"Kancil memang binatang lemah. Tapi dia cerdik." Begitu kata nenek saya dulu saat cerita tentang si Kancil dengan segala kisahnya seperti layaknya serial remaja STOP era 90-an.
Apa yang melatarbelakangi cerita itu, saya tidak tahu. Apa mungkin juga karena muatannya yang sarat konfrontasi itu? Tentunya nenek saya tidak pengin pesan licik yang kita ambil. Tapi dia juga bisa jadi tidak tahu asal-usulnya. Jadi apa benar sejak zaman dulu dahulu, kita secara tidak sadar diajari menipu, kekerasan, sekaligus konfrontasi? "Kancil Mencuri Ketimun", "Kancil dan Buaya", "Kancil dan Gajah", dan beberapa seri sisanya yang (buat anak-anak) 'mengerikan' itu.
Itu sastra. (Mungkin secara naif saya mengakui saya kurang paham dunia sastra. Dari puisi Ajip Rosidi hingga novelis Dan Brown, saya merasa terlalu awam, walaupun itu masih dalam ranah seni.) Dan memang harus dipertanggungjawabkan. Mulai dari karya sastra berpendar kata-kata indah, sampai stensilan mesum Enny Arrow. Dan permasalahan yang diangkat adalah seputar kita. Jadi yang bertanggungjawab adalah masyarakat yang melahirkannya. Begitu kata Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI.
Bisa jadi roh karya sastra adalah tidak hanya dari penulisnya, tetapi interpretasi pembacanya secara produktif memberikan makna lebih dari sekedar membacanya. Seperti kata Zawawi Imron, nampaknya budaya menyukai karya sastra adalah milik orang- orang yang terjernihkan hidupnya, menjadi cerdas istilahnya. (Oops, sayangnya saya kok belum mampu begitu... hiks...)
So, budaya storytelling seperti kisah Kancil dkk dapat terus ada, dan inti cerita tidak menjadi bumerang pada generasi masa depan.
"Segala sesuatu yang bersifat informasional dan penting bagi kepentingan individu... akan dijual, atau dibagikan secara gratis, di cyberspace." --Michael Benedikt, "Cyberspace: First step"
Saya punya teman berprofesi sebagai pesulap. Belom kesohor sih. Namun eksistensinya cukup mengagetkan di blantika aksi tipu-tipu. Entah dia berguru pada siapa saya tidak tahu. Barangkali dari informasi di situs David Copperfield atau jadi murid terpandai dari pesulap lokal seperti Mr.Robin, saya kurang tahu.
Berbicara sumber informasi, saya tak bisa mengelak dari kehadiran budaya populer baru yaitu World Wide Web. Nyambung dari ulasan sebelumnya, bahwa kehebatan kecerdasan manusia kadang memang di luar dugaan. Anda akan dibuat menangis berkabung karena ikan elektronik piaraan Anda (kasus Tamagochi atau Aquazone) mati karena Anda tinggal pergi selama berbulan-bulan ekspedisi ke Kanchenjunga. Ya, bahkan seorang pendaki gunung pun, yang terbiasa membakar semangatnya dengan bersentuhan dengan dinginnya badai salju dan sapaan akrab singa gunung bisa pula berstandar ganda. Tidak ada yang salah. Selama dia sadar bahwa jiwa masih membutuhkan makan.
Seperti yang ditegaskan oleh E.O. Wilson, biolog peraih hadiah nobel, "Otak berevolusi di dalam dunia biosentris, bukan dunia yang diatur mesin." Terjebak dalam dunia yang semakin asing ini yang berbenturan dengan diri biologis kita, adalah sebuah keajaiban. Ajaib bukan karena orang-orang semakin larut atau bahkan memeluk kepercayaan tentangnya, tapi keajaiban jika kita mampu mengatasinya, menjaga jarak dengannya. Inilah argumen yang paling kuat untuk melakukan counterbalance dengan budaya baru tadi, yaitu dari sudut pandang biologis.
Tampaknya kita lebih suka memilih pasif menonton TV daripada bersosialisasi dengan sahabat atau tetangga di warung kopi. Tampaknya saling sapa di friendster (dengan bulletin board-nya yang begitu sampah, lihat saja: 200.000 hal yang lu lakukan sebelum mati ketawa ala Guatemala!) lebih diutamakan ketimbang bersilaturahmi ke tempat sodara, bahkan orang tua sendiri. (Anjangsana dapat membuat imunitas tubuh kita meningkat selama dua hari dan umur kita akan lebih panjang). Kesendirian yang meniadakan ruang kosong dan tenang, dimana setiap permukaan senantiasa hiruk pikuk, dan tidak ada lagi tempat untuk kontemplasi. Paradoks! Bahkan, retorika para teknoevangelis seperti Kevin Kelly, pengarang buku Out of Control, ternyata sering bertolak belakang; di depan rumah 'pintar' Bill Gates di Xanadu terdapat muara dan sungai tempat ikan salmon berkubang.
Kita pun menanggung resiko atas terputusnya masa lalu biologis kita yang dalam pemaknaan lebih dalam, merupakan dasar dari seluruh pengetahuan kita, sejarah kita, dan tempat kita berpijak. Karena manusia secara genetis telah merespon lingkungannya dengan cara-cara tententu selama berabad-abad. Kita menanggapi secara positif melebur dalam alam, hutan, sungai, danau, gunung, karena selama ribuan generasi, alam adalah rumah kita. Dalam modernisme (khususnya Barat), hal ini dianggap progresif, sebuah kemajuan yang tercapai karena dianggap evolusi manusia berjalan menuju pencerahan, kemajuan menuju Tuhan. Seperti pada karya filsuf positivisme Jerman Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775- 1854) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), bahwa setiap manusia sedang berproses tumbuh- berkembang menuju potensi terbesarnya, dan jika potensi tertinggi itu disebut sebagai Tuhan, maka manusia tumbuh menuju ketuhanannya. Hal ini beroposisi dengan mitos universal era pra-modern yang dimiliki ranah agama tentang regressive progression, yaitu sebuah catatan kemunduran sejarah, menjauh dari yang ilahiyah. Dekadensi. Terutama pandangan secara kontekstual. (catatan dari buku Tao of Physics karya Fritjof Capra,silakan baca, bagus kok :)
Terceraikan dari lingkungan fisik kita pasti akan berubah menjadi kegilaan, jauh dari sumber kewarasan. Mengasingkan diri, mengunci diri bersama benda-benda ciptaan kita... kelak Bumi pun hanya akan mencerminkan citra kegilaan dari pikiran yang terpenjara dalam dirinya sendiri.
Itulah mengapa kita semakin terdistraksi. Informasi yang bejibun yang tercerap lewat indera kita malah justru menimbulkan lebih banyak problema secara ekonomi, sosial, terlebih budaya. Sungguh sikap skeptis inilah yang menggerakkan para aktifis counterculture yang selalu berharap ada equilibrium yang terwujud.
Dan tampaknya dunia MATRIX harus berusaha mensejajarkan kembali dengan kebutuhan manusia.
---
Tentunya saya juga tidak akan menolak kehadiran ponsel canggih atau fitur newsgroup dan instant messaging (untuk saat ini), karena memang saya membutuhkannya di saat dibutuhkan. Tentunya tidak semua chatroom mendiskusikan tetek bengek yang tanpa makna, seperti forum diskusi kenapa sinetron Tersanjung dibuat sampai episode 13 atau lebih. Namun juga tidak sedikit relung- relung cyberspace menggodok wawasan dan pengetahuan berguna semacam diskusi membudidayakan asparagus, atau perilaku mekanika kuantum dalam objek eksotik seperti quasar.
Menjaga batas kewarasan dengan tidak mengisolasi diri atau terlalu larut dalam permainan tadi seharusnya itulah titik keseimbangan (equilibrium). Imbalannya bukan utopia, tapi adalah kesehatan psikologis. Seperti kata temen saya, Mpok Luwak bilang, entah mau jutek apa bosen pada rutinitas. Sebuah resiko yang harus ditanggung atas ambisi manusia.
Adakalanya saya jadi sedikit paranoia jika anak-anak saya nanti terlalu asik bersosialisasi dengan game-game elektronik (seperti mereka bernafas) daripada bermain layang-layang di lapangan atau petak umpet yang membutuhkan aktifitias fisik.
Walau kedengarannya skeptis, revolusi digital bagi saya adalah kejahatan terbesar manusia. Dia menawarkan sangat sedikit tapi menuntut terlalu banyak. Yang ditawarkannya adalah informasi (dan lebih banyak informasi) serta suatu jenis keterhubungan baru yang abstrak. Tetapi dia meminta kita membayar kesetiaan kita pada interaksi terhadap dunia fisik, mengalihkannya ke dunia maya. Ini transaksi yang buruk. Sama buruknya dengan seorang account executive atau sales specialist yang sok tau tentang barang dagangannya, bahkan seorang desainer grafis yang menciptakan interface graphic serealistis mungkin dan tampak begitu memikat.
Yang baik bagi bisnis, tidak selalu baik bagi kebudayaan. Revolusi digital mungkin baik, tapi bagi kebudayaan, itu berita buruk!.
Ada perbedaan gamblang antara nyata atau maya, setidaknya dalam perspektif Foucault atau Derrida. Apalagi ketika kita bicara tentang penemuan terbesar manusia yaitu internet a.k.a superhighway a.k.a information age. (FYI, World Wide Web ditemukan pertama kali tahun 1989 oleh Tim Berners dan CERN untuk inovasi budaya di era digital di laboratorium fisika partikel CERN di Jenewa, Swiss)
Berikut sedikit cuplikan metafora tentangnya.
---
Sebuah mimpi buruk distopia ala George Orwell, cerpen karya E.M. Forster berjudul "The Machine Stops" (1909), dibuka dengan adegan di "sebuah kamar kecil berbentuk segi enam, seperti sel di dalam sarang tawon." Vashti, wanita yang tinggal di dalam kamar itu, berbelanja atau memesan makanan lewat telepon dan mengajar kepada pendengar yang dapat ia lihatdan dengar tanpa perlu meninggalkan ruangan. Vashti memiliki ketakutan patologis terhadap pengalaman langsung. Ruangan fisik, pengamatan langsung, peristiwa tanpa perantara, semua itu telah disingkirkan dari dunianya. Kamarnya--sebuah bungker bawah tanah yang terhubung ke bungker lain melalui semacam komputer yang memiliki perlengkapan untuk mengimbangi dunia luar--adalah sebuah semesta tertutup. Forster menjelaskan, "Tak ada apa-apa dalam bungker itu. Namun dia dapat berhubungan dengan segala yang dia pedulikan di dunia ini." Alam telah dimusnahkan dari kehidupan manusia. Dia menggelapkan ruangan, lalu pergi tidur. Dia bangun, dan dibuatnya ruangan itu lebih terang. Dia makan, bertukar pikiran dengan karib-karibnya, mendengarkan musik, menghadiri pertemuan. Lalu dia gelapkan ruangan lagi, dan pergi tidur. Begitu terus.
Ke dalam dunia tertutup ini sesosok wajah muncul di layar biru mirip TV. Dialah Kuno, anak laki-laki Vashti, seorang pemberontak yang tinggal di kamar mirip kamar ibunya di belahan selatan khatulistiwa. "Aku ingin Ibu datang kemari, menjumpaiku," katanya. Mula-mula Vashti tak mengerti. "Bukannya aku bisa menjumpaimu?" protes sang ibu. Akan tetapi, Kuno tak ingin bertemu ibunya melalui mesin. Dia ingin lebih. "Saya memang dapat bersua dengan sesuatu yang menyerupai Ibu pada layar ini, tetapi saya tak pernah bertemu dengan Ibu," katanya. "Datanglah kemari, Bu. Kita bisa bertatap muka dan berbincang tentang berbagai harapan dalam benakku." Akhirnya, meski sudah dapat merasakan "kengerian yang diciptakan oleh pengalaman langsung," Vashti setuju pergi.
Perjalanan itu sendiri merupakan pengalaman yang terdiri atas peristiwa-peristiwa yang tak terkendali. Meskipun sarana transportasi itu cepat dan nyaman, meskipun gegar terhadap sesuatu yang baru teratasi (dunia ini, Forster berkisah, semuanya telah dibuat seragam), meskipun alam telah berhasil dijinakkan, sumber ketidaknyamanan baru kini telah muncul menggantikannya. Misalnya saat Vashti tersandung, si pramugari, yang sifat "manusiawinya" belum hilang sepenuhnya karena sering bertemu orang, telah "bertindak barbar" terhadap Vashti. Lupa bahwa manusia telah lama tidak saling bersentuhan (dalam dunia realitas objektif), dan persentuhan tersebut telah menjadi "usang", dia meraih tubuh Vashti dan membantunya tegak kembali, dan lalu meminta maaf karena tak membiarkannya jatuh. Atau ketika seseorang secara tak sengaja menjatuhkan sebuah buku (relik dari Era Kertas), semua penumpang menjadi resah. Jalan di koridor tidak termekanisasi. Lantai tak bisa mengembalikan buku yang jatuh itu.
Setelah bertatap muka dengan ibunya, Kuno menceritakan tentang kejahatannya. Dalam Zaman Mesin itu, saat pengalaman langsung telah menjadi iblisdan dunia alamiah telah menjadi usang, Kuno telah naik ke permukaan. Pemberontakannya tak mengenal batas. "Kita selalu berkata bahwa ruang telah ditiadakan," tegasnya, "tetapi kita sebenarnya bukan meniadakan ruang. Kita telah kehilangan bagian dari diri kita!" Kuno, yang muda, agresif, dan penuh rasa ingin tahu, telah membulatkan tekad utnuk menemukan kembali dunia fisik. "Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu," klaimnya, membuat ibunya ngeri. "Kaki manusia menjadi ukuran jarak, tangan manusia adalah ukuran kepemilikan, tubuh manusia menjadi ukuran dari segala kehendak, cinta, dan kekuatan."
Merangkak naik menembus mesin, Kuno mengaku telah melihat kegelapan malam yang nyata. "Saya sepertinya mendengar suara ruh para pekerja yang setiap malam pulang menemui bintang-bintang dan istri-istri mereka. Saya mendengar suara ruh dari semua generasi yang dulu hidup di alam terbuka... Saya merasa, untuk pertama kalinya, bahwa gugatan telah disuarakan terhadap korupsi kemanusiaan ini, dan saat ruh-ruh itu menghiburku, akupun menghibur mereka yang belum lahir (bahwa kehadiran realitas objektif itu lebih baik). Saya merasakan bahwa manusia itu ada... Dan semua tombol, tabung, dan mesin ini tak dilahirkan bersama kita, dan tak menyertai kita kelak apabila kita mati, dan bukanlah hal yang mahapenting saat kita masih hidup di sini."
Vashti, tersentak oleh pengakuan anaknya, meninggalkannya sendirian. Dia tahu bahwa "mesin tak akan mengampuni tindakan yang meniru nenek moyang ini." Dia kembali ke sel dalam sarang lebahnya, tak goyah dalam kesetiaannya pada sang mesin. Ruangan berdengung, mesin kembali bekerja. Dalam dekapan yang nyaman, dia kembali melanjutkan kehidupannya.
Akhir cerita tadi menyerupai ramalan akhir zaman. Ilusi mekanis, pendar layar monitor, musik dari kejauhan, tiba-tiba padam. Satu persatu piranti itu mati, lalu semuanya. Bungker menjadi gelap. Mesin--tempat manusia bergantung sebagai pengganti dunia nyata--berhenti bekerja. Vashti meraba-raba dalam gelap, menuju ke jalanan luar. Dia bertemu anaknya yang datang menjenguknya pada saat-saat terakhir. Waktu mereka berpelukan, sebuah pesawat terbang menghantam pemukiman itu, dan semuanya meledak. "Sesaat,"Forster menulis, "mereka sempat menyaksikan negeri orang mati, dan sebelum bergabung dengan alam kematian, mereka melihat serpihan langit yang tak bernoda."
(nyomot dari buku "War of the World: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality" karya Mark Slouka, 1995)
---
Visi para nabi cyberspace sudah menemukan jalannya. Sebuah jalan tol supercepat yang ditaburi benih imperialisme digital. Persemaian ala mesin. Mechanical Animal ala Marylin Manson. Dongeng yang menakutkan, analog dengan serbuan brutal dan kejam ala tentara Mongol.
Dan itulah ras manusia, menjadi komunitas sarang lebah yang nyaman. Jika semua itu bisa tampak, manusia akan terlihat terbungkus oleh lilitan kabel serat optik yang sangat mengerikan. Kekuatan psikologis yang sangat dibutuhkan bagi hidup sepenuhnya di dunia nyata telah menjadi begitu lemah dan kacau, mirip otot dan ligamen yang terlalu lama tak dipakai. Manusia semakin kehilangan semangat hidup, semakin tak sabaran, mudah tersinggung, akhirnya telah mempercayakan segalanya pada kode-kode biner dan para mesin. Kendali sekarang ada di tangan mereka, yaitu para teknoevangelis.
Teknologi memang bagai dua sisi mata uang. Antara pil biru dan pil merah. Suka atau tidak. Saya memang percaya dunia ini semua fana. Dan saya menyebut mekanisme imperialis baru itu sebagai hiperfana.
I know this sounds naive, but there is so much crap in this world, and then suddenly, there is honesty and humanity.
Leave the beaten track occasionally and dive into the woods.
Every time you do so, you will be certain to find something that you have never seen before.
Follow it up, explore all around it, and before you know it, you will have something worth thinking about to occupy your mind.
All really big discoveries are the results of thought.
And life is simple, either EXTREME or NOTHING!
So, fasten your safety belt, we're on a blistering bumpy road!
Have a nice trip.