&t /// JELAJAH BELANTARA ///: November 2005

Tuesday, November 29, 2005

CRYPTOPSY: Once Was Not

and be One in a nucleon
...Reductio ad Absurdum...
(
In The Kingdom Where Everything Dies, The Sky is Mortal)

---

Lima tahun bukan waktu yang pendek untuk mempersiapkan sebuah
album studio yang baru. Dan ini terbukti pada rilis terbaru
dari CRYPTOPSY, one of brutal technical death metal monsters
from Montreal, Canada. Anyway, the wait is over and I finally
got to hear this demonic record, namely Once Was Not
(17 Sep 2005)

Ini album ke-5 mereka. Sangat eksperimental dengan warna kental
sheer-brutality a la CRYPTOPSY. Dan Lord Worm (Dan Greening),
vokalis orisinal mereka akhirnya memutuskan kembali ke jantung
CRYPTOPSY setelah tahun 1997 memutuskan untuk hengkang.
Inilah yang ditunggu-tunggu.



ONCE WAS NOT:
1. Luminum
2. In The Kingdom Where Everything Dies, The Sky is Mortal
3. Carrionshine
4. Adeste Infidelis
5. The Curse Of The Great
6. The Frantic Pace Of Dying
7. Keeping The Cadaver Dogs Busy
8. Angelskingarden
9. The Pestilence That Walketh In Darkness
10. The End
11. Endless Cemetery

Jika metal bisa diibaratkan matematika, BLACK SABBATH mungkin
adalah penjumlahan, METALLICA itu perkalian, MORBID ANGEL itu
aljabar, dan MESHUGGAH adalah geometri. Gabungan semuanya
bakal berupa kalkulus multivariabel dalam CRYPTOPSY,
sama-sama brutal dan elegan, seperti dalam Once Was Not kali ini.

Once Was Not menjawab keraguan terhadap death metal. Sebuah
kritik bahwa genre ini ternyata mampu melampaui standarisasi
seperti pada album-album band death metal lain. Akselerasi yang
kataklismik dalam tradisi death metal ternyata lebih diperkaya
oleh adonan yang pas oleh CRYPTOPSY. Album ini merupakan
campuran bagus CRYPTOPSY lama dan baru. Permainan teknikal
pada era Mike DiSalvo masih dipertahankan dengan menambah riff-
riff lebih brutal dan simpel a la Lord Worm. Sebuah produksi
terbaik dalam sejarah CRYPTOPSY. Pada era awal, gaya drum Flo
Mounier terasa ringan dan kering, dan Eric Langlois kadang suka
tidak nyambung/meleset dalam bermain bass. Kali ini, Flo Mounier
bermain lebih padat dan berat, dengan intensitas tinggi seperti
trademark teknik drum pada death metal. This is a big deal,
as he is arguably the best drummer in
metal today. In a genre
filled with Shiva-armed sticksmen,
Mounier stands out in terms of
speed, taste, and now power.
Mounier does the requisite 250 bpm
blastbeats with aplomb,
but he constantly throws in colorful fills,
off-kilter accents,
and subtle cymbal catches. One killer example
is at 3:23 in
"Adeste Infidelis." At first, the tumbling drums sound
like
someone falling down the stairs. Then the pattern repeats.
The effect is like hearing a random bit of audio looped, except by
a human, and in real-time. One could listen to just
the drum track
of this album and be entertained.
(Stylus Magazine, 2005).

Tapi ini adalah kalkulus multivariabel, semua elemen di dalamnya
sama-sama on full blast! Bagaimanapun juga, mendengarkan musik
CRYPTOPSY musti lebih komprehensif. Mulailah dengan SLAYER,
lalu SUFFOCATION, kemudian pegang erat-erat tempat duduk Anda
jika tak ingin tergetar dahsyat ketika NILE dan HATE ETERNAL
terdengar. Barulah CRYPTOPSY Anda stel dengan desibel tertinggi.

Alasan mengapa saya begitu terpikat as a die-hard fan adalah:
1. Mereka jenius dan sangat open-minded!
2. Secara musikal, benar-benar bahan bakar bagi adrenalin saya.
3. Jika terdengar subjektif, lupakanlah! Ini selera, Bung! :D

Materi yang lebih kaya serta kedalaman eksplorasi rupanya telah
mengilhami saya. At least, this album would be my very precious
gift for my happy-day today to see my rest years ahead. :>


www.cryptopsy.net

Menusuk Janin dalam Rahim Sendiri.

Thank's but no thank's to television!

Tidak ada yang lebih besar dalam sejarah modern dalam melahirkan
teks-teks budaya populer tentang televisi.
Kali ini, dia benar-benar
sebuah agent of distractions!
Pengikis meta-narasi yang serius.
Agent of Iconoclasm!


---

Barangkali mudah diterka. Bagi sebagian penduduk Indonesia
kebanyakan yang punya kesempatan nonton tv adalah wanita dan
anak-anak. Potensial sekali, bukan?

Paradoks yang diusung media televisi tak lain adalah konsep
bermuka dua. Satu sisi menampakkan potret keunggulan prestasi
wanita, ujung sana malah sebaliknya, melemparkan perempuan pada
keterbelakangan (berpikir dan bertindak). Keterjebakan
kaum wanita
dalam 'kodrat' mereka selama ini yang telah
mereka pelajari dalam
sosialisasi awal mereka dalam keluarga
dan lingkungan, dipergila oleh
media massa, termasuk iklan.
Aspirasi-aspirasi mereka dikontrol dan
dibatasi oleh ide-ide
yang diperoleh dari media massa.

Bagi saya, ini adalah stereotip usang, jadi harus selayaknya
didekonstruksi lalu disusun ulang lagi. Bahwa wanita tidaklah lemah
sehingga termakan rayuan gombal iklan. Walau ironisnya
malah
makin banyak yang rela menjadi etalase kedangkalan ini.

Standarisasi murahan, demikian kata Bertie kawan saya.

Meresahkan memang, Ndry.

Biro iklan seringkali tidak tahu diri. Jika wanita bukan sekedar objek
pemuas pria, kenapa masih dilakukan? Kalian
bahkan membunuh bayi
di rahim sendiri. Dan ini bukan semacam
generalisasi. Dibesar-
besarkan atau tidak, dampaknya sudah
sebegitu luas rupanya.



Saya tidak sedang berusaha mengajak Anda membenci media (atau
Anda curiga saya mencoba mencuri hati wanita? Entahlah.
Yang
jelas bukan itu maksud saya). Jika pesawat televisi sudah
bergeser menjadi omnipresent layaknya koruptor yang ada di mana-
mana, then so be it. Tugas kita hanya meningkatkan
kesadaran diri
dan rasionalitas terhadap gelombang menakutkan
ini (horror vacui).
Memikirkan kembali prioritas-prioritas kita
memang tugas berat.

Jika para feminist bergerak dalam koridor ini, seharusnya saya bisa
melihat protes terhadap tayangan-tayangan yang
merendahkan.
Atau bahkan pemboikotan besar-besaran. Menjadi
kontrol sosial
lewat kritik atau menghimpun kekuatan dalam
mengukur kualitas
berbagai tayangan. Jadi mari lawan saja lah!


Dan ini baru televisi, sementara media-media baru yang semakin
konvergensif telah menyeringai menunjukkan
taring tajamnya dan
mulai menggurita. Termasuk kedigdayaan
entitas internet.

Tak ada yang lebih menarik dari lawan jenis kita selain dari
kecantikan dari dalam, yaitu pada kata-kata, gagasan-gagasan,
dan kebajikan-kebajikan mereka.

Mungkin kebaikan itu bisa didapat dari televisi, hanya saja saya
kayaknya tidak lagi mentolerir kecenderungan negatifnya.
Jadi, different-river-liver-liver lah (baca: lain kali hati-hati :Þ)

---

FYI, sejak kehadiran pertama kali di Indonesia, yaitu ketika TVRI mengudara
pada 1962, UU Penyiaran serba belepotan.
Dulunya sih ada Kepmen No. 04A/92
tentang penyiaran televisi,
namun kemajuan dan perubahan menuntut
penanganan hukum yang
khusus. Setelah memonopoli siaran selama 27 tahun,
secara
manajemen rupanya TVRI kalah solid dengan munculnya tv swasta
di kemudian hari. Kode etik telah dilanggar. Begitulah yang terjadi di
wilayah-yang-selalu-tidak-pasti ini.


Saya pengen cerita lebih tumpah ruah lagi tentang televisi.
Tapi nantilah, dikit-dikit saja... :Þ
Lagipula, saya belum melunasi kredit tv 29" yang saya pesan. Ha ha ha!


("Bercinta Dengan Televisi" bisa jadi buku bagus, tuh)

Sunday, November 20, 2005

Media Ilusi Seksualitas.

Seketika Anda ikut menyaksikan tragedi "kemben melorot" milik
Taffana Dewi di salah satu tv lokal kita tempo hari, apa yang ada
di benak Anda?

Senang?
Salah lihat?
Atau jutsru tegang?
Masih maksain untuk tegang walau sekejap?
Kalau saya bilang, itu malah menggemaskan! Ha ha!
Kejadian itu masih menandakan adanya ketimpangan realitas.
Mari kita tengok lagi ke dalam:

Pria dan wanita. Tentunya (sekali lagi)
setara dalam keseluruhan
pandangan. Ketimpangan realitas yang
terjadi itu merujuk pada
ilusi seksualitas. Bisa dikatakan
berat sebelah atau pada akhirnya
memang mengamini
'ketidakseimbangan' ini.

Jika lelaki terus menerus melakukan ekspolitasi seksual pada wanita
sebagai objek, terus terang ini tidak adil. Jika
iklan tv lebih banyak
menonjolkan wanita dan keindahannya
secara fisik terus menerus,
agaknya ini struktur sosial
yang sakit. Pengabdian atau reproduksi
dari penstereotipan
kaum pria terhadap wanita telah menjadi wajar,
khususnya
dalam media massa.

Anda lantas bertanya: Lho, kemben mlorot itu kan tidak sengaja?
Ha ha! Lihat baik-baik! Sengaja atau tidak di sana itu sama saja.
Karena frame awalnya sudah terlalu sempit, sehimpit batasan
seksi yang hanya kulit pembungkus daging-daging yang menonjol
saja dalam otak pencetus acara itu.

Kali ini kedengaran naif memang, namun saya mencoba untuk
tidak munafik. Dan sekarang saya menyerang perspektif
kaum lelaki! (termasuk saya lah!) Ha ha!

---

Ya! Media!
Sebuah bumerang yang terus menerus berbalik arah dan merenggut
setiap inci realitas dari si pelempar.
Dalam konteks ini, media menjadi
amplifier kondisi sakit
yang sudah ada jauh sebelum zaman
para feminis lahir.


Nah, pada topik pensejajaran gender ini, ironisnya realitas iklan
sedemikian dianggap oleh kaum hawa adalah bukan
persoalan,
alias setuju-setuju saja terhadap bias ini.
Pelaku jurnalistik
didominasi pria, sehingga jurnalistik
maskulin ini tentu saja tempat
pria mensubjektifkan wanita.
Iklan-iklan lebih banyak memakai
bintang wanita. Lihat saja
paha terbuka, belahan dada ternganga,
tentu saja cantik,
atau mau yang lebih syahwatisme? Banyak.
Bahkan bila terdapat
karyawan wanita, jarang menjadi posisi kunci
dalam
menentukan kebijakan penerbitan atau penyiaran.
Dan beginilah
pria mendefinisikan wanita.
Apalagi dalam standar kecantikan.




Dalam konteks ini, iklan tv memiliki daya untuk mengkonstruksi
wanita-wanita 'palsu' yang memainkan peran-peran
palsu dalam
lingkungan-lingkungan palsu pula. Kita dipaksa
mempercayai apa
yang tidak seharusnya kita percayai. Tanpa
kesadaran tinggi,
kita pada akhirnya terlalu mudah menerima
kebohongan-kebohongan
alih-alih fakta seperti ini.


Barangkali itulah omong kosong yang nyaring bunyinya.
Bisa jadi media memang musuh berwujud teman.

Sebuah sisi gelap yang sangat menakutkan!

---

Sebagai catatan, dalam kaitan ini, teori agenda setting masih tetap relevan:
media mengagendakan isu-isu sosial bagi masyarakat dan menentukan
apa yang penting dan apa yang tidak penting, yang
pada gilirannya juga
berkorelasi positif dengan pikiran
publik mengenai penting atau tidaknya
isu-isu tersebut.
(Maxwell McCombs dan Donald Shaw, 1977). >>

That people did not respond directly to events in the real world but lived in
a pseudo-environment composed of
"the pictures in our heads".
(Walther Lippmann)