&t /// JELAJAH BELANTARA ///: March 2006

Monday, March 20, 2006

Birdwatching.

Seminggu lalu bersama 13 rekan dari milis Indonesia Geographic,
saya bertandang ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut (SMPR)

di gugusan Kepulauan Seribu, di utara Jakarta.
Dua hari di luar
teritori keruwetan ibukota rupanya cukup untuk
menetralisir kebekuan hati.


Sebelum naik perahu sewa, kita menilik dahulu Suaka Margasatwa
Muara Angke
(SMMA) yang
hanya seluas 8 hektar.
Inilah suaka margasatwa terkecil di dunia.

Saya jamin, pasti banyak yang tidak tahu tentang dua spot ini
walaupun sangat aksesibel dari Jakarta.

---



Sebetulnya ini kunjungan belajar. Wisata kecil tentang pengetahuan
akan burung di Pulau Rambut yang memiliki beragam jenis burung liar
yang sebagian hidup di air >>. Burung-burung itu biasanya mencari
makan di sekitar teluk Jakarta. Bahkan ada spesies yang berasal
dari Australia, bergabung dengan spesies asli Pulau Rambut.
Anda tak akan menyesal jika melihatnya sendiri. Terutama hewan lain
seperti ular piton yang lucu atau kepiting berwarna biru yang suka
ngumpet atau kelelawar besar tak berkutang. Walau berada tepat
di sebelah pulau transit Untung Jawa, kawasan ini kebetulan
90% masih perawan.




Tapi lain halnya di starting point, di pelabuhan Muara Angke.
Bau busuk di mana-mana, sebab inilah peristirahatan terakhir semua
sampah dari Jakarta nan keparat. Mulai akumulasi limbah deterjen
sampai bangkai anjing. Bisa jadi mayatpun bertebaran tak terlihat,
tertutup kotoran dan dosa penghuni Jakarta. Dari data riset Fauna
Flora Internasional (lagi-lagi NGO seberang) >>,
sekitar 1400 m3/hari
sampah numpuk di sana. Itu musim kemarau.
Jika hujan datang berlipat
bisa empat kali. Tapi yang lucu,
Pemda DKI hanya mengeruk 30 m3/hari.
Dan itu di buang lagi di hulu.
Sebuah ironi di awal piknik yang
seharusnya nyaman.

---

Berhubung masih dekat dengan garis pantai Jawa, kondisi ekosistem
di
sekitar pulau Rambut (p. Onrust, Kelor, Bidadari) sudah termasuk
rusak. Deforestasi hutan bakau telah membiarkan
abrasi
menenggelamkan beberapa pulau.
Jadi bukan surga bagi para divers.
Masih lebih bagus perairan
Pulau Pramuka yang masuk zona inti,
3 jam berlabuh dari Jakarta.
Kendati demikian, cukup untuk sekedar
kecipak-kecipik
ataupun berenang.
Lagi pula, serasa nonton Animal Planet langsung.


Saya tak mau menyinggung soal enak tidaknya piknik ke sana.
Murah soalnya. Tapi sangat menyenangkan bagi jiwa dan raga.
Toh tidak harus mahal, kan?

Ho ho ho,
siapa yang tak suka jadi anak pantai...




(thanks to Wandi, Iman, Indra, Eddy)

Coba arahkan binokuler Anda ke:
Jakarta Green Monster
Indonesia-Geographic
Pemerhati Kepulauan Seribu

Saturday, March 11, 2006

Heavy-weight Politricks.

Rupanya masih rame saja gaduh ihwal perselangkangan di Indonesia.
Mungkin kali ini saya bubuhkan sedikit bumbu provokasi.
Karena, kalau sudah membicarakan pornografi,
semua merasa berhak bicara!

Ini anomali, kalo kata saya mah...

Kaum terpelajar semacam kalian (kecuali saya) ternyata tetap tidak
mampu menahan gejolak libido yang sangat primordial itu.
Walaupun dalam tataran paradigma tetap saja mampu menerobos
celah pikir kita, dan secara politis membela ihwal kepornoan untuk
kepuasan libido purba kita.
Jika kalian saja demikian, gimana saya ya? :Þ

Apa mau dikata, itulah (katanya) kesempurnaan manusia.

Ha ha ha!

---

"Bahasa menunjukkan Bangsa."

Begitu kira-kira yang (dulu) saya sering simak.
Tapi bukan berarti tanpa masalah.
Lagian, apa sih yang gak bermasalah di bangsa ini?

Merumuskan RUU APP dan Perda Kota Tangerang
saya analogikan dengan kasus Indonesiasi istilah asing kala itu.
Saya pikir, mereka asal saja menyusun kata-kata.
Penafsiran terbuka begitu sangat terbuka.
Ada yang bilang tidak sesuai pluralisme lah, feminisme lah,
Boro-boro mau belajar semiotika dan semantik,
diajak ngomong baik-baik aja masih susah.

Rasa penasaran manusia memang harus dibayar mahal.
Mungkin ini konsekuensi bagi yang tidak mendapat kuliah anatomi :)

Intinya pamarentah musti menyewa konsultan sastra.
Biar gak asal ceplos buta kontekstual. Politik banal!

Ini negara memang sudah cacat linguis dan cacat literasi.

(maaf, saya sengaja menggeneralisir)

---

Saya gak paham apa itu politik.
Ironis memang ketika saya tetap menganggapnya sebagai arus liar
yang kelihatan tenang. Maka skeptis lah saya.
Tapi bukannya memang demikian?

Mari beringsut sebentar ke belakang:

Dahulu kala ketika zaman MODERNISME berjaya (akhir abad 19),
semua hal itu adalah milik golongan elit.
Sebut saja hegemoni industrialisasi. Dan akhirnya menimbulkan
golongan resisten. Baik dari gerakan fisik maupun filosofis.
Dari karya Pablo Picasso hingga Relativitas Albert Einstein.
Sigmund Freud ke revolusi Bolsheviks.
Siapa yang tak kenal si Tangan Besi Otto von Bismarck.
Lihat saja, zaman itu penuh sekali dengan demonstrasi.
Kelakuan kaum elit (politikus, industrialis, teologis) membuat gusar
kekuatan kelas menengah ("narod", kata temen saya dari Russia).
Secara kolektif memicu radikalisme. Semua berjuang menghantam
institusi imperialisme baru ala kapitalis.
Terbentuklah kasta High Culture dan Low Culture.
Politikus tak lebih dari pecundang berotak fasis.
Dan kaum rebelis dicap irasional.
Kawasan politik tak ubahnya 'a killing field'
seperti tragedi Bloody Sunday di Lapangan Merah Kremlin!

---

Berjiwa seni memang perlu. Dan politik mengotorinya.
Paling tidak, menambahkan nila beberapa tetes lagi ke dalamnya.
Saya lupa ada buku bagus, isinya menguraikan pergeseran signifikan
karakter politik dari modernisme ke posmodernisme.
Modernisme yang ditandai dengan arus utama isu politik
dan mengabdi pada ketunggalan makna,
bergeser menjadi narasi kecil dalam posmodernisme.
Begitu katanya.

Tapi perlakuan dari kaum elitnya tetap sama:
Represif dan stereotip negatif.
Massa dianggap beringas, amorfis, mudah digerakkan oleh sedikit
isu panas, dan tidak berpikir panjang.
Dan lucunya mereka juga menyerang teritori intelektual
otonomi seniman yang sudah bersinggungan secara politis
ke ruang publik itu.

Semua tanpa dialog menuju provokasi budaya, seperti kita saat ini.
Semua merasa berhak ngomong dan menghasut.
Itu wajar. Namanya juga menghirup udara posmodernisme.
Yang gak wajar itu menutup diri,
alias proteksi terhadap evolusi pemahaman tentang apapun.

Bagi saya, ini horor skizofrenik yang tak berkesudahan.
Jadilah politik (di zaman manapun) itu kejam.
Menggelinjang keenakan saat dijilat pantatnya.
Dan menginjak penjilat itu seakan tak mengenalnya.
Buta. Seperti Otto von Bismarck.

Saya paham, masyarakat kita tidak sebodoh yang mereka kira.
Hanya sebab serangan bertubi lewat media saja kita jadi begini.
(Thanks but no thanks lah!).
Pada ujungnya kita melempar tuduhan negatif.
Jangan-jangan begini, bisa jadi begitu.
Opini semrawut.
Ini yang saya bilang anomali.
Gak wajar kalo gak ada usaha klarifikasi.

Entah seberapa dekat dengan semangat singularitas globalisasi,
kita (sambil nuding!) memang selalu ketinggalan langkah,
bahkan berpuluh-puluh tahun ke belakang secara politis.
Hare gene masih FASIS?!

---

Jangan diambil hati teori-teori sang saya tulis tadi.
Terlebih perihal RUU Pornografi.
Silakan kalo mau dilihat lintas gender.
Pihak perempuan yang merasa tidak bebas,
atau pejantan yang mendominasi (atau kebalik? hehehe...
jadi inget film JOMBLO karya Hanung Bramantyo).
So, should we create The Art of Pornography? Seni Selangkangan?
Hehehe... Yang ada juga buat kepentingan menyusun
DVD Kama Sutra ala Vivid.

Nah tuh kan, persoalannya memang meleber.
Sama seperti ruwetnya pribadi manusia.
Just because this is a comedy,
I think I need to LAUGH now....
what in the fuck have we all made of this world, arrrggh....

Ah, dunia memang gombal.
Sambil nungguin cerita komedi lain,
saya nerusin mimpi saya saja lah...

Konsisten untuk bermimpi, paling tidak.


(Saya ambil igauan saya dari milis kampus)