&t /// JELAJAH BELANTARA ///

Thursday, December 27, 2007

Chapter I :
Welcome To Forest Destruction.

Hutan di bawah sana sudah tidak ada lagi.
Terlihat botak di sana-sini, warna tanah hitam gersang
mencuat kuat di antara liukan batang sungai Indragiri.
Sesekali digicam tuaku merekam sesuatu di bawah sana.
Di Bandara Sultan Syarif Kasim II, pesawat kami mendarat
tak begitu mulus pagi itu. Ini pertama kali saya menginjakkan kaki
di negeri melayu provinsi Lancang Kuning, Riau.

Dugaan saya tepat, sepanjang perjalanan 5 jam arah tenggara
dari Pekanbaru menuju kota Rengat, terhampar pemandangan yang
mengecewakan. Berjuta hektar lahan telah kosong membisu.
Sesekali mengepulkan asap di beberapa titik.
Ah, tidak. Rupanya banyak sekali titik-titik itu yang sudah dan
sedang terbakar. Benar apa kata media, di situ pernah hidup
hutan heterogen nan indah, yang sekarang telanjang tak berdaya,
menunggu dikonversi menjadi hutan homogen kebun kelapa sawit,
pemasok utama permintaan bahan bakar biologis dunia.

Beberapa bulan sebelumnya, sepanjang jalan dari Pelalawan
hingga Rengat masih terdapat tumpukan bergunung kayu untuk
industri bubur kertas dan kertas. Tentu dari hutan Riau.
Tentu pula untuk memperkaya segelintir orang-orang dungu saja.
Dan bangkai-bangkai kayu siap saji itu sudah ada sejak warsa 2002.

Laju kerusakan hutan Riau rata-rata mencapai 160.000 hektar
per tahun. Sebanyak 3.000.000 hektar hutan alam Riau rusak
pada periode 11 tahun (1984-2005). Ada data dari International
Forest Advisor, rata-rata laju kerusakan hutan Riau adalah
tertinggi di dunia, yaitu mencapai 5,6 persen.
Benar-benar sekumpulan angka yang fantastis, jika kita melihatnya
sebagai derajat kengerian. Kawan saya Yudi >> pun terkejut.
Tetapi dia akan lebih tercengang, jika melihat sendiri ke sana.
Tak terbendung lagi, Yud.

Dan Anda tahu mengapa? Pembukaan area hutan itu semata
dilakukan atas dasar izin yang diberikan oleh pemda setempat.
Sudah ada sekitar 14 perusahaan pemegang izin itu.
Tentu itu hanya basa-basi. Sudah pasti mereka menebas hingga
keluar perimeter konsesi. Sudah pasti menyerobot hutan ulayat
dan kawasan terlindungi. Karena hukum-hukum manajemen
produksi hutan sudah terlanggar. Semua menjadi tampak seperti
hamparan dolar bagi mereka di dalam sana. Jika tidak, tentu saya
tidak akan bercerita panjang lebar di sini. Saat menulis ini pun,
seakan saya mendahuluinya dengan kata "alkisah" saja.

Tugas kami tak banyak di sana. Bersama teman-teman NGO lokal >>,
kami sepakat membuat aksi pembendungan kanal, agar air gambut
tidak keluar mencemari sungai sebagai muaranya. Agar lahan gambut
yang sudah terbabat habis itu tidak kering dan tidak mudah dibakar
yang akan melepas jasad karbon berlimpah ruah ke dalam atmosfir,
yang menaikkan suhu udara Bumi.

Selamat datang di kehancuran, kawan.
Di mana homo homuni lupus menampakkan wajah aslinya.
Ya, tak ada sanggahan untuk itu.



End of chapter I of 3.
Feel free to continue on reading these craps of virtue. >>

Labels:

Wednesday, June 20, 2007

Dirtymakers Vandalize Jakarta.



Menyebar poster semena-mena, membabi-buta di tempat-tempat
yang tidak seharusnya untuk ditempeli, di seluruh relung Jakarta.
Kotor. Vandalis. Tidak berbeda dengan grafiti liar nan bebal.
Memulai membenahi ibukota dengan mengotorinya lagi.

Saya tidak ingin banyak berkomentar. Tidak, tidak seperti profesi
seperti
mereka dan calon satunya itu. Nanti saya dikira tidak bisa
bebenah diri.
Melampaui kemampuan saya sendiri.
Mendatangkan malu yang tak tertanggung.


Logis saja. Saya hanya ingin Jakarta menjadi bersih.
Tak semua tahu jika janji merupakan manifestasi ketidaklogisan.
Malicious Act!

---

FYI, this is a campaign poster for the next governor's election
of Jakarta. There will be two candidates for this political battle.
And this couple is from one of cleanest parties as they mentioned.
Yeah, only mindless people that will love shits.

Labels:

Thursday, March 22, 2007

Mount Kerinci Expedition 2007.

Perjalanan menuju Padang kali ini berkesan. Bagaimana tidak,
sempat ketinggalan pesawat dan
mendung tebal menaungi bandara
Cengkareng,
membuat jantung berdegup tak berirama.
Namun keinginan menjajal medan Taman Nasional Kerinci Seblat
melebihi segalanya. Ekspedisi ini
memakan 2 bulan konsentrasiku.


PADANG

Penerbangan AA selamat membawaku ke Padang,
menyusul rombongan
pertama yang sudah sehari di sana.
Tanggal yang tersepakati adalah 26 Januari - 1 Februari 2007.
Chris, pemuda Jerman
yang bersamaku kelihatan letih.
Dia sudah tak tidur 2 hari
tapi semangatnya tetap membara
karena ini trip terakhirnya
di Indonesia, dan dia menginginkannya
sukses besar!
Ah! dasar bule, bagus belajar semangat ke mereka.

Travel kami sudah dipesankan Rahmi, seorang teman dan local guide.
Perut sudah terisi setelah 24 jam kosong. Ah! Memang semua
masakan Padang bersantan dan pedas. Namun ini
menyenangkan.
Apalagi berbicara kepada orang Padang
selalu dengan nada tinggi.
What a culture shock!


Travel membawa kami 7 jam menuju Kersik Tuo, sebuah desa terakhir
tepat di kaki Gunung Kerinci.
Jalanan khas Sumatera.
Kombinasi tajamnya kelokan dan
sopir yang super berani.
Duduk di depan membuat aku
dan Chris selalu menopang jantung
agar tak copot!
Sempat pula kaca spion kanan pecah terserempet
secara aduhai dengan yang
berlawanan arah. Supir bis malam di Jawa
bisa diadu lah!


Melewati Solok Selatan, terlihat dua danau besar.
Mereka menyebutnya Danau Di Atas dan Danau Di Bawah.

Alam Sumatera memang berbeda dengan di Jawa. Lebih lebar
panoramanya, dan selalu berkabut. Pastilah karena musim hujan.

KERSIK TUO

Kersik Tuo adalah desa transit, 1500 m dari aras laut,
49 km sebelah utara ibukota Kabupaten Kerinci yaitu Sungai Penuh.
Pemasukan utama adalah dari perkebunan dan dari para pendaki
yang telah lama mengagumi keindahan alam Gunung Kerinci.

Arloji menunjuk angka empat sore. Pondok itu dinamakan
Homestay Paiman, seorang Jawa yang sudah turun temurun
tinggal di sana. Curi dengar ternyata itu kawasan transmigrasi
sejak zaman Belanda dulu. Mungkin mereka telah dipekerjakan
di kebun teh terluas di dunia itu.

Hari itu rombongan pertama sudah beranjak ke Danau
Gunung Tujuh
,
20 mil arah timur dari kaki Kerinci. Sebuah danau
yang
sangat indah dengan beberapa spot pasir putih di pantainya.
Menu berkano keliling danau jangan sampai terlewatkan.

Begitulah kira-kira kata temanku,
karena aku tak ikut rombongan itu.


Homestay Paiman memiliki dua lantai dengan beberapa kamar kosong
yang khusus disewakan bagi pendaki atau sopir-sopir jarak jauh
yang melintas Kersik Tuo. Saya dan Chris mendapat satu
kamar kosong
di lantai bawah. Setelah berkenalan dengan
pemilik rumah,
menikmati waktu seperminuman teh hangat,
saya lalu menarik diri
ke perebahan. Menghemat tenaga untuk
pendakian esok pagi.


D-DAY

Pagi sekali, sebagian dari kami sudah beranjak mempersiapkan diri.
Rupanya rombongan pertama sudah tiba tadi malam, dan mereka
telah tinggal
di lantai atas.



Hawa dingin pagi tak membuatku surut. Hawa yang selalu
membuatku
rindu. Ditambah dengan mengetahui pagi itu
cuaca begitu cerah.
Kabut turun di kaki gunung di kejauhan
di tepi perkebunan teh.
Dan tepat di atasnya, menjulang dengan
gagahnya Gunung Kerinci.
Warna pagi yang gelap terasa dingin.
Sedingin sosok Kerinci.
Saya tak berkedip mengaguminya.
Semilir dinginnya pagi menemaniku
mengabadikan beberapa gambar
darinya. Gunung vulkanik tertinggi
di Indonesia.

Masakan ibu Paiman sangat enak, murah pula. Keramahannya
membuat kami betah. Dan perjalanan dimulai setelah sarapan.
Menuju pintu rimba kita diantar sebuah mobil ke sana.

Pintu rimba terletak 1 km dari Pondok R10, sebuah pondok
pengamatan
kegiatan vulkanis Kerinci. Berenambelas plus 5 porter
yang kita sewa
mulailah kita bergerak masuk hutan.
Perjalanan akan memakan waktu
sekitar 10 jam menuju Camp II.
Di dunia pendakian, istilah "camp" hampir semakna dengan "shelter",
yaitu tempat beristirahat atau bermalam dalam jangka waktu lama.
Bisa dibedakan dengan istilah "pos", yang hanya dipakai untuk
mengaso sebentar.

Di sepanjang pendakian, bisa kami lihat langsung vegetasi yang
cukup berbeda dengan yang ada di Jawa. Ada banyak kantung semar
dengan pepohonan yang lebih lebat dan belukar tebal seperti
buluh, resam, paku-pakis, dan lumut. Ciri khas hutan Ericaceous.
Terlihat juga jejak kucing emas, dan harimau sumatra yang
melegenda.
Itu kata salah satu porter kami. Di samping itu,
pendaki tidak dianjurkan mendirikan tenda di bawah ketinggian
1500 m,
karena itu adalah habitat harimau.

Bisa dilihat Gunung Kerinci jarang didaki, karena jalan setapaknya
tergolong sempit dan tidak banyak sampah kota, tidak seperti
gunung-gunung di Jawa atau Nusa Tenggara. Sepanjang rute
perjalanan
terdapat 4 camp utama. Dan kami beristirahat di Camp II
di ketinggian
sekitar 3000 mdpl. Sore itu menjelang sang surya
menutup hari kembali ke peraduannya.
Setelah mendirikan tenda dan
makan malam, seperti biasa
hampir semua anggota tim yang sudah
cukup lelah berangkat tidur,
menembus hangatnya kantung tidur
masing-masing, bersiap untuk
summit attack dini hari nanti.

SUMMIT DAY

Pukul 2 pagi di ketinggian 3351 m. Suhu dalam skala 5 derajat celcius.
Semua bersiap menuju puncak.
Kali ini rombongan berjalan beriringan.
Hanya Hendry dan
seorang porter, yang tinggal di tenda karena
lututnya salah urat.
Rozak, salah satu yang terkuat dari kami,
yang sehari sebelumnya
terkena diare hebat, sepertinya sudah bisa
meneruskan perjalanan.
Memang, di ketinggian seperti ini,
diare adalah salah satu momok dengan cerita-cerita konyolnya,

selain Acute Mountain Sickness (AMS).

Pukul 3 kita mulai merambah vegetasi khas tundra. Perdu dengan
kayunya
yang kuat lumayan membantu mengatasi kesulitan medan
yang terjal.
Memang, sejak dari pos 1, kita tidak lagi melintas
di jalan setapak,
tetapi jalur air, yang jika terjadi hujan pastilah
sangat amat
merepotkan. Namun rupanya Tuhan melindungi kami.
Beruntung sepanjang
pendakian nanti tidak ada hujan dan
angin kencang. Cuaca begitu cerah
di bawah bulan purnama
dan suguhan bintang gemintang serta lembutnya angin pagi
yang mendinginkan hati dan batu-batu puncak.


Climbing leader kita pagi itu, Kang Giri, berada di lintasan terdepan,
diikuti oleh para perempuan perkasa, kemudian diikuti yang lainnya.
Segera kita terjebak dalam antrian untuk melintas jalur yang sulit,
masih lintasan air, berbatu, kadang harus berjalan di tepian lintasan
berpegang pada akar dan pepohonan, dengan resiko terjatuh dalam
lintasan yang kedalamannya bisa mencapai 2.5 meter, sesekali harus
memanjat perpotongan jalur, menarik keatas rekan yang berada
di bawah, bahkan mendorong dari bawah pula. Tim akhirnya terpisah
menjadi beberapa kelompok kecil. Medan terjal berbatu dan
kemiringan 50 derajat, this is an adventure!.

Setelah melewati Camp III, 300 meter kemudian kita mencapai

tugu peringatan. Bisa kulihat beberapa tulang manusia bertebaran,
sisa pendaki yang gagal diselamatkan. Di sana pula mentari mulai
terbit, sinar kuning emasnya menembus lautan awan yang tebal.

Perlahan lukisan pagi itu mulai terkuak, lereng berbatu, tersambung
dengan hamparan awan seputih kapas. Pukul 7.30 peserta terakhir
sampai di puncak.
Pemandangan dari puncak Kerinci
sangat memukau, kita bisa melihat
Danau Kerinci dan Danau
Situjuh
yang berada di atas puncak
Bukit Situjuh, serta di bagian
selatan terlihat Lubuk Gadang
dan Muara Labuh. Sementara
di arah barat terlihat Samudera Hindia. Kawah Gunung Kerinci
yang aktif, mengangkang di depan kami.
Sangat indah.



Semua terharu. Masing-masing melakukan ritual khasnya.
Ada yang teriak, menangis, bersujud, bahkan menyendiri,
berkontemplasi di heningnya puncak. Setiap detik di atas sana
adalah momen paling indah, seakan dekat sekali dengan Tuhan.
Good weather condition. Good adventure! Sebuah pencapaian tim
yang bagus! Dan adrenalin untuk mencapai puncak-puncak
yang lebih tinggi lagi tetap menyala.

LAKE KERINCI

Setelah turun dari Kerinci, bahkan sempat tersesat sekali,
hari berikutnya kita pergi ke Danau Kerinci, arah Jambi.
Sebuah danau yang sangat luas yang masih dalam kawasan TNKS.
Rencana berenang terpaksa digagalkan, karena
waktu yang sempit.
Kami hanya makan siang di tepian danau.
Semua tampak gembira
setelah berhasil mencapai puncak Kerinci
sehari sebelumnya.
Termasuk Chris yang berangkat ke Padang duluan
dan menunggu
kami di sana esok hari.




Setelah menginap semalam lagi di Kersik Tuo, kami menuju ke kota
Padang untuk segera dijemput pesawat kedua menuju Jakarta.
Dari dalam pesawat, hamparan pegunungan Bukittinggi terlihat.
Dan saya berjanji untuk mengunjunginya lagi, merambah selimut
hijaunya
yang masih luas untuk dijelajahi.

more to see >>

Labels:

Thursday, March 08, 2007

Menjaga Oase Terakhir.

Pada awal tahun 1992, Akademi Sains Nasional Amerika Serikat
dan The Royal Society of London mengeluarkan sebuah laporan
yang dimulai dengan: "Jika ramalan-ramalan pertumbuhan penduduk
sekarang ini terbukti tepat dan pola-pola kegiatan manusia
di planet ini tetap tidak berubah, sains dan teknologi boleh jadi
tidak dapat mencegah kemerosotan lingkungan hidup yang tidak dapat
dipulihkan lagi atau mencegah berlangsungnya kemiskinan
terus-menerus bagi sebagian besar dunia"

Rupanya kita bisa rasakan sekarang, manusia telah mempercepat
datangnya masa depan mereka sendiri. Saya tidak tahu, apakah ini
salah satunya disebabkan oleh pernyataan Ivan Boesky >>
bahwa "Greed is healthy"? Atau kah seorang Al Gore yang berdiri
di satu sisi mempresentasikan pemanasan global adalah realitas
tak terhindarkan?

Iklim dunia memang sedang berubah. Bumi menggeliat lagi.
Awan mammatus yang terbentuk pra-badai di Amerika, bisa kita
alami di beberapa tempat di Indonesia. Malaria yang sudah hampir
tertanggulangi di Nairobi, malah mewabah di sisi lain Bumi.
Menghantam Indonesia juga. Tapi yang dihantam tidak cepat tersadar.



Pernah suatu ketika saya bertanya,
kebiasaan apa yang manusia sering lakukan untuk mengimbangi
dari sifat mengenyangkan ego sendiri?
Sempat juga suatu ketika saya putus asa karena tidak terjawab.
Beberapa jawaban mungkin memuaskan. Tapi bagi siapa?
Layaknya kita bertanya mengapa harus menghargai orang lain,
di mana mereka telah berbuat jahat kepada kita.
Jawaban sederhananya (mungkin) adalah: kausalitas.

Teritori dan terestrial. Dua kata yang tak pernah bisa saya sendiri
bayangkan betapa telah menjadi taruhan sejati sejarah manusia.
Sebuah taruhan yang mengerikan dari era suku semak Afrika
zaman lahirnya Homo Erectus pertama hingga merentang pada
pertempuran demi minyak di wilayah subur lembah sungai Tigris
dan Eufrat.

Kausalitas menggelindingkan lingkaran setan di dalam keserakahan.
Rentang waktu geologis telah dan akan merekamnya
hingga zaman nanti, tatkala Bumi ternyata bernasib buruk
memperlihatkan kerusakan yang menggeruskan keramahannya.

Kausalitas seharusnya memberi pelajaran mendalam, bahwa rupanya
alam tidak memberi ruang sedikit pun untuk ego manusia.
Bahkan tidak kompromi terhadap pahlawan kesiangan yang berpura-
pura berepertoar tentang kebaikan bersama atas nama
keberlangsungan hidup manusia.

Ada yang menarik dengan penghargaan Oscar ke-79 kemarin.
Al Gore menang di kategori Best Music dengan filmnya
An Inconvenient Truth (2006). Saya sendiri sih bangga bahwa
ada tokoh politik dunia yang begitu berpihak pada nasib dan
masa depan Bumi, yaitu pada lingkungan. Kenapa?
Seperti kita tahu, kita kekurangan figur kuat untuk kepentingan ini
demi untuk bisa masuk ke kalangan politisi.

Berikut artikel yang saya kutip dari harian Kompas tentang film itu.
Tapi maaf juga, saya jadi panjang lebar nyerocos teu puguh
padahal cuman pengen meresensi artikel itu. Namanya juga ngelantur.
Tidak ada tendensi politik di sini. Tentu saja.
Tidak semua politisi itu jahat. Tidak semua hanya demi uang.

---

AL GORE, OSCAR, DAN PEMANASAN GLOBAL

"Yang semestinya lega atas penghargaan Oscar untuk film
An Inconvenient Truth bukan hanya pencinta lingkungan,
tetapi seluruh umat manusia."



Film dokumenter yang mengisahkan perjuangan mantan
Wakil Presiden AS Al Gore untuk mengingatkan para politisi dan
masyarakat dunia akan bahaya pemanasan global ini
sungguh amat menggugah.

Seandainya saja Al Gore yang memenangi peilihan presiden AS
tahun 2000, nasib dunia boleh jadi berbeda, baik yang terkait
dengan tatanan politik internasional maupun yang terkait
lingkungan hidup.

Khusus yang berkait dengan lingkungan hidup,
apa yang diperjuangkan
Al Gore amat substansial.
Setelah banyak diragukan dan diperdebatkan,

kini tanda-tanda alam semakin banyak memperlihatkan,
gejala pemanasan global telah menjadi kenyataan.

Dalam film itu diperlihatkan bagaimana selimut-selimut es
di berbagai wilayah di dunia menyusut, demikian pula gunung es
di wilayah dekat kutub. Pemanasan itu sendiri semakin diyakini
disebabkan berbagai aktifitas manusia, seperti pengoperasian pabrik
dan kendaraan yang berbahan bakar konvensional.

Hasil pembakaran bahan jenis ini antara lain gas karbon dioksida,
yang dalam skala global berjumlah miliaran ton setiap tahun,
disemburkan ke atmosfer Bumi. Sebagai akibatnya, sinar matahari
yang tiba ke permukaan Bumi tak leluasa dipancarkan kembali
ke luar angkasa. Panas tersebut terperangkap dekat permukaan Bumi,
menghasilkan gejala seperti di rumah kaca yang digunakan untuk
menyemai tanaman.

Dengan film yang dibintanginya secara amat serius, disertai
keprihatinan mendalam, Al Gore berhasil mengangkat isu
paling fundamental tidak saja bagi umat manusia,
tetapi juga bagi Sang Bumi. Sungguh membesarkan hati,
kalangan perfilman pun ikut menghargai perjuangan Al Gore.
Mengingat film sebagai medium efektif untuk menyampaikan pesan,
An Inconvenient Truth yang sekitar tiga bulan silam diputar
di gedung-gedung bioskop Indonesia masih layak untuk diputar kembali.

AS sebagai penyemprot gas rumah kaca terbesar di dunia
(Indonesia urutan ke-3 terbesar, terbanyak dari pembakaran hutan)
semestinya meninggalkan ego sempitnya untuk bergabung dalam
semangat Protokol Kyoto untuk secara bertahap mengurangi emisi
karbon dioksidanya. Ketika negara lain semakin bersatu memerangi
ancaman pemanasan global, terasa absurd apabila AS
yang melahirkan
seorang hebat seperti Al Gore justru
mengambil sikap berseberangan
dengan arus utama dunia.

Dalam hal ini, Indonesia pun tidak boleh ketinggalan kereta
untuk ambil bagian dalam upaya mengekang pemanasan global.


(ditulis ulang dari Kompas,28 Februari 2007)

---

Sekilas Al Gore:

Albert Arnold Gore, Jr. (born March 31, 1948)
is an American politician, teacher, businessman, and
environmentalist who was the 45th Vice President of the
United States in the Clinton administration from 1993 to 2001.
He also starred in the Academy Award-winning documentary,
by director Davis Guggenheim, An Inconvenient Truth.

Previously, he had served in the United States House
of Representatives (1977-85) and the United States Senate (1985-93)
for Tennessee. Gore was the Democratic nominee for President
in the 2000 election. He won a plurality of the popular vote,
with over half a million more votes than the Republican candidate
George W. Bush, but was defeated in the Electoral College
by a vote of 271 to 266.

Gore currently is president of the American television channel
Current TV, chairman of Generation Investment Management,
a director on the board of Apple Inc., and an unofficial adviser
to Google's senior management. He lectures widely on the topic of
global warming, which he calls "the climate crisis".
Gore has contracted to write a new book, The Assault on Reason,
to be published May 22, 2007. While Gore has stated that he does not
intend to be a Presidential candidate again,
he has left open the possibility of being a candidate in the future,
and Gore is frequently mentioned as a potential candidate for the
2008 Democratic presidential nomination. In February 2007,
Gore was nominated for a 2007 Nobel Peace Prize for his efforts
to end global warming. >>

Labels:

Monday, March 20, 2006

Birdwatching.

Seminggu lalu bersama 13 rekan dari milis Indonesia Geographic,
saya bertandang ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut (SMPR)

di gugusan Kepulauan Seribu, di utara Jakarta.
Dua hari di luar
teritori keruwetan ibukota rupanya cukup untuk
menetralisir kebekuan hati.


Sebelum naik perahu sewa, kita menilik dahulu Suaka Margasatwa
Muara Angke
(SMMA) yang
hanya seluas 8 hektar.
Inilah suaka margasatwa terkecil di dunia.

Saya jamin, pasti banyak yang tidak tahu tentang dua spot ini
walaupun sangat aksesibel dari Jakarta.

---



Sebetulnya ini kunjungan belajar. Wisata kecil tentang pengetahuan
akan burung di Pulau Rambut yang memiliki beragam jenis burung liar
yang sebagian hidup di air >>. Burung-burung itu biasanya mencari
makan di sekitar teluk Jakarta. Bahkan ada spesies yang berasal
dari Australia, bergabung dengan spesies asli Pulau Rambut.
Anda tak akan menyesal jika melihatnya sendiri. Terutama hewan lain
seperti ular piton yang lucu atau kepiting berwarna biru yang suka
ngumpet atau kelelawar besar tak berkutang. Walau berada tepat
di sebelah pulau transit Untung Jawa, kawasan ini kebetulan
90% masih perawan.




Tapi lain halnya di starting point, di pelabuhan Muara Angke.
Bau busuk di mana-mana, sebab inilah peristirahatan terakhir semua
sampah dari Jakarta nan keparat. Mulai akumulasi limbah deterjen
sampai bangkai anjing. Bisa jadi mayatpun bertebaran tak terlihat,
tertutup kotoran dan dosa penghuni Jakarta. Dari data riset Fauna
Flora Internasional (lagi-lagi NGO seberang) >>,
sekitar 1400 m3/hari
sampah numpuk di sana. Itu musim kemarau.
Jika hujan datang berlipat
bisa empat kali. Tapi yang lucu,
Pemda DKI hanya mengeruk 30 m3/hari.
Dan itu di buang lagi di hulu.
Sebuah ironi di awal piknik yang
seharusnya nyaman.

---

Berhubung masih dekat dengan garis pantai Jawa, kondisi ekosistem
di
sekitar pulau Rambut (p. Onrust, Kelor, Bidadari) sudah termasuk
rusak. Deforestasi hutan bakau telah membiarkan
abrasi
menenggelamkan beberapa pulau.
Jadi bukan surga bagi para divers.
Masih lebih bagus perairan
Pulau Pramuka yang masuk zona inti,
3 jam berlabuh dari Jakarta.
Kendati demikian, cukup untuk sekedar
kecipak-kecipik
ataupun berenang.
Lagi pula, serasa nonton Animal Planet langsung.


Saya tak mau menyinggung soal enak tidaknya piknik ke sana.
Murah soalnya. Tapi sangat menyenangkan bagi jiwa dan raga.
Toh tidak harus mahal, kan?

Ho ho ho,
siapa yang tak suka jadi anak pantai...




(thanks to Wandi, Iman, Indra, Eddy)

Coba arahkan binokuler Anda ke:
Jakarta Green Monster
Indonesia-Geographic
Pemerhati Kepulauan Seribu

Saturday, March 11, 2006

Heavy-weight Politricks.

Rupanya masih rame saja gaduh ihwal perselangkangan di Indonesia.
Mungkin kali ini saya bubuhkan sedikit bumbu provokasi.
Karena, kalau sudah membicarakan pornografi,
semua merasa berhak bicara!

Ini anomali, kalo kata saya mah...

Kaum terpelajar semacam kalian (kecuali saya) ternyata tetap tidak
mampu menahan gejolak libido yang sangat primordial itu.
Walaupun dalam tataran paradigma tetap saja mampu menerobos
celah pikir kita, dan secara politis membela ihwal kepornoan untuk
kepuasan libido purba kita.
Jika kalian saja demikian, gimana saya ya? :Þ

Apa mau dikata, itulah (katanya) kesempurnaan manusia.

Ha ha ha!

---

"Bahasa menunjukkan Bangsa."

Begitu kira-kira yang (dulu) saya sering simak.
Tapi bukan berarti tanpa masalah.
Lagian, apa sih yang gak bermasalah di bangsa ini?

Merumuskan RUU APP dan Perda Kota Tangerang
saya analogikan dengan kasus Indonesiasi istilah asing kala itu.
Saya pikir, mereka asal saja menyusun kata-kata.
Penafsiran terbuka begitu sangat terbuka.
Ada yang bilang tidak sesuai pluralisme lah, feminisme lah,
Boro-boro mau belajar semiotika dan semantik,
diajak ngomong baik-baik aja masih susah.

Rasa penasaran manusia memang harus dibayar mahal.
Mungkin ini konsekuensi bagi yang tidak mendapat kuliah anatomi :)

Intinya pamarentah musti menyewa konsultan sastra.
Biar gak asal ceplos buta kontekstual. Politik banal!

Ini negara memang sudah cacat linguis dan cacat literasi.

(maaf, saya sengaja menggeneralisir)

---

Saya gak paham apa itu politik.
Ironis memang ketika saya tetap menganggapnya sebagai arus liar
yang kelihatan tenang. Maka skeptis lah saya.
Tapi bukannya memang demikian?

Mari beringsut sebentar ke belakang:

Dahulu kala ketika zaman MODERNISME berjaya (akhir abad 19),
semua hal itu adalah milik golongan elit.
Sebut saja hegemoni industrialisasi. Dan akhirnya menimbulkan
golongan resisten. Baik dari gerakan fisik maupun filosofis.
Dari karya Pablo Picasso hingga Relativitas Albert Einstein.
Sigmund Freud ke revolusi Bolsheviks.
Siapa yang tak kenal si Tangan Besi Otto von Bismarck.
Lihat saja, zaman itu penuh sekali dengan demonstrasi.
Kelakuan kaum elit (politikus, industrialis, teologis) membuat gusar
kekuatan kelas menengah ("narod", kata temen saya dari Russia).
Secara kolektif memicu radikalisme. Semua berjuang menghantam
institusi imperialisme baru ala kapitalis.
Terbentuklah kasta High Culture dan Low Culture.
Politikus tak lebih dari pecundang berotak fasis.
Dan kaum rebelis dicap irasional.
Kawasan politik tak ubahnya 'a killing field'
seperti tragedi Bloody Sunday di Lapangan Merah Kremlin!

---

Berjiwa seni memang perlu. Dan politik mengotorinya.
Paling tidak, menambahkan nila beberapa tetes lagi ke dalamnya.
Saya lupa ada buku bagus, isinya menguraikan pergeseran signifikan
karakter politik dari modernisme ke posmodernisme.
Modernisme yang ditandai dengan arus utama isu politik
dan mengabdi pada ketunggalan makna,
bergeser menjadi narasi kecil dalam posmodernisme.
Begitu katanya.

Tapi perlakuan dari kaum elitnya tetap sama:
Represif dan stereotip negatif.
Massa dianggap beringas, amorfis, mudah digerakkan oleh sedikit
isu panas, dan tidak berpikir panjang.
Dan lucunya mereka juga menyerang teritori intelektual
otonomi seniman yang sudah bersinggungan secara politis
ke ruang publik itu.

Semua tanpa dialog menuju provokasi budaya, seperti kita saat ini.
Semua merasa berhak ngomong dan menghasut.
Itu wajar. Namanya juga menghirup udara posmodernisme.
Yang gak wajar itu menutup diri,
alias proteksi terhadap evolusi pemahaman tentang apapun.

Bagi saya, ini horor skizofrenik yang tak berkesudahan.
Jadilah politik (di zaman manapun) itu kejam.
Menggelinjang keenakan saat dijilat pantatnya.
Dan menginjak penjilat itu seakan tak mengenalnya.
Buta. Seperti Otto von Bismarck.

Saya paham, masyarakat kita tidak sebodoh yang mereka kira.
Hanya sebab serangan bertubi lewat media saja kita jadi begini.
(Thanks but no thanks lah!).
Pada ujungnya kita melempar tuduhan negatif.
Jangan-jangan begini, bisa jadi begitu.
Opini semrawut.
Ini yang saya bilang anomali.
Gak wajar kalo gak ada usaha klarifikasi.

Entah seberapa dekat dengan semangat singularitas globalisasi,
kita (sambil nuding!) memang selalu ketinggalan langkah,
bahkan berpuluh-puluh tahun ke belakang secara politis.
Hare gene masih FASIS?!

---

Jangan diambil hati teori-teori sang saya tulis tadi.
Terlebih perihal RUU Pornografi.
Silakan kalo mau dilihat lintas gender.
Pihak perempuan yang merasa tidak bebas,
atau pejantan yang mendominasi (atau kebalik? hehehe...
jadi inget film JOMBLO karya Hanung Bramantyo).
So, should we create The Art of Pornography? Seni Selangkangan?
Hehehe... Yang ada juga buat kepentingan menyusun
DVD Kama Sutra ala Vivid.

Nah tuh kan, persoalannya memang meleber.
Sama seperti ruwetnya pribadi manusia.
Just because this is a comedy,
I think I need to LAUGH now....
what in the fuck have we all made of this world, arrrggh....

Ah, dunia memang gombal.
Sambil nungguin cerita komedi lain,
saya nerusin mimpi saya saja lah...

Konsisten untuk bermimpi, paling tidak.


(Saya ambil igauan saya dari milis kampus)

Tuesday, February 21, 2006

Manifes Seni Rupa Indonesia.

1.
Seni rupa adalah bidang kerja dan keahlian yang setara dengan
bidang keilmuan lainnya yang memiliki aturan dan wilayah otonomi
masing-masing. Karenanya, soal-soal yang menyangkut
perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap
karya seni rupa selayaknya mengutamakan pandangan, gagasan,
pemikiran dari lingkungan disiplin seni rupa itu sendiri.


2.
Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir dan
penilaian atas suatu karya seni rupa, seperti juga kami membela
dan mendukung sepenuhnya kebebasan penciptaan karya seni rupa.
Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas
karya seni rupa dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap
martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat
yang beradab dan demokratis.


3.
Kami menolak penilaian atas karya seni rupa yang menggunakan
sembarang pandangan dan norma yang tidak bersangkut-paut
dengan disiplin dan keahlian seni rupa. Terlebih lagi jika penafsiran
dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran—dengan
embel-embel "mewakili suara dan kepentingan mayoritas" sekalipun.


4.
Kami membela sepenuhnya kebebasan berpendapat,
tapi bukan sebagai alasan dan cara untuk mengancam, menghukum,
mengurangi, atau bahkan menghapus kebebasan berpendapat
pihak lain.


Maka, kami menolak segala cara dan upaya yang secara sembrono
memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni rupa sebagai
tindakan kriminal.


5.
Kami membela sepenuhnya hak dan kebebasan setiap pihak untuk
menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan yang mempertemukan
karya seni rupa dengan masyarakat—pameran, pertunjukan, diskusi,
penerbitan, dan lain-lain—karena kami percaya bahwa masyarakat
Indonesia memiliki hak untuk menikmati dan mengapresiasi
karya seni rupa dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka.


Maka, kami menyayangkan dan mengecam pihak-pihak yang
terus berdiam-diri membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap
penciptaan karya seni rupa dan penyelenggaraan kegiatan seni rupa.
Kami menagih peran negara (cq. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
dan badan lain yang terkait), dan juga lembaga-lembaga pendidikan
seni rupa untuk membela keabsahan seni rupa Indonesia sebagai
bidang keahlian yang punya otoritas keilmuan dan dapat
diselenggarakan di ruang sosial yang bebas dan terbuka.


6.
Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja
sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni rupa
Indonesia dan pranata pendukungnya—seniman, penulis, kritikus,
kurator, model, komunitas seniman, kolektor, pengelola galeri,
balai lelang, media massa, majalah seni rupa, jurnal dan lain-lain
—mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab dan demokratis.


Karenanya, kami akan mengatur diri dan hidup kami sendiri.
Kami akan berhimpun untuk menyatukan pikiran dan pendapat,
menyusun prinsip-prinsip etik bagi penyelenggaraan kegiatan
seni rupa yang menjamin pekembangan dan kemajuan
Seni Rupa Indonesia di tengah perkembangan seni rupa dunia.



Cemara Galeri-Kafe, Jakarta
15 Februari 2006

Tim perumus pernyataan ini:
Aminudin TH Siregar,
Arif Ash Shiddiq,
Enin Supriyanto,
Hendro Wiyanto,
Rifky Effendy

---

Patung Ganefo setengah telanjang: PORNO?
Inul ngebor: PORNO?
Wanita-wanita molek dalam Rhoma Irama jaman dulu: GAK PORNO?
Komedi Nakal di Tr***TV: GAK PORNO?
Foto topless-nya Ayu Utami: PORNO?

Ada baiknya kita menilik batasan yang jelas, apa itu pornografi.

Jika wadah berkesenian yaitu pameran sudah diberangus,
lebih baik tidak usahlah menjadi bangsa yang beradab.
Jika lebih jauh, berkesenian dipandang terlarang
oleh karena ruang publik yang (merasa) teracuni pemikirannya,
sungguh memalukan menjadi bangsa yang ramah tamah.

Banyak seniman yang sedih dan bingung.
Memang tentu saja kita harus bertanggungjawab sosial dalam
berkesenian, karena itulah diciptakan berbagai wadah.
Diciptakan galeri, sekolah seni dll, sehingga kreatifitas
dan eksplorasi terbina. Apakah kita tidak bertanggungjawab sosial
juga saat seni dilihat out-of-proportion, diintimidasi, didemo?
Tanggungjawab seni hanya pada masyarakat?
Sesama seniman bukan bagian dari masyarakat juga?

Berkesenianlah, maka engkau akan ditangkap!
Berkesenianlah, maka orang-orang bodoh akan mengobrak-abrikmu!