. Belom kesohor sih.
Namun eksistensinya cukup mengagetkan di blantika aksi tipu-tipu.
Entah dia berguru pada siapa saya tidak tahu. Barangkali dari
informasi di situs David Copperfield atau jadi murid terpandai
dari pesulap lokal seperti Mr.Robin, saya kurang tahu.
Berbicara sumber informasi, saya tak bisa mengelak dari kehadiran
budaya populer baru yaitu World Wide Web. Nyambung dari ulasan
sebelumnya, bahwa kehebatan kecerdasan manusia kadang memang
di luar dugaan. Anda akan dibuat menangis berkabung karena ikan
elektronik piaraan Anda (kasus Tamagochi atau Aquazone) mati
karena Anda tinggal pergi selama berbulan-bulan ekspedisi
ke Kanchenjunga. Ya, bahkan seorang pendaki gunung pun,
yang terbiasa membakar semangatnya dengan bersentuhan dengan
dinginnya badai salju dan sapaan akrab singa gunung bisa pula
berstandar ganda. Tidak ada yang salah. Selama dia sadar
bahwa jiwa masih membutuhkan makan.
MADNESS IN THE AGE OF AQUARIUS >>
Seperti yang ditegaskan oleh E.O. Wilson, biolog peraih
hadiah nobel, "Otak berevolusi di dalam dunia biosentris, bukan
dunia yang diatur mesin." Terjebak dalam dunia yang semakin asing
ini yang berbenturan dengan diri biologis kita, adalah sebuah
keajaiban. Ajaib bukan karena orang-orang semakin larut atau
bahkan memeluk kepercayaan tentangnya, tapi keajaiban jika kita
mampu mengatasinya, menjaga jarak dengannya. Inilah argumen
yang paling kuat untuk melakukan counterbalance dengan
budaya baru tadi, yaitu dari sudut pandang biologis.
Tampaknya kita lebih suka memilih pasif menonton TV daripada
bersosialisasi dengan sahabat atau tetangga di warung kopi.
Tampaknya saling sapa di friendster (dengan bulletin board-nya
yang begitu sampah, lihat saja: 200.000 hal yang lu lakukan sebelum
mati ketawa ala Guatemala!) lebih diutamakan ketimbang
bersilaturahmi ke tempat sodara, bahkan orang tua sendiri.
(Anjangsana dapat membuat imunitas tubuh kita meningkat selama
dua hari dan umur kita akan lebih panjang). Kesendirian yang
meniadakan ruang kosong dan tenang, dimana setiap permukaan
senantiasa hiruk pikuk, dan tidak ada lagi tempat untuk kontemplasi.
Paradoks! Bahkan, retorika para teknoevangelis seperti
Kevin Kelly, pengarang buku Out of Control, ternyata sering
bertolak belakang; di depan rumah 'pintar' Bill Gates di Xanadu
terdapat muara dan sungai tempat ikan salmon berkubang.
Kita pun menanggung resiko atas terputusnya masa lalu biologis kita
yang dalam pemaknaan lebih dalam, merupakan dasar dari seluruh
pengetahuan kita, sejarah kita, dan tempat kita berpijak.
Karena manusia secara genetis telah merespon lingkungannya dengan
cara-cara tententu selama berabad-abad. Kita menanggapi secara
positif melebur dalam alam, hutan, sungai, danau, gunung, karena
selama ribuan generasi, alam adalah rumah kita.
Dalam modernisme (khususnya Barat), hal ini dianggap progresif,
sebuah kemajuan yang tercapai karena dianggap evolusi manusia
berjalan menuju pencerahan, kemajuan menuju Tuhan. Seperti pada
karya filsuf positivisme Jerman Friedrich Wilhelm Joseph von
Schelling (1775- 1854) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831), bahwa setiap manusia sedang berproses tumbuh-
berkembang menuju potensi terbesarnya, dan jika potensi tertinggi
itu disebut sebagai Tuhan, maka manusia tumbuh menuju
ketuhanannya. Hal ini beroposisi dengan mitos universal era
pra-modern yang dimiliki ranah agama tentang
regressive progression, yaitu sebuah catatan kemunduran sejarah,
menjauh dari yang ilahiyah. Dekadensi. Terutama pandangan
secara kontekstual. (catatan dari buku Tao of Physics karya
Fritjof Capra, silakan baca, bagus kok :)
Terceraikan dari lingkungan fisik kita pasti akan berubah menjadi
kegilaan, jauh dari sumber kewarasan. Mengasingkan diri,
mengunci diri bersama benda-benda ciptaan kita... kelak Bumi pun
hanya akan mencerminkan citra kegilaan dari pikiran yang
terpenjara dalam dirinya sendiri.
Itulah mengapa kita semakin terdistraksi. Informasi yang bejibun
yang tercerap lewat indera kita malah justru menimbulkan lebih
banyak problema secara ekonomi, sosial, terlebih budaya.
Sungguh sikap skeptis inilah yang menggerakkan para aktifis
counterculture yang selalu berharap ada equilibrium yang terwujud.
Dan tampaknya dunia MATRIX harus berusaha mensejajarkan kembali
dengan kebutuhan manusia.
---
Tentunya saya juga tidak akan menolak kehadiran ponsel canggih
atau fitur newsgroup dan instant messaging (untuk saat ini),
karena memang saya membutuhkannya di saat dibutuhkan.
Tentunya tidak semua chatroom mendiskusikan tetek bengek yang
tanpa makna, seperti forum diskusi kenapa sinetron Tersanjung
dibuat sampai episode 13 atau lebih. Namun juga tidak sedikit relung-
relung cyberspace menggodok wawasan dan pengetahuan berguna
semacam diskusi membudidayakan asparagus, atau perilaku
mekanika kuantum dalam objek eksotik seperti quasar.
Menjaga batas kewarasan dengan tidak mengisolasi diri atau terlalu
larut dalam permainan tadi seharusnya itulah titik keseimbangan
(equilibrium). Imbalannya bukan utopia, tapi adalah kesehatan
psikologis. Seperti kata temen saya, Mpok Luwak bilang,
entah mau jutek apa bosen pada rutinitas. Sebuah resiko yang harus
ditanggung atas ambisi manusia.
Adakalanya saya jadi sedikit paranoia jika anak-anak saya nanti
terlalu asik bersosialisasi dengan game-game elektronik (seperti
mereka bernafas) daripada bermain layang-layang di lapangan atau
petak umpet yang membutuhkan aktifitias fisik.
Walau kedengarannya skeptis, revolusi digital bagi saya adalah
kejahatan terbesar manusia. Dia menawarkan sangat sedikit tapi
menuntut terlalu banyak. Yang ditawarkannya adalah informasi
(dan lebih banyak informasi) serta suatu jenis keterhubungan baru
yang abstrak. Tetapi dia meminta kita membayar kesetiaan kita pada
interaksi terhadap dunia fisik, mengalihkannya ke dunia maya.
Ini transaksi yang buruk. Sama buruknya dengan seorang account
executive atau sales specialist yang sok tau tentang barang
dagangannya, bahkan seorang desainer grafis yang menciptakan
interface graphic serealistis mungkin dan tampak begitu memikat.
Yang baik bagi bisnis, tidak selalu baik bagi kebudayaan.
Revolusi digital mungkin baik,
tapi bagi kebudayaan,
itu berita buruk!.
Karena tidak semua orang berbisnis.
kepentingan individu... akan dijual, atau dibagikan secara gratis,
di cyberspace."
--Michael Benedikt, "Cyberspace: First step"
Saya punya teman berprofesi sebagai pesulap. Belom kesohor sih.
Namun eksistensinya cukup mengagetkan di blantika aksi tipu-tipu.
Entah dia berguru pada siapa saya tidak tahu. Barangkali dari
informasi di situs David Copperfield atau jadi murid terpandai
dari pesulap lokal seperti Mr.Robin, saya kurang tahu.
Berbicara sumber informasi, saya tak bisa mengelak dari kehadiran
budaya populer baru yaitu World Wide Web. Nyambung dari ulasan
sebelumnya, bahwa kehebatan kecerdasan manusia kadang memang
di luar dugaan. Anda akan dibuat menangis berkabung karena ikan
elektronik piaraan Anda (kasus Tamagochi atau Aquazone) mati
karena Anda tinggal pergi selama berbulan-bulan ekspedisi
ke Kanchenjunga. Ya, bahkan seorang pendaki gunung pun,
yang terbiasa membakar semangatnya dengan bersentuhan dengan
dinginnya badai salju dan sapaan akrab singa gunung bisa pula
berstandar ganda. Tidak ada yang salah. Selama dia sadar
bahwa jiwa masih membutuhkan makan.
MADNESS IN THE AGE OF AQUARIUS >>
Seperti yang ditegaskan oleh E.O. Wilson, biolog peraih
hadiah nobel, "Otak berevolusi di dalam dunia biosentris, bukan
dunia yang diatur mesin." Terjebak dalam dunia yang semakin asing
ini yang berbenturan dengan diri biologis kita, adalah sebuah
keajaiban. Ajaib bukan karena orang-orang semakin larut atau
bahkan memeluk kepercayaan tentangnya, tapi keajaiban jika kita
mampu mengatasinya, menjaga jarak dengannya. Inilah argumen
yang paling kuat untuk melakukan counterbalance dengan
budaya baru tadi, yaitu dari sudut pandang biologis.
Tampaknya kita lebih suka memilih pasif menonton TV daripada
bersosialisasi dengan sahabat atau tetangga di warung kopi.
Tampaknya saling sapa di friendster (dengan bulletin board-nya
yang begitu sampah, lihat saja: 200.000 hal yang lu lakukan sebelum
mati ketawa ala Guatemala!) lebih diutamakan ketimbang
bersilaturahmi ke tempat sodara, bahkan orang tua sendiri.
(Anjangsana dapat membuat imunitas tubuh kita meningkat selama
dua hari dan umur kita akan lebih panjang). Kesendirian yang
meniadakan ruang kosong dan tenang, dimana setiap permukaan
senantiasa hiruk pikuk, dan tidak ada lagi tempat untuk kontemplasi.
Paradoks! Bahkan, retorika para teknoevangelis seperti
Kevin Kelly, pengarang buku Out of Control, ternyata sering
bertolak belakang; di depan rumah 'pintar' Bill Gates di Xanadu
terdapat muara dan sungai tempat ikan salmon berkubang.
Kita pun menanggung resiko atas terputusnya masa lalu biologis kita
yang dalam pemaknaan lebih dalam, merupakan dasar dari seluruh
pengetahuan kita, sejarah kita, dan tempat kita berpijak.
Karena manusia secara genetis telah merespon lingkungannya dengan
cara-cara tententu selama berabad-abad. Kita menanggapi secara
positif melebur dalam alam, hutan, sungai, danau, gunung, karena
selama ribuan generasi, alam adalah rumah kita.
Dalam modernisme (khususnya Barat), hal ini dianggap progresif,
sebuah kemajuan yang tercapai karena dianggap evolusi manusia
berjalan menuju pencerahan, kemajuan menuju Tuhan. Seperti pada
karya filsuf positivisme Jerman Friedrich Wilhelm Joseph von
Schelling (1775- 1854) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831), bahwa setiap manusia sedang berproses tumbuh-
berkembang menuju potensi terbesarnya, dan jika potensi tertinggi
itu disebut sebagai Tuhan, maka manusia tumbuh menuju
ketuhanannya. Hal ini beroposisi dengan mitos universal era
pra-modern yang dimiliki ranah agama tentang
regressive progression, yaitu sebuah catatan kemunduran sejarah,
menjauh dari yang ilahiyah. Dekadensi. Terutama pandangan
secara kontekstual. (catatan dari buku Tao of Physics karya
Fritjof Capra, silakan baca, bagus kok :)
Terceraikan dari lingkungan fisik kita pasti akan berubah menjadi
kegilaan, jauh dari sumber kewarasan. Mengasingkan diri,
mengunci diri bersama benda-benda ciptaan kita... kelak Bumi pun
hanya akan mencerminkan citra kegilaan dari pikiran yang
terpenjara dalam dirinya sendiri.
Itulah mengapa kita semakin terdistraksi. Informasi yang bejibun
yang tercerap lewat indera kita malah justru menimbulkan lebih
banyak problema secara ekonomi, sosial, terlebih budaya.
Sungguh sikap skeptis inilah yang menggerakkan para aktifis
counterculture yang selalu berharap ada equilibrium yang terwujud.
Dan tampaknya dunia MATRIX harus berusaha mensejajarkan kembali
dengan kebutuhan manusia.
---
Tentunya saya juga tidak akan menolak kehadiran ponsel canggih
atau fitur newsgroup dan instant messaging (untuk saat ini),
karena memang saya membutuhkannya di saat dibutuhkan.
Tentunya tidak semua chatroom mendiskusikan tetek bengek yang
tanpa makna, seperti forum diskusi kenapa sinetron Tersanjung
dibuat sampai episode 13 atau lebih. Namun juga tidak sedikit relung-
relung cyberspace menggodok wawasan dan pengetahuan berguna
semacam diskusi membudidayakan asparagus, atau perilaku
mekanika kuantum dalam objek eksotik seperti quasar.
Menjaga batas kewarasan dengan tidak mengisolasi diri atau terlalu
larut dalam permainan tadi seharusnya itulah titik keseimbangan
(equilibrium). Imbalannya bukan utopia, tapi adalah kesehatan
psikologis. Seperti kata temen saya, Mpok Luwak bilang,
entah mau jutek apa bosen pada rutinitas. Sebuah resiko yang harus
ditanggung atas ambisi manusia.
Adakalanya saya jadi sedikit paranoia jika anak-anak saya nanti
terlalu asik bersosialisasi dengan game-game elektronik (seperti
mereka bernafas) daripada bermain layang-layang di lapangan atau
petak umpet yang membutuhkan aktifitias fisik.
Walau kedengarannya skeptis, revolusi digital bagi saya adalah
kejahatan terbesar manusia. Dia menawarkan sangat sedikit tapi
menuntut terlalu banyak. Yang ditawarkannya adalah informasi
(dan lebih banyak informasi) serta suatu jenis keterhubungan baru
yang abstrak. Tetapi dia meminta kita membayar kesetiaan kita pada
interaksi terhadap dunia fisik, mengalihkannya ke dunia maya.
Ini transaksi yang buruk. Sama buruknya dengan seorang account
executive atau sales specialist yang sok tau tentang barang
dagangannya, bahkan seorang desainer grafis yang menciptakan
interface graphic serealistis mungkin dan tampak begitu memikat.
Yang baik bagi bisnis, tidak selalu baik bagi kebudayaan.
Revolusi digital mungkin baik,
tapi bagi kebudayaan,
itu berita buruk!.
Karena tidak semua orang berbisnis.
3 Thoughts You Share:
kuncinya memilah informasi sesuai kebutuhan kan ya.. sebab gak semua info itu berguna, bahkan banyak yg menyesatkan dan buang2 memori otak (untungnya otak manusia supercanggih, hehe..)
btw, para industrialis itu tahu persis. interaksi maya memang jauh lebih mudah and less painless, hahaha! :D
eh, maap, salah ketik, maksute, less painful.. ugh..
hehehe...
kebutuhan tertier dijadikan prioritas utama, itu cirinya, Mpok.
walaupun kadang mendapat pertentangan dari kelompok pro modernitas yang ingin meruntuhkan spiritualisme pra-modern.
ini bukan masalah 'sok suci' atau tidak.
Post a Comment
<< Home