Chapter I :
Welcome To Forest Destruction.
Terlihat botak di sana-sini, warna tanah hitam gersang
mencuat kuat di antara liukan batang sungai Indragiri.
Sesekali digicam tuaku merekam sesuatu di bawah sana.
Di Bandara Sultan Syarif Kasim II, pesawat kami mendarat
tak begitu mulus pagi itu. Ini pertama kali saya menginjakkan kaki
di negeri melayu provinsi Lancang Kuning, Riau.
Dugaan saya tepat, sepanjang perjalanan 5 jam arah tenggara
dari Pekanbaru menuju kota Rengat, terhampar pemandangan yang
mengecewakan. Berjuta hektar lahan telah kosong membisu.
Sesekali mengepulkan asap di beberapa titik.
Ah, tidak. Rupanya banyak sekali titik-titik itu yang sudah dan
sedang terbakar. Benar apa kata media, di situ pernah hidup
hutan heterogen nan indah, yang sekarang telanjang tak berdaya,
menunggu dikonversi menjadi hutan homogen kebun kelapa sawit,
pemasok utama permintaan bahan bakar biologis dunia.
Beberapa bulan sebelumnya, sepanjang jalan dari Pelalawan
hingga Rengat masih terdapat tumpukan bergunung kayu untuk
industri bubur kertas dan kertas. Tentu dari hutan Riau.
Tentu pula untuk memperkaya segelintir orang-orang dungu saja.
Dan bangkai-bangkai kayu siap saji itu sudah ada sejak warsa 2002.
Laju kerusakan hutan Riau rata-rata mencapai 160.000 hektar
per tahun. Sebanyak 3.000.000 hektar hutan alam Riau rusak
pada periode 11 tahun (1984-2005). Ada data dari International
Forest Advisor, rata-rata laju kerusakan hutan Riau adalah
tertinggi di dunia, yaitu mencapai 5,6 persen.
Benar-benar sekumpulan angka yang fantastis, jika kita melihatnya
sebagai derajat kengerian. Kawan saya Yudi >> pun terkejut.
Tetapi dia akan lebih tercengang, jika melihat sendiri ke sana.
Tak terbendung lagi, Yud.
Dan Anda tahu mengapa? Pembukaan area hutan itu semata
dilakukan atas dasar izin yang diberikan oleh pemda setempat.
Sudah ada sekitar 14 perusahaan pemegang izin itu.
Tentu itu hanya basa-basi. Sudah pasti mereka menebas hingga
keluar perimeter konsesi. Sudah pasti menyerobot hutan ulayat
dan kawasan terlindungi. Karena hukum-hukum manajemen
produksi hutan sudah terlanggar. Semua menjadi tampak seperti
hamparan dolar bagi mereka di dalam sana. Jika tidak, tentu saya
tidak akan bercerita panjang lebar di sini. Saat menulis ini pun,
seakan saya mendahuluinya dengan kata "alkisah" saja.
Tugas kami tak banyak di sana. Bersama teman-teman NGO lokal >>,
kami sepakat membuat aksi pembendungan kanal, agar air gambut
tidak keluar mencemari sungai sebagai muaranya. Agar lahan gambut
yang sudah terbabat habis itu tidak kering dan tidak mudah dibakar
yang akan melepas jasad karbon berlimpah ruah ke dalam atmosfir,
yang menaikkan suhu udara Bumi.
Selamat datang di kehancuran, kawan.
Di mana homo homuni lupus menampakkan wajah aslinya.
Ya, tak ada sanggahan untuk itu.
End of chapter I of 3.
Feel free to continue on reading these craps of virtue. >>
Labels: green campaign