and be One in a nucleon ...Reductio ad Absurdum... (In The Kingdom Where Everything Dies, The Sky is Mortal)
--- Lima tahun bukan waktu yang pendek untuk mempersiapkan sebuah album studio yang baru. Dan ini terbukti pada rilis terbaru dari CRYPTOPSY, one of brutal technical death metal monsters from Montreal, Canada. Anyway, the wait is over and I finally got to hear this demonic record, namely Once Was Not (17 Sep 2005)
Ini album ke-5 mereka. Sangat eksperimental dengan warna kental sheer-brutality a la CRYPTOPSY. Dan Lord Worm (Dan Greening), vokalis orisinal mereka akhirnya memutuskan kembali ke jantung CRYPTOPSY setelah tahun 1997 memutuskan untuk hengkang. Inilah yang ditunggu-tunggu.
ONCE WAS NOT: 1. Luminum 2. In The Kingdom Where Everything Dies, The Sky is Mortal 3. Carrionshine 4. Adeste Infidelis 5. The Curse Of The Great 6. The Frantic Pace Of Dying 7. Keeping The Cadaver Dogs Busy 8. Angelskingarden 9. The Pestilence That Walketh In Darkness 10. The End 11. Endless Cemetery
Jika metal bisa diibaratkan matematika, BLACK SABBATH mungkin adalah penjumlahan, METALLICA itu perkalian, MORBID ANGEL itu aljabar, dan MESHUGGAH adalah geometri. Gabungan semuanya bakal berupa kalkulus multivariabel dalam CRYPTOPSY, sama-sama brutal dan elegan, seperti dalam Once Was Not kali ini.
Once Was Not menjawab keraguan terhadap death metal. Sebuah kritik bahwa genre ini ternyata mampu melampaui standarisasi seperti pada album-album band death metal lain. Akselerasi yang kataklismik dalam tradisi death metal ternyata lebih diperkaya oleh adonan yang pas oleh CRYPTOPSY. Album ini merupakan campuran bagus CRYPTOPSY lama dan baru. Permainan teknikal pada era Mike DiSalvo masih dipertahankan dengan menambah riff- riff lebih brutal dan simpel a la Lord Worm. Sebuah produksi terbaik dalam sejarah CRYPTOPSY. Pada era awal, gaya drum Flo Mounier terasa ringan dan kering, dan Eric Langlois kadang suka tidak nyambung/meleset dalam bermain bass. Kali ini, Flo Mounier bermain lebih padat dan berat, dengan intensitas tinggi seperti trademark teknik drum pada death metal. This is a big deal, as he is arguably the best drummer in metal today. In a genre filled with Shiva-armed sticksmen, Mounier stands out in terms of speed, taste, and now power. Mounier does the requisite 250 bpm blastbeats with aplomb, but he constantly throws in colorful fills, off-kilter accents, and subtle cymbal catches. One killer example is at 3:23 in "Adeste Infidelis." At first, the tumbling drums sound like someone falling down the stairs. Then the pattern repeats. The effect is like hearing a random bit of audio looped, except by a human, and in real-time. One could listen to just the drum track of this album and be entertained. (Stylus Magazine, 2005).
Tapi ini adalah kalkulus multivariabel, semua elemen di dalamnya sama-sama on full blast! Bagaimanapun juga, mendengarkan musik CRYPTOPSY musti lebih komprehensif. Mulailah dengan SLAYER, lalu SUFFOCATION, kemudian pegang erat-erat tempat duduk Anda jika tak ingin tergetar dahsyat ketika NILE dan HATE ETERNAL terdengar. Barulah CRYPTOPSY Anda stel dengan desibel tertinggi.
Alasan mengapa saya begitu terpikat as a die-hard fan adalah: 1. Mereka jenius dan sangat open-minded! 2. Secara musikal, benar-benar bahan bakar bagi adrenalin saya. 3. Jika terdengar subjektif, lupakanlah! Ini selera, Bung! :D
Materi yang lebih kaya serta kedalaman eksplorasi rupanya telah mengilhami saya. At least, this album would be my very precious gift for my happy-day today to see my rest years ahead. :>
Tidak ada yang lebih besar dalam sejarah modern dalam melahirkan teks-teks budaya populer tentang televisi. Kali ini, dia benar-benar sebuah agent of distractions! Pengikis meta-narasi yang serius. Agent of Iconoclasm!
---
Barangkali mudah diterka. Bagi sebagian penduduk Indonesia kebanyakan yang punya kesempatan nonton tv adalah wanita dan anak-anak. Potensial sekali, bukan?
Paradoks yang diusung media televisi tak lain adalah konsep bermuka dua. Satu sisi menampakkan potret keunggulan prestasi wanita, ujung sana malah sebaliknya, melemparkan perempuan pada keterbelakangan (berpikir dan bertindak). Keterjebakan kaum wanita dalam 'kodrat' mereka selama ini yang telah mereka pelajari dalam sosialisasi awal mereka dalam keluarga dan lingkungan, dipergila oleh media massa, termasuk iklan. Aspirasi-aspirasi mereka dikontrol dan dibatasi oleh ide-ide yang diperoleh dari media massa.
Bagi saya, ini adalah stereotip usang, jadi harus selayaknya didekonstruksi lalu disusun ulang lagi. Bahwa wanita tidaklah lemah sehingga termakan rayuan gombal iklan. Walau ironisnya malah makin banyak yang rela menjadi etalase kedangkalan ini. Standarisasi murahan, demikian kata Bertie kawan saya. Meresahkan memang, Ndry.
Biro iklan seringkali tidak tahu diri. Jika wanita bukan sekedar objek pemuas pria, kenapa masih dilakukan? Kalian bahkan membunuh bayi di rahim sendiri. Dan ini bukan semacam generalisasi. Dibesar- besarkan atau tidak, dampaknya sudah sebegitu luas rupanya.
Saya tidak sedang berusaha mengajak Anda membenci media (atau Anda curiga saya mencoba mencuri hati wanita? Entahlah. Yang jelas bukan itu maksud saya). Jika pesawat televisi sudah bergeser menjadi omnipresent layaknya koruptor yang ada di mana- mana, then so be it. Tugas kita hanya meningkatkan kesadaran diri dan rasionalitas terhadap gelombang menakutkan ini (horror vacui). Memikirkan kembali prioritas-prioritas kita memang tugas berat.
Jika para feminist bergerak dalam koridor ini, seharusnya saya bisa melihat protes terhadap tayangan-tayangan yang merendahkan. Atau bahkan pemboikotan besar-besaran. Menjadi kontrol sosial lewat kritik atau menghimpun kekuatan dalam mengukur kualitas berbagai tayangan. Jadi mari lawan saja lah!
Dan ini baru televisi, sementara media-media baru yang semakin konvergensif telah menyeringai menunjukkan taring tajamnya dan mulai menggurita. Termasuk kedigdayaan entitas internet.
Tak ada yang lebih menarik dari lawan jenis kita selain dari kecantikan dari dalam, yaitu pada kata-kata, gagasan-gagasan, dan kebajikan-kebajikan mereka.
Mungkin kebaikan itu bisa didapat dari televisi, hanya saja saya kayaknya tidak lagi mentolerir kecenderungan negatifnya. Jadi, different-river-liver-liver lah (baca: lain kali hati-hati :Þ)
---
FYI, sejak kehadiran pertama kali di Indonesia, yaitu ketika TVRI mengudara pada 1962, UU Penyiaran serba belepotan. Dulunya sih ada Kepmen No. 04A/92 tentang penyiaran televisi, namun kemajuan dan perubahan menuntut penanganan hukum yang khusus. Setelah memonopoli siaran selama 27 tahun, secara manajemen rupanya TVRI kalah solid dengan munculnya tv swasta di kemudian hari. Kode etik telah dilanggar. Begitulah yang terjadi di wilayah-yang-selalu-tidak-pasti ini.
Saya pengen cerita lebih tumpah ruah lagi tentang televisi. Tapi nantilah, dikit-dikit saja... :Þ Lagipula, saya belum melunasi kredit tv 29" yang saya pesan. Ha ha ha!
("Bercinta Dengan Televisi" bisa jadi buku bagus, tuh)
Seketika Anda ikut menyaksikan tragedi "kemben melorot" milik Taffana Dewi di salah satu tv lokal kita tempo hari, apa yang ada di benak Anda? Senang? Salah lihat? Atau jutsru tegang? Masih maksain untuk tegang walau sekejap? Kalau saya bilang, itu malah menggemaskan! Ha ha! Kejadian itu masih menandakan adanya ketimpangan realitas. Mari kita tengok lagi ke dalam:
Pria dan wanita. Tentunya (sekali lagi) setara dalam keseluruhan pandangan. Ketimpangan realitas yang terjadi itu merujuk pada ilusi seksualitas. Bisa dikatakan berat sebelah atau pada akhirnya memang mengamini 'ketidakseimbangan' ini.
Jika lelaki terus menerus melakukan ekspolitasi seksual pada wanita sebagai objek, terus terang ini tidak adil. Jika iklan tv lebih banyak menonjolkan wanita dan keindahannya secara fisik terus menerus, agaknya ini struktur sosial yang sakit. Pengabdian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap wanita telah menjadi wajar, khususnya dalam media massa.
Anda lantas bertanya: Lho, kemben mlorot itu kan tidak sengaja? Ha ha! Lihat baik-baik! Sengaja atau tidak di sana itu sama saja. Karena frame awalnya sudah terlalu sempit, sehimpit batasan seksi yang hanya kulit pembungkus daging-daging yang menonjol saja dalam otak pencetus acara itu.
Kali ini kedengaran naif memang, namun saya mencoba untuk tidak munafik. Dan sekarang saya menyerang perspektif kaum lelaki! (termasuk saya lah!) Ha ha!
--- Ya! Media! Sebuah bumerang yang terus menerus berbalik arah dan merenggut setiap inci realitas dari si pelempar. Dalam konteks ini, media menjadi amplifier kondisi sakit yang sudah ada jauh sebelum zaman para feminis lahir.
Nah, pada topik pensejajaran gender ini, ironisnya realitas iklan sedemikian dianggap oleh kaum hawa adalah bukan persoalan, alias setuju-setuju saja terhadap bias ini. Pelaku jurnalistik didominasi pria, sehingga jurnalistik maskulin ini tentu saja tempat pria mensubjektifkan wanita. Iklan-iklan lebih banyak memakai bintang wanita. Lihat saja paha terbuka, belahan dada ternganga, tentu saja cantik, atau mau yang lebih syahwatisme? Banyak. Bahkan bila terdapat karyawan wanita, jarang menjadi posisi kunci dalam menentukan kebijakan penerbitan atau penyiaran. Dan beginilah pria mendefinisikan wanita. Apalagi dalam standar kecantikan.
Dalam konteks ini, iklan tv memiliki daya untuk mengkonstruksi wanita-wanita 'palsu' yang memainkan peran-peran palsu dalam lingkungan-lingkungan palsu pula. Kita dipaksa mempercayai apa yang tidak seharusnya kita percayai. Tanpa kesadaran tinggi, kita pada akhirnya terlalu mudah menerima kebohongan-kebohongan alih-alih fakta seperti ini.
Barangkali itulah omong kosong yang nyaring bunyinya. Bisa jadi media memang musuh berwujud teman.
Sebuah sisi gelap yang sangat menakutkan!
---
Sebagai catatan, dalam kaitan ini, teori agenda setting masih tetap relevan: media mengagendakan isu-isu sosial bagi masyarakat dan menentukan apa yang penting dan apa yang tidak penting, yang pada gilirannya juga berkorelasi positif dengan pikiran publik mengenai penting atau tidaknya isu-isu tersebut. (Maxwell McCombs dan Donald Shaw, 1977). >>
That people did not respond directly to events in the real world but lived in a pseudo-environment composed of "the pictures in our heads". (Walther Lippmann)
I know this sounds naive, but there is so much crap in this world, and then suddenly, there is honesty and humanity.
Leave the beaten track occasionally and dive into the woods.
Every time you do so, you will be certain to find something that you have never seen before.
Follow it up, explore all around it, and before you know it, you will have something worth thinking about to occupy your mind.
All really big discoveries are the results of thought.
And life is simple, either EXTREME or NOTHING!
So, fasten your safety belt, we're on a blistering bumpy road!
Have a nice trip.